Kejahatan yang Sempurna
Rabu, 25 Juni 2008 | 01:10 WIB

Oleh M Faishal Aminuddin

Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah
menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang
penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan
berjalan sangat rumit dan berlika-liku.

Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang
gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung
kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis "kejahatan yang sempurna"
(perfect crime) benar-benar ada.

Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah
tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan
menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi
dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi
yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.

Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas.
Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah
organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.

Sophistokrat

Bagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya,
mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan
kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.

Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard
atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen
kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi
kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).

Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran
membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius
keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka
berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.

Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan
penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti
setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan
meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).

Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi
sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang
sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual
benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan
argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski
tidak masuk akal.

Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka
berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen
kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian
melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi
konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan
politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal
yang seolah-olah benar.

Konsensus kebenaran

Sulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965)
memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik
untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep
kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni
berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right
thing).

Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan
tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran
harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas
kondisi politik dan hukum yang moralis.

Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada
kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.

Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda
demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum
kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan
batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.

Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif,
yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang
tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat
menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.

Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga
hal penting.

Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola
perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan
negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan
regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan
pertanggungjawaban harus dikedepankan.

Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol
antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai
kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai
kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat
mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara
dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.

Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan
yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa
dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa
menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari
nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai
mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung
dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi
penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali
tidak bermutu.

M Faishal Aminuddin Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian INDIGO


Kirim email ke