Jalan Sesat ke UUD 1945 Asli

M Fadjroel Rachman

UUD 1945 yang diamandemen (empat kali), meski merupakan konstitusi
kuasidemokratis, adalah satu-satunya buah gerakan reformasi 1998 yang
tersisa!

Kini UUD 1945 yang diamandemen sebagai hasil reformasi dituntut untuk
dibatalkan dan kembali ke UUD 1945 asli. Bila gerakan sistematis ini
berhasil, maka habislah agenda reformasi 1998 yang diperjuangkan
dengan darah dan kematian mahasiswa serta rakyat pada Tragedi
Trisakti, Semanggi I dan II, serta peristiwa 13-14 Mei 1998.

Agenda yang gagal

Ada sejumlah agenda reformasi yang sudah terkubur. Pertama, kandasnya
upaya mengadili Jenderal Besar (Purn) Soeharto setelah Jaksa Agung
Abdul Rahman Saleh menyetujui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Perkara (SKP3) atas nama HM Soeharto, tanggal 11 Mei 2006. SKP3 ini
menunjukkan, perkara atas nama terdakwa HM Soeharto ditutup demi hukum
oleh Kejaksaan Agung berdasar Pasal 140 Ayat 2 KUHAP. Alih-alih
mendukung pengadilan Soeharto-keluarga-kroni, Partai Golkar pimpinan
Jusuf Kalla memberi Soeharto penghargaan Anugerah Bhakti Pratama
karena selama 32 tahun Golkar adalah Soeharto, dan Soeharto adalah Golkar.

Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibatasi wewenangnya
hanya menangani kasus korupsi sejak tahun 1999 ke atas sehingga
kejahatan korupsi pada rezim Soeharto-Orde Baru sama sekali tidak bisa
disentuh.

Ketiga, pengadilan HAM ad hoc yang membebaskan semua pelaku utama atau
penanggung jawab kejahatan HAM berat seperti kasus Tanjung Priok dan
Timor Timur, dan mengabaikan pengadilan atas kejahatan HAM berat atas
kasus Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis, dan lainnya.

Keempat, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh
Mahkamah Konstitusi pada 8 Desember 2006, sebagai hadiah terburuk
perayaan ke-58 HAM Sedunia. Akibatnya, kita tak bisa mengungkap
kebenaran kejahatan HAM berat sejak tahun 2000 ke bawah, setidaknya
yang terjadi selama 32 tahun Soeharto-Orde Baru berkuasa. Juga
lenyaplah harapan memberi rasa keadilan dan reparasi korban ataupun
ahli warisnya.

Kelima, pemilu bersih dari pelaku korupsi dan kejahatan HAM juga sirna
dari harapan, dengan mudah kita bisa menunjuk para pelaku kedua
kejahatan itu ikut dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, baik sebagai
calon anggota legislatif maupun presiden.

Komisi konstitusi independen

Memang, hasil empat kali amandemen UUD 1945 amat tidak memuaskan.
Akibatnya, yang diperoleh hanya amandemen UUD 1945 dengan visi
kuasidemokratis (pembatasan dua kali jabatan presiden, pengakuan HAM
terbatas, pembentukan DPD dengan wewenang sekadarnya, desentralisasi
terbatas, sentralisasi dan hegemoni partai politik, dan lainnya),
termasuk mutilasi Komisi Konstitusi, Undang-Undang KPK dan KKR, serta
pengadilan Soeharto-keluarga-kroni, dan pemilu yang mengizinkan semua
individu dan lembaga politik pelanggar dan antidemokrasi terlibat.

Berbeda dengan praktik di beberapa negara yang mengalami transisi
demokrasi, Chekoslavia misalnya, mengeluarkan Czech and Slovak Federal
Republic: Screening ("Lustration") Law, (Act No 451/1991, October 4,
1991) untuk menekan politik-ekonomi lama, agar tidak terlibat
kehidupan politik setidaknya dalam periode lima tahun, agar tradisi
demokrasi bisa dibangun oleh kekuatan politik-ekonomi baru. Dengan
demikian, kediktatoran lama dan pendukung setianya, baik individu
maupun partai politik, tidak menjadi alternatif bagi mayoritas atau
opini publik.

Selain Chekoslavia, Filipina juga membentuk Presidential Commission on
Good Government (PCGG) untuk mengejar harta Marcos, keluarga, dan
kroninya. Sementara itu, KPK sama sekali tidak bisa mengejar harta
Soeharto, keluarga, dan kroninya. Filipina membentuk Komisi Konstitusi
Independen yang bertugas setahun penuh melibatkan publik dan diakhiri
referendum rakyat Filipina yang memenangkan konstitusi demokratis itu.
Sehingga konstitusi Filipina dapat disebut konstitusi rakyat (people's
constitution), bukan sekadar amandemen yang memenangkan kepentingan
kekuatan politik-ekonomi lama.

Jalan sesat

Tetapi, bila alternatifnya kembali ke UUD 1945 asli, kita kembali ke
jalan sesat yang menjerumuskan Indonesia ke kediktatoran, seperti
demokrasi terpimpinnya Soekarno dan demokrasi militeristik Soeharto.
Yang terbaik tentu kembali memenuhi persyaratan transisi dan
konsolidasi demokrasi, yaitu membentuk komisi konstitusi independen,
merumuskan pasal-pasal konstitusi demokratis dengan melibatkan seluruh
lapisan masyarakat Indonesia dalam jangka setahun atau lebih, dan
diakhiri dengan referendum.

Indonesia membutuhkan konstitusi baru yang tetap mempertahankan
Pembukaan UUD 1945. Konstitusi demokratis yang menyerap suara rakyat
bukan hanya wakil rakyat. Tentu saja bukan UUD 1945 yang diamandemen
sekadarnya, apalagi kembali ke UUD 1945 asli. Kembali ke UUD 1945 asli
adalah jalan sesat untuk membangun demokrasi!

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) 

Kirim email ke