Benahi Transportasi
Pengusaha Khawatirkan Potensi Anarkisme
KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM / Kompas Images
Sebanyak 50 bus Bhineka, yang melayani rute antarkota sejak Sabtu
(24/5), terpaksa diistirahatkan beroperasi di Jalan Pilang, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat, setelah kenaikan harga bahan bakar minyak yang
diumumkan Jumat (23/5). Pengusaha angkutan darat mengeluh, bisnis
mereka meredup karena harga bahan bakar terus naik.
Senin, 26 Mei 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar
minyak harus didukung rencana dan aksi membenahi transportasi massal.
Kota berpopulasi di atas 500.000 jiwa harus membangun sistem
transportasi massal.

Demikian dikatakan Djoko Setijowarno, pakar transportasi dari Unika
Soegijapranata Semarang, Minggu (25/5). Menurut Djoko, jika tanpa
pembangunan transportasi massal, pemborosan bahan bakar minyak (BBM)
terus terjadi karena masyarakat tidak mengubah perilaku dalam
berkendaraan.

Di Jakarta saja, berdasarkan sebuah penghitungan, akibat kemacetan,
masyarakat dan negara dirugikan hingga Rp 43 triliun dalam satu tahun.
Sementara itu, benih-benih atau bahkan realitas kemacetan telah
terjadi di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Bandung,
Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.

Pembangunan transportasi massal sebenarnya telah dimulai di Batam
tahun 2005, Yogyakarta (2008), kemudian segera menyusul di Semarang
dan Solo (2009).

"Seharusnya dana yang berhasil dihemat dari penurunan subsidi BBM itu
dapat dialihkan langsung ke transportasi massal. Sebagai contoh,
dengan memberikan subsidi langsung kepada penumpang dengan pemotongan
harga tiket," kata Djoko.

Jika tanpa subsidi berbentuk pemotongan harga tiket, masyarakat
diprediksi enggan menggunakan transportasi massal. Masyarakat akan
lebih memilih beralih dari mobil menuju motor. Padahal, volume motor
di Indonesia sudah sangat banyak, yakni 35 juta unit.

Klub sepak bola

Menurut Djoko, subsidi untuk sektor transportasi dapat berasal dari
gabungan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi, maupun APBD kabupaten.
Djoko menilai subsidi sektor transportasi ini lebih jauh penting dari,
misalnya, membiayai sebuah klub sepak bola profesional dengan dana
pemerintah daerah (APBD).

Pakar transportasi dari Universitas Trisakti, Fransiskus Trisbiantara,
pernah pula mengalkulasi bahwa sebuah mass rapid transportation (MRT)
dapat menghasilkan efisiensi Rp 5,5 triliun setiap tahun.

MRT dapat menghemat subsidi BBM yang terbuang jika ada kemacetan,
berkurangnya polusi udara, memperlancar arus distribusi barang dan
pergerakan manusia, penghematan waktu tempuh perjalanan, dan efisiensi
aktivitas sosial ekonomi lainnya.

Pakar kereta api, Taufik Hidayat, mengingatkan pemerintah untuk tidak
menaikkan tarif kereta api kelas ekonomi. "Kenaikan harga BBM bukan
alasan untuk menaikkan tarif kereta api karena kereta api hemat energi
dan subsidi public service obligation untuk kereta api sudah sangat
besar," katanya.

Menteri Perhubungan Jusman Safeii Djamal, pekan lalu, menjamin tidak
adanya kenaikan harga tiket kereta api ekonomi. Sementara untuk tarif
angkutan darat, kata Jusman, diharapkan kenaikan tarifnya tidak
melebihi 15 persen.

Untuk angkutan udara, Jusman menyerahkannya kepada kebijakan maskapai
masing-masing. Walau demikian, pemerintah mempertimbangkan mengenai
revisi batas atas tiket dengan memasukkan komponen fuel surcharge di
dalamnya.

Potensi anarkisme

Terkait dengan naiknya harga bahan bakar minyak, pelaku usaha mulai
mengkhawatirkan potensi anarkisme yang bisa muncul dari memburuknya
aksi penolakan kenaikan harga BBM. Menurut kalangan pengusaha,
anarkisme bisa menimbulkan ketidakstabilan ekonomi yang pada akhirnya
mengancam keberlangsungan usaha.

"Kalangan pelaku usaha meminta aparat keamanan agar tidak bertindak
represif terhadap mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, apalagi
sampai menimbulkan korban dan mengkriminalisasikannya. Itu penting
agar demonstrasi yang diperkirakan akan terus berlangsung tidak meluas
menjadi aksi anarki yang mengancam perekonomian," ujar Ketua Komite
Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia Bambang Soesatyo.

Menurut Bambang, tanpa anarkisme pun situasi perekonomian sudah cukup
sulit karena kenaikan ongkos produksi, transportasi, dan melonjaknya
harga-harga barang serta kebutuhan pokok rakyat. Oleh karena itu,
pemerintah lebih baik memprioritaskan perhatian pada perbaikan ekonomi
rakyat dan membuktikan secara nyata bahwa pengurangan subsidi BBM
memberi manfaat bagi rakyat miskin.

"Itu jauh lebih penting ketimbang menanggapi aksi-aksi demonstrasi dan
kritik pedas para politisi karena yang dibutuhkan dunia usaha saat ini
adalah ketenangan dan kenyamanan mesti situasi sulit," katanya.

Pemerintah secara resmi menaikkan harga jual tiga jenis BBM mulai
pukul 00.00 tanggal 24 Mei 2008, yakni premium, solar, dan minyak
tanah. Beberapa jam kemudian terjadi bentrokan antara aparat
kepolisian dan mahasiswa Universitas Nasional (Unas) di Pejaten, Jakarta.

Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menegaskan, jika unjuk rasa
itu dilakukan oleh para mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, atau
masyarakat kritis lainnya, pemerintah tidak bisa melarangnya sebab
unjuk rasa merupakan hak setiap warga negara. "Demonstrasi itu biasa
di negara demokratis. Hanya saja, pemerintah wajib memberikan
penjelasan," ujarnya.

Menahan diri

Lebih jauh Bambang Soesatyo mengatakan, Kadin meminta semua pihak agar
menahan diri. Singkirkan kepentingan kelompok atau kepentingan
kekuasaan untuk kepentingan yang jauh lebih besar, yakni perbaikan
ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

"Pelaku usaha berharap pemerintah tidak lagi mengeluarkan pernyataan
yang menambah panas situasi," kata Bambang. (RYO/OIN)

Kirim email ke