Kompas
Selasa, 22 Mei 2007

TAJUK RENCANA 

Kenapa Takut Bersaing

Ada sebuah paradoks yang kita sedang hadapi. Kita menginginkan
hadirnya investasi, tetapi sering kita tidak terbuka terhadap
investasi itu.

Terutama investasi dari luar, kita sering mendua. Di satu sisi kita
membutuhkannya karena diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
yang pada gilirannya menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Namun,
di sisi lain, ada ketakutan bahwa hal itu akan membuat kita merugi
karena ada aset yang dimiliki pihak asing.

Tentunya kita mengharapkan pengusaha kita sendirilah yang menanamkan
modalnya di sini. Pengusaha dalam negerilah yang menjadi motor,
menjadi tuan di negerinya sendiri. Namun, kita juga tahu, kemampuan
yang kita miliki sendiri tidaklah memadai. Untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi sebesar 7 persen per tahun dibutuhkan hadirnya investasi
sekitar Rp 1.000 triliun.

Terpaksalah kita mengundang pengusaha asing untuk menanamkan modalnya
di sini. Sebab, kalau tidak, semua potensi yang kita miliki tidak bisa
diolah secara optimal. Di era globalisasi seperti sekarang ini, kita
tidak mungkin menutup diri. Negara-negara yang dulu sangat tertutup
seperti China dan Vietnam bahkan membuka dirinya lebar-lebar. Sistem
politik mereka boleh saja sentralistis, tetapi sistem ekonominya
sangatlah terbuka.

Kita tidak mungkin bisa melawan arus besar itu. Kita harus
mengikutinya dan memanfaatkannya untuk kepentingan dan kemakmuran
bangsa. Yang dibutuhkan kecerdasan agar kita bisa memetik manfaat
paling optimal. Untuk itu, tidak bisa lain kecuali kita mempersiapkan
sumber daya manusia yang bermutu. Kita harus melahirkan orang-orang
berkualitas agar mampu bersaing dan memenangi kompetisi pada tingkat
global.

Sikap yang tertutup dan bahkan kemudian sekadar memusuhi semua orang
asing sangat tidak bermanfaat. Hal itu hanya membuat kita terasing dan
bahkan menjadi bangsa aneh di tengah-tengah masyarakat dunia.

Perlombaan untuk menarik investasi berlangsung sengit. Semua negara
berupaya untuk mempercantik diri agar bisa menjadi pemenang dari
"kontes kecantikan". Mereka yang paling mampu memberikan kemudahan
dalam berinvestasi dan berusahalah yang akhirnya akan menjadi pemenang.

Kita selalu terlena dengan kebesaran kita sebagai negeri yang kaya
sumber daya alam. Semua itu bukan jaminan sepanjang tidak diikuti
dengan aturan permainan yang jelas, infrastruktur yang mencukupi,
iklim usaha yang bersahabat, serta pelayanan yang baik.

Tersendatnya arus investasi langsung ke negeri kita merupakan bukti
betapa kita bukan lagi dianggap sebagai negara tujuan investasi utama.
Kita harus mengubah sikap kita untuk tidak hanya bisa memusuhi orang
lain, tetapi bersaing secara sehat dengan bangsa-bangsa lain.

Kadang keengganan mereka menanamkan modal di Indonesia disebabkan oleh
faktor persepsi. Karena itu, tugas kita bersama untuk tidak
menciptakan sikap permusuhan yang tidak perlu. Sikap antiasing yang
tidak berdasar akhirnya hanya menimbulkan persepsi keliru tentang kita.

Frustrasi Warga Bekas Blok Komunis

Rasa frustrasi dan kecewa menghinggapi sebagian besar rakyat di
negara-negara bekas pecahan Uni Soviet karena kegagalan masa transisi.

Masa transisi yang dihitung sejak tahun 1989, atau dua tahun menjelang
ambruknya komunisme Uni Soviet, sampai sekarang tidak memuaskan,
bahkan dirasakan tidak lebih baik dari kehidupan di era komunisme.

Potret buram itu merupakan hasil survei Bank Eropa untuk Rekonstruksi
dan Pembangunan (EBRD) dan Bank Dunia yang diumumkan hari Minggu 20
Mei lalu.

Kebanyakan 29.000 responden di 29 negara menyatakan kecewa atas
pencapaian masa transisi. Peralihan dari sistem ekonomi
sosialisme-komunisme ke sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dinilai
gagal mendorong perbaikan kehidupan ekonomi.

Kegagalan itu antara lain karena maraknya praktik korupsi di kalangan
birokrasi pemerintahan. Rupanya mental korup yang berakar kuat pada
era komunisme masih terus bertahan dan berlanjut meski keadaan sudah
jauh berubah.

Komunisme sendiri hancur terutama karena pelapukan dari dalam seperti
praktik korupsi yang merebak luas di lingkungan pemerintahan, partai,
dan militer.

Kegagalan negara-negara bekas pecahan Uni Soviet menciptakan perbaikan
dan perubahan membuat banyak orang, terutama dari kalangan generasi
tua dan pensiunan, bernostalgia ke masa lalu.

Generasi tua menilai masa lalu lebih baik karena semua kebutuhan
sandang, pangan, dan papan dipenuhi negara melalui sistem jatah, meski
dalam tingkat elementer dan terbatas. Negara wajib menyiapkan lapangan
kerja, dan pengangguran tidak terjadi.

Dalam sistem ekonomi pasar, orang dipaksa bersaing mendapatkan
pekerjaan dan kehidupan layak. Tidak hanya negara berperan, tetapi
swasta juga menjadi pelaku penting dalam sistem ekonomi pasar.

Banyak orang, terutama dari generasi tua, tidak siap dan tidak mampu
menghadapi tantangan dan persaingan ekonomi pasar. Tidaklah
mengherankan, generasi tua bernostalgia ke masa lalu dan menghendaki
kembalinya sistem lama.

Namun, tidaklah mungkin bagi negara-negara bekas pecahan Uni Soviet
untuk kembali ke masa lalu. Sudah terbukti sistem komunisme hanya
mampu memberikan kebutuhan elementer, tetapi gagal menaikkan tingkat
kesejahteraan dan kebebasan bagi masyarakat.

Hanya perlu diingat pula, sistem yang menggantikan komunisme tidak
akan membawa perubahan jika negara-negara itu menjalankan pemerintahan
bersih, baik, efisien, demokratis, dan akuntabel. 



Kirim email ke