Hukum bagi Si Miskin KOERNIATMANTO SOETOPRAWIRO
Hukum di Indonesia itu asing bagi masyarakat pedesaan. Sejak awal, hukum memang bukan untuk komunitas itu. Ada pula kemiskinan dan ketidakadilan di sana. Masalahnya, apa itu "miskin" menurut hukum? Siapakah "si miskin" itu? Apa kontribusi hukum bagi mereka? Bagaimana kaitannya dengan keadilan sosial? Hakikat kemiskinan Dalam bahasa Latin ada istilah esse (to be) dan habere (to have). Oleh sebagian (besar) orang, persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan merupakan urusan ekonomis semata. Orang miskin juga sering dicurigai sebagai orang yang malas. Kenyataannya, banyak orang harus bekerja keras dengan pendapatan kecil. Sebaliknya, harta free riders bertambah setiap saat, tanpa berbuat apa pun. Ada ketidakadilan di sini. Jadi, masalah kemiskinan tidak hanya urusan ekonomi. Ada masalah hukum, terutama terkait martabat manusia. Atas dasar itu pengertian kemiskinan harus dimaknai dalam konteks esse. Miskin berarti, martabatnya sebagai manusia diabaikan. Di sinilah hukum harus menjadi wahana dan sarana cinta guna membangun dan mereksa keadilan sosial dan kehidupan. Proses modernitas Fenomena ini terkait modernitas, yang ditandai dengan kapitalisme. Sumitro Djojohadikusumo (1991:198) menulis, kaum kapitalis itu terdorong nafsu yang tanpa batas untuk menumpuk kekayaan. Ada nuansa keserakahan. Memang, dari kapitalisme kita belajar untuk senantiasa berkembang. Namun, Machiavelli (Discorsi 1981:118) mengingatkan, untuk mempertahankan apa yang dimiliki, golongan kaya selalu menambah kekuasaan mereka. Di lain pihak sosialisme bukan alternatif yang memuaskan bagi upaya memajukan martabat manusia, meski berangkat dari keprihatinan tentang penindasan manusia oleh manusia. Namun, dalam sejarah sosialisme ternyata menghasilkan utopia sosialisme serta etatisme (Franz Magnis-Suseno, 1992:74). Selain itu, kapitalisme maupun sosialisme didasari materialisme dan teknokrasi. Materi dikejar demi materi, teknologi dikejar demi teknologi, kekuasaan dikejar demi kekuasaan. Manusia hanya faktor produksi. Teknologi justru kadang merusak martabat manusia. Materi dan teknologi merupakan faktor penting dalam proses kemajuan manusia. Namun, faktor-faktor itu adalah untuk memajukan martabat manusia, bukan sebaliknya. Jadi, modernitas harus disatu-napaskan dengan urusan keadilan sosial. Menurut Franz Magnis-Suseno (1986:362), keadilan sosial merupakan keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan di masyarakat. Kemiskinan itu bukan masalah nasib, tetapi masalah ketidakadilan akibat struktur cara berproduksi. Kemiskinan di Indonesia Kemiskinan dalam arti pengucilan manusia oleh sesamanya juga terjadi di Indonesia. Sejak awal sejarah, kekuasaan yang berpusat pada raja senantiasa mengucilkan kawasan pedesaan, yang ironisnya harus menghidupi orang kota melalui pelbagai jenis pajak, tanpa diperhatikan martabatnya. Istilah wong ndeso (Jawa) atau jelma kampung (Sunda) merupakan istilah untuk menunjukkan konsep yang merendahkan harga diri manusia. Pengucilan masyarakat pedesaan diperkuat pada zaman Belanda. Orang Belanda membentuk permukiman di tengah pedesaan. Permukiman ini dinamai stadsgemeente. Stadsgemeente inilah yang kelak menjadi kota seperti dikenal kini. Fokus perhatian Belanda adalah kepentingan orang Belanda ini. Pedesaan, sekali lagi, terkucilkan. Situasi seperti ini masih berlangsung hingga kini. Pengaturan tentang pemerintahan desa terbengkalai. Apalagi pengaturan dan perlindungan hukum atas kehidupan masyarakat pedesaan. Pada masa Orde Baru, masyarakat pedesaan dikorbankan melalui program Bimas. Selain itu, Gunawan Sumodiningrat (Kompas, 6/9/2004) menunjukkan, Soeharto menggunakan beras sebagai alat politik. Caranya, pemerintah berupaya agar beras tetap murah dan tersedia di pasar. Dengan demikian, petani harus menyubsidi orang kota demi stabilitas politik kawasan perkotaan. Dengan cara ini seolah Soeharto berpihak kepada rakyat. Pada masa Reformasi ada Program Gerbang Mina Bahari serta Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Celakanya, kedua program pertanian ini tidak mempunyai dasar hukum. Suatu tragedi hukum bagi Indonesia yang negara hukum. Dapat dimengerti jika kedua program ini tetap tinggal sebuah naskah, tanpa jelas kapan dan bagaimana pelaksanaannya. Selain itu sebagian besar pertanian di Indonesia diusahakan oleh rakyat dengan skala kecil dengan areal amat sempit, sehingga tidak efisien. Hal senada juga ada di kalangan nelayan. Rendahnya pendidikan petani dan nelayan merupakan profil pertanian Indonesia. Ironisnya sistem pendidikan Indonesia bertujuan untuk menghasilkan manusia yang saleh. Pertanyaannya, mampukah petani Indonesia yang saleh itu berhadapan dengan korporasi raksasa sekelas Monsanto atau McDonald's? Untuk itu, hukum harus menjadi sarana mempersempit kesenjangan sosial demi terciptanya keadilan sosial. Si kuat tidak dapat dibiarkan menumpuk keuntungan sebesar-besarnya atas nama kebebasan. Perlu ada kejelasan untuk siapa, untuk apa, dan bagaimana keuntungan itu diambil. Nuansa habere harus digeser ke esse. Meski demikian, fungsi hukum bukan untuk menghancurkan kaum kaya, melainkan untuk mengangkat kaum miskin sejajar kaum kaya sebagai sesama manusia. Hukum memang harus memihak demi terciptanya kesetaraan. Upaya hukum ini tidak boleh dilandasi rasa benci ataupun dendam. Tidaklah mungkin kita mengonstruksi kehidupan yang adil dan beradab dengan upaya yang destruktif. Hukum pertanian Belum ada perubahan sosial sejak penjajahan hingga kini. Penguasa selalu lebih memerhatikan masyarakat perkotaan dengan mengorbankan masyarakat pedesaan. Pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian masih miskin dan terbelakang. Artinya, pertanian dan petani-nelayan perlu perlindungan hukum. Pokok perhatian ialah bagaimana pertanian serta petani gurem, buruh tani, dan nelayan kecil dapat hidup layak sebagai manusia. Di sinilah diperlukan hukum pertanian, yang mengatur dan melindungi pertanian, petani-nelayan, dan pangan. Hukum pertanian mengatur masalah agraria dan keanekaragaman hayati, aspek pertanian modern, serta kedaulatan pangan. Hukum pertanian memberi perlindungan hukum bagi manusia dan alam terhadap dampak kehidupan modern, selain berupaya jangan sampai bangsa Indonesia didikte bangsa lain melalui pangan. KOERNIATMANTO SOETOPRAWIRO Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan, Bandung