> From: oman abdurrahman
> Subject: [Urang Sunda] Innalillahi wa inna ilaihi roji'un Bang Ali 
> ngantunkeun
> Sok sanaos rada telat, teu kakantun sim kuring ngiring belasungkawa ku 
> ngantunkeuna urang sadaya, Bang Ali Sadikin,
> marinir, gubernur manten DKI Jakarta, tokoh petisi 50. Hiji pamimpin anu 
> wani
> ngorbankeun sagala rupina, katut ka nami saena, keur rahayat.

Leres Kang Oman, Bang Ali wani ngorbankeun sagala rupina, SANAJAN KUDU ASUP 
KA NARAKA,  demi keur rahayat. Ieu wawancara Majalah Tempo jeung Ali Sadikin 
di taun 2005 nu nunjukkeun sikep anjeunna nu teuneung jeung ludeung, euweuh 
kasieun, teu mentingkeun pribadi hayang asup ka sawarga sosoranganan .....


Ali Sadikin: Dari Judi Hingga Integrasi Jabodetabek
06 Oct 2005 14:51:14
Wawancara Ali Sadikin

ALI Sadikin tak pernah lepas dari kontroversi. Bekas Gubernur Daerah Khusus 
Ibu
Kota Jakarta (1966-1977) ini kembali mengusung "ide liar". Di depan aggota 
DPRD
Jakarta, bulan lalu ia mengusulkan agar bisnis judi di Jakarta mendapat 
payung
ukum. Sebab, "Pemda DKI Jakarta bisa mendapat uang Rp 15 triliun per tahun,"
ujar Ali Sadikin, mantap.

Usulan legalisasi judi bukan barang baru bagi pensiunan letnan jenderal 
marinir
yang akrab disapa "Bang Ali" itu. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia pula
yang melegalkan judi di Ibu Kota. Hasilnya, saat itu kas DKI Jakarta 
mendapat
gelontoran dana segar Rp 20 miliar per tahun. Uang itu digunakan untuk 
membangun
jalan, puskesmas, dan gedung sekolah.

Namun, zaman telah berubah. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kini mendominasi
DPRD Jakarta. Partai yang mengusung "semangat Islam" ini jelas-jelas menolak
legalisasi judi, apalagi sebagai sumber pendapatan resmi Pemda DKI Jakarta.
"Kami sadar kita butuh uang. Tapi tak harus menghalalkan yang haram," ujar 
Tri
Wisaksana, Ketua PKS Jakarta.

Ali tak peduli. Penasihat Gubernur DKI Sutiyoso itu malah mengejek politisi
partai Islam hanya mencari popularitas dan jabatan. Seperti 34 tahun lalu,
ketika ia melegalkan judi di Jakarta, ia menantang. "Demi judi, saya rela 
masuk
neraka," katanya.

Untuk mengupas polemik legalisasi judi dan pelbagai persoalan Ibu Kota, 
wartawan
Tempo Setiyardi mewawancarai Ali Sadikin. Meski hanya ditopang satu ginjal
cangkokan, lelaki kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927, itu masih sanggup 
melayani
dua jam wawancara. Berikut kutipannya.

Mengapa Anda mengusulkan agar judi kembali dilegalkan di Jakarta?

Saya ingin bersikap realistis dan tidak munafik. Ketika menjadi Gubernur DKI
Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya anggaran 
cukup.
Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas, dan
jalan. Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka, kalau
mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan saya
bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram.

Jadi, Anda tahu bahwa agama sebenarnya mengharamkan judi?

Ya! Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus memikirkan masyarakat kecil. 
Demi
judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin Allah mengerti apa yang saya
perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang mengaku Islam itu. Mereka 
merasa
dirinya malaikat. Mereka masih berpikir seperti abad ke-15.

Bagaimana potret judi di Jakarta sekarang? Apakah akan memberi kontribusi 
besar?

Dari pelbagai sumber saya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah per tahun. 
[Ia
menyebut nama-nama sumbernya, "Tapi jangan dimuat, off the record," 
katanya].
Kalau judi di Jakarta legal, Pemda DKI Jakarta bisa mendapat uang sekitar Rp 
15
triliun per tahun. Itu jumlah yang besar. Bisa untuk membangun macam-macam.
Untuk melanjutkan Proyek Banjir Kanal Timur, mendalamkan sungai, membuat 
rumah
susun, membangun jalan-jalan. Proyek-proyek itu tak bisa ditunda lagi. 
Padahal
pemerintah tak punya uang untuk menjalankannya.

Siapa penguasa bisnis judi di Jakarta sekarang?

Jangan tanya saya. Tanyakan ke aparat keamanan yang sekarang jadi beking 
mereka.
Polisi pasti tahu siapa saja pemain yang ikut terlibat.

Bagaimana bila rakyat miskin ikut bermain judi?

Itu bisa diatur. Judi bisa ditujukan hanya untuk orang kaya etnis Cina. Bagi
orang Cina, bermain judi adalah budaya. Itu untuk membuang sial. Makanya, 
dulu
zaman Belanda kegiatan berjudi juga disahkan. Sekarang sebetulnya banyak 
bisnis
judi di Jakarta. Banyak aparat keamanan yang jadi beking. Tapi kita ini 
orang
munafik.

Tapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendominasi DPRD Jakarta, tak 
setuju
usul Anda...

Alaaa, itu.... (Bang Ali mengeluarkan kata mengumpat -Red). Waktu saya 
bicara
soal judi di DPRD Jakarta, yang berani bicara cuma satu orang. Tapi di surat
kabar persoalannya jadi ramai. Kalau berani, suruh PKS bicara dengan saya. 
Saya
akan tanya, apakah mereka bisa memberikan pekerjaan ke para pengangguran. 
Apakah
bisa memberi uang Rp 15 triliun per tahun untuk Jakarta. Kalau memang bisa,
bolehlah PKS mengharamkan judi.

PKS juga ingin menghapuskan hiburan malam yang berbau maksiat?

Itu sikap sok-sokan. Mereka harus sadar kita hidup di abad modern. Jangan 
merasa
hebat dengan Islam-nya. Pemerintah, pengadilan, tentara, semua orang Islam. 
Tapi
toh korupsi nomor satu. Jadi, jangan sombong dengan membawa-bawa Islam. 
Kalau
cuma bicara sambil mengutip ayat, itu cuma untuk mencari popularitas. Mereka 
mau
jadi penguasa.

Apakah Anda juga setuju dengan lokalisasi prostitusi?

Ya. Saya yang membuat lokalisasi di Kramat Tunggak. Soalnya, ketika itu 
banyak
berkeliaran "becak komplet" yang isinya wanita tunasusila. Daripada 
berkeliaran
di jalan, lebih baik dibuat lokalisasi khusus. Sekarang juga banyak ABG di
mal-mal yang menjadi wanita tunasusila. Mengapa tidak kita lokalisasi saja? 
Itu
lebih baik. Saya heran Pemda DKI dan DPRD menutup Kramat Tunggak. Saya sudah
bilang ke Sutiyoso, "Memang nanti Sutiyoso masuk surga. Kalau saya, sih, 
akan
masuk neraka."

Anda juga mengusulkan konsep megapolitan, kesatuan Jakarta dan kota-kota di
sekitarnya. Apa ide dasarnya?

Kota-kota kabupaten itu? Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok? Pembangunannya
harus disatukan dengan DKI Jakarta. Konsep ini telah dirintis sejak zaman 
Bung
Karno. Belakangan, kita mengenal sebutan Jabotabek. Kalau perencanaan
pembangunannya bisa disatukan, kita akan memiliki konsep yang terpadu. 
Mereka
dapat saling menunjang.

Apakah mungkin?

Sangat mungkin. Saya mengirim surat ke Presiden Yudhoyono untuk memberi 
masukan
soal ini. Saya dan Sutiyoso lalu diterima Presiden membicarakan konsep ini. 
Pada
prinsipnya, Presiden mendukung. Beliau bahkan sudah terlihat akan bergerak 
ke
arah usulan itu. Untuk menjalankannya, Presiden bisa membuat Keppres. Tapi 
akan
lebih baik bila pemerintah mengusulkan sebuah undang-undang tentang 
megapolitan
itu.

Mengapa perencanaan pembangunan Jakarta dan kota sekitarnya harus jadi satu?

Agar terintegrasi. Banyak contoh kasus akibat perencanaan yang tak sinkron.
Misalnya persoalan pabrik pengolahan sampah di Bojong, Bogor. Mereka tak mau
wilayahnya dibuat jadi pabrik sampah. Padahal Jakarta tak punya tanah untuk
mengolah sampah. Mereka tak tahu bahwa pabrik sampah Bojong dibuat perusahan
Jerman. Semua sampah diangkut truk khusus yang tertutup. Tak ada sampah yang
ditimbun di tanah. Semua akan diolah dalam pabrik menjadi batu bata. Pabrik 
itu
membutuhkan 1.300 pegawai yang bisa direkrut dari masyarakat sekitar. 
Penolakan
itu karena ada yang menghasut. Mungkin juga karena melihat kasus di Bantar
Gebang, Bekasi. Padahal konsepnya sangat berbeda.

Apakah konsep megapolitan akan mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten?

Konsep ini tak mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Sebagai orang Sunda,
saya tak setuju kalau Jakarta mengambil wilayah Jawa Barat. Konsep ini untuk
menyatukan perencanaan pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan 
Depok.
Semua jadi satu konsep dan satu arah. Soal administrasi, mereka masih ikut 
Jawa
Barat dan Tangerang ikut Banten. Pajak daerah masih untuk mereka.

Mengapa tanggung? Bukankah lebih mudah bila dilebur jadi satu provinsi?

Memang ada yang ekstrem. Bupati Bekasi, misalnya, ingin jadi bagian Jakarta.
Selama ini mereka merasa ketinggalan. Tapi saya tak ingin Jawa Barat 
kehilangan
wilayah. Jawa Barat juga punya sejarah panjang yang harus dijaga. Sebagai 
orang
Sunda, saya merasa terhina bila wilayah Jawa Barat dicaplok Jakarta. Saya 
tak
ingin kasus Banten terulang. Karena Bandung tak memperhatikan Banten, lalu
mereka jadi provinsi sendiri. Tapi sekarang Banten tak maju-maju. 
Gubernurnya
malah jadi tersangka korupsi.

Bila konsep megapolitan dijalankan, apa keuntungan kota-kota di sekitar 
Jakarta?

Jakarta harus membantu keuangan Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Bisa 
saja
Jakarta memberi tiap kota Rp 500 miliar per tahun. Jakarta juga bisa memberi
bantuan tenaga ahli. Kita harus saling mengisi. Jadi, ini akan saling
menguntungkan. Saya sudah membicarakan konsep ini di DPRD Jakarta. Sekarang
menunggu reaksi mereka.

Konsep Anda sejalan dengan gagasan Gubernur Jakarta Sutiyoso?

Saya memang penasihatnya. Saya bilang ke Sutiyoso untuk merencanakan Jakarta
dengan matang. Dulu saya membuat master plan Jakarta untuk 20 tahun. Itu 
membuat
saya dibanggakan oleh masyarakat Jakarta, bahkan oleh rakyat Indonesia.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan gubernur selanjutnya. Padahal membangun
sebuah kota tidak mudah.

Mengapa Anda mau menjadi penasihat Sutiyoso?

Saya tahu dia dimusuhi banyak orang. Dia juga kontroversial. Tapi saya suka
Sutiyoso karena keberaniannya. Dia juga punya ide untuk Jakarta. Memang 
Sutiyoso
harus menerima pelbagai risiko. Selain itu, saya merasa Sutiyoso orang yang
mengerti adat ketimuran. Dialah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang pada 
awal
jabatannya tahun 1996 menemui saya. Ketika itu Soeharto masih memusuhi saya.
Sutiyoso datang untuk minta masukan. Gubernur yang lain tak pernah melakukan 
hal
itu. Mereka tak tahu adat-istiadat. Padahal, kalau mereka datang, mereka 
yang
untung. Itulah sebabnya dulu saya juga mendatangi bekas gubernur dan wali 
kota
di DKI Jakarta untuk minta masukan mereka.

Anda resmi diangkat sebagai penasihat Gubernur DKI?

Ya. Sebagai gubernur, dia berhak mengeluarkan SK pengangkatan penasihat
gubernur. Dengan jabatan itu, setiap bulan saya mendapat gaji Rp 600 ribu. 
Itu
saya anggap tambahan saja. Soalnya, sebagai pensiunan gubernur, menteri, dan
tentara, saya mendapat sekitar Rp 5 juta. Selain itu, pemda juga memutuskan 
saya
tak perlu membayar listrik dan air PAM. Saya dianggap sebagai tokoh 
masyarakat.

Apa pendapat Anda soal kondisi Jakarta sekarang?

Makin berat. Kemacetan lalu-lintas terjadi di mana-mana. Saya orang yang 
tidak
sabar dan bersikap kepala batu. Makanya saya berharap konsep megapolitan itu
bisa menolong. Kota-kota di sekitar Jakarta harus menjadi satelit yang 
mandiri.
Jadi, mereka harus mengurus kotanya. Ada perkantoran, industri, dan 
lain-lain.
Kota Rotterdam di Belanda, misalnya, jumlah penduduknya turun karena ada
kota-kota satelit di sekitarnya.

Anda pernah membuat perencanaan pembangunan Jakarta untuk 20 tahun. Mengapa 
tak
jalan?

Gubernur Tjokropranolo, penerus saya, melakukan gerakan 
de-Ali-Sadikin-isasi.
Semua kebijakan saya dihapuskan. Soalnya, ketika itu saya mulai bicara keras
soal pemerintahan. Bersama Bung Hatta dan Jenderal Nasution, tahun 1978 saya
mendirikan Yayasan Kesadaran Berkonstitusi. Kami melihat Soeharto mulai
melenceng. Setelah itu, tahun 1980 saya membuat Petisi 50 yang menjadi 
oposisi
bagi Soeharto. Itu membuat saya dianggap menjadi musuh pemerintah. Tapi saya
merasa Tuhan menjaga saya. H.R.Dharsono, Ali Moertopo, dan tokoh lain sudah
meninggal. Sampai sekarang saya tidak ada apa-apa. Saya malah bisa 
berlebaran ke
Cendana. Soeharto saya rangkul dan saya beri sun. Saya tidak menaruh dendam 
ke
Soeharto.

Anda juga tokoh penting dalam sejarah TNI-AL. Bagaimana Anda melihat 
Angkatan
Laut kita saat ini?

Saya sedih melihat nasib Angkatan Laut. Padahal kita ini negara maritim, 
tapi
kita takut dengan laut. Yang dibesar-besarkan justru konsep teritorial. Itu
kebijakan yang salah arah. Akibatnya, kondisi AL nyaris lumpuh. Yang ada
kapal-kapal tua. Bagaimana mungkin berperang dengan Malaysia? Kita bahkan 
tak
mampu menjaga perairan kita dari serbuan nelayan asing.

Dulu, apa yang Anda lakukan?

Untuk merebut Irian Barat, tahun 1960 saya lima kali ke Rusia. Ketika itu
jabatan saya Deputi II Menteri Kepala Staf Angkatan Laut. Kita membeli 150 
kapal
perang dari Rusia. Empat belas di antaranya kapal selam. Total harga 
kapal-kapal
itu US$ 800 miliar. Karena tak punya uang, kita pinjam dari Rusia. Untuk
mengoperasikannya, saya mengirim para prajurit kita ke Rusia. Nah, melihat
kekuatan mesin perang kita, Amerika dan PBB akhirnya memerintahkan Belanda
keluar dari Irian Barat.

Omong-omong, mengapa Anda masih saja bersikap keras?

Itu sudah bawaan saya. Saya ini kepala batu. Kalau marah sering keluar kata
"goblok!" Saat jadi gubernur, saya juga sering menempeleng bawahan yang 
salah.
Saya juga ikut memukul copet yang tertangkap. Tapi, kalau sudah sampai di 
rumah,
saya justru sedih. Saya kemudian sering memanggil orang-orang yang saya 
pukul.
Saya tanya tentang keadaan mereka.


Sumber: Tempo, September 2005
 

Reply via email to