Mak Eha dan Mbah Karto
BONDAN WINARNO

Beberapa kali saya singgah ke Pasar Cihapit di Bandung untuk mencicipi
masakan Mak Eha yang legendaris. Tetapi, tiga kali saya gagal. Pertama
kali datang ke sana ternyata saya kesiangan. Mak Eha sudah
meninggalkan tempat. Kedua kalinya saya datang, Mak Eha tidak
berjualan. Ketiga kali, eh, ternyata Mak Eha tutup lebih dulu karena
dagangannya habis.

Untungnya, Pasar Cihapit punya berbagai pelipur lara. Di sana saya
menemukan pedagang nasi kuning dengan kualitas unggul di depan pasar.
Ada juga seorang penjual lontong kari yang boleh diandalkan. Di kelas
jajanan, ada beberapa juara pula. Ada seorang penjual kripik jamur
yang menurut saya sangat kreatif. Gorengan jamurnya istimewa. Memang
agak mahal untuk kelas pasar. Tetapi, jamur 'kan tidak murah? Di
samping itu, kualitas juga menentukan.

Di Pasar Cihapit juga ada seorang penjual gorengan yang terkenal sejak
puluhan tahun. Pedagang keturunan Tionghoa ini sudah menjadi langganan
banyak orang. Orang-orang yang sudah lama meninggalkan Bandung pun
masih kembali mencari goreng pisang dan goreng tempe dari gerai ini.
Ada juga seorang penjual uli (juadah ketan) dan tape dari nasi yang
dibungkus kecil-kecil dalam daun.

Semua makanan dan jajanan yang saya sebut di atas memang berhasil
meredam kekecewaan saya setiap kali datang ke Pasar Cihapit dan tidak
menemukan Mak Eha. Tetapi, tetap saja, semakin "panas" mengingini Mak
Eha. Panasaran!

Rupanya, "peruntungan" saya ada di Gwen, anak kami. Sekalinya saya
datang ke Pasar Cihapit bersama Gwen, eh Mak Eha ada di sana ... fully
in charge.

Mak Eha sudah sepuh. Barangkali sekitar 70-an tahun. Beberapa putri
dan menantunya ikut membantunya mengelola warung makan sederhana di
tengah pasar yang ramai. Tetapi, yang paling ramai tentulah warung Mak
Eha. Bangku-bangku panjang yang tersedia di sana rupanya tidak cukup
untuk menampung orang-orang yang ingin makan. Mereka menunggu dengan
sabar sampai tersedia ruang kosong di antara bangku-bangku itu. Banyak
pula orang yang datang untuk membeli dan dibawa pulang.

Saya memesan sayur kepala kakap. Namanya memang begitu. Tidak dibilang
gulai kepala ikan atau sup kepala ikan. Deskripsi untuk makanan yang
satu ini memang sulit. Sajiannya berkuah santan, dengan bumbu yang
kaya dan kompleks. Tetapi, rasanya tidak mirip gulai, sekalipun
warnanya sama kuning. Bumbu-bumbunya sangat balanced, sehingga sulit
menjejaki apa saja yang ada di dalamnya. Tampak lembaran-lembaran
lebar daun kunyit dan kemangi di dalam kuahnya yang sedikit kental.
Sungguh, totalitas citarasanya jauh lebih eksotis daripada gulai.
Aromanya pun menggoda. Tidak heran bila sayur kepala ikan ini
merupakan "bintang" di warung Mak Eha. Kalau tidak datang pagi, jangan
harap masih tersisa untuk Anda. Pedas-pedas gurih, penuh pesona,
dengan nuansa Sunda yang cukup jelas. Mak nyuss!

Semua hidangan Mak Eha mewakili ciri masakan rumahan yang bahkan
mungkin tidak perlu diberi nama. Pokoknya, yang ini ada jengkolnya,
yang itu ada tempenya, yang di sana itu pakai teri, dan lain-lain. Mak
Eha juga sepenuhnya sadar bahwa di dalam setiap keluarga selalu ada
anak-anak yang lidahnya belum siap untuk masakan pedas, sehingga cukup
banyak pula masakannya yang berkatagori gurih dan manis.

Di atas tadi saya menulis tentang Mak Eha yang fully in charge. Memang
itulah kesan pertama saya tentang Mak Eha. Ia bagaikan seorang
matriarch yang menjadi pusat dari semua kegiatan di warungnya. Dengan
punggung jari-jarinya ia menyentuh makanan-makanan yang disajikan
untuk menguji suhu masing-masing. Bila perkedel sudah dingin, ia
segera memerintahkan agar menggoreng perkedel baru. Ketika salah
seorang pembantunya mengulek sambal, ia datang untuk mencicipi. Lalu
menambahkan sedikit garam untuk menyeimbangkan cita rasanya. Luar
biasa! Mak Eha melakukan quality control secara terus-menerus terhadap
masakannya. Mungkin itulah kiat sukses usahanya selama puluhan tahun
ini.

Gwen terpesona akan perkedel buatan Mak Eha. Maaf, sekali ini saya
terpaksa membuat perbandingan langsung tentang perkedel Mak Eha. Anda
semua tentunya kenal perkedel "misterius" dengan nama aneh yang sangat
laku dan dijual HANYA mulai tengah malam di kawasan Stasiun Bandung,
bukan? Perkedel yang satu ini sampai diantre orang. Bahkan sekarang
banyak joki yang bersedia mengantre untuk Anda agar dapat mencicipi
perkedel itu tanpa bersusah payah.

Perkedel Mak Eha tersedia pada saat yang lebih wajar, civilized hours.
He-he-he rasanya? Jauh lebih mak nyuss! Bumbunya begitu cantik, dengan
sedikit daging sapi cincang di dalamnya. Benar-benar gurih. Gwen
sampai membungkus beberapa perkedel sebagai cemilan di mobil. Cemilan
kok perkedel?

Gwen bersepakat dengan saya bahwa semua sajian Mak Eha yang kami
cicipi memang istimewa. Out of this world, kata Gwen. Lagi-lagi saya
harus mengakui bahwa Indonesia benar-benar kaya dengan local talents
seperti Mak Eha yang dengan kesederhanaannya berhasil menampilkan
pusaka kuliner Indonesia at its best. Saya sungguh terpukau dan
terpesona akan kualitas masakan Mak Eha dan putri-putrinya.

Mak Eha membuat saya teringat sebuah warung kecil di Sukoharjo, Solo.
Warung ini sebenarnya direkomendasikan oleh seseorang yang saya temui
dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam beberapa tahun yang lalu.
Ia sedang dalam perjalanan untuk mempromosikan mebel produksinya di
Eropa. "Kalau ke Sukoharjo, harus dan wajib singgah ke ayam goreng
Mbah Karto," katanya. "Ayam kampung yang gurih banget dengan sambal
yang luar biasa."

Sukoharjo adalah kota yang bertetangga dengan Solo, tetapi saya jarang
singgah ke sana. Karena itu, dalam kunjungan terakhir, saya sempatkan
datang. Warungnya menempati sebuah rumah lama berukuran besar. Rumah
desa dengan dinding dari anyaman bambu. Lantainya dari tanah. Tetapi,
rumah ini berada di sebuah jalan besar. Di seberangnya ada kantor
Perusahaan Listrik Negara dan polres. Tidak heran banyak pegawai PLN
dan polisi santap siang di sana. Kalau Anda sedang masuk DPO (Daftar
Pencarian Orang), jangan masuk ke sana ya...

Begitu masuk warung, aroma gurih ayam goreng tertebar di dalam rumah
yang redup dan sejuk itu. Saya memesan ayam goreng dan jeroan yang
segera tersaji. Warna ayam gorengnya kuning kecoklatan cantik. Dari
tampilannya tampak bahwa ayam ini tidak dibumbu bacem seperti
kebiasaan ayam goreng di daerah Jawa Tengah. Tetapi, jelas pula telah
diungkep dulu sebelum digoreng.

Ayam gorengnya sungguh gurih. Jangan kaget bila tingkat keasinannya
sedikit di atas rata-rata. Orang Jawa Tengah memang menyukai ayam
goreng yang sedikit asin, dengan sambal yang manis. Tingkat keempukan
dan tekstur ayam gorengnya luar biasa, dengan bumbu yang meresap
hingga serat-seratnya yang paling dalam. Saya sudah agak lama
mengurangi jeroan ayam, tetapi kali ini saya membuat perkecualian
serius. Sambalnya yang istimewa membuat semua orang makan seperti
kesetanan di sana.

Bagi saya, satu-satunya ayam goreng yang mampu mendekati kualitas ayam
goreng Mbah Karto di Sukoharjo ini adalah ayam goreng Mardun Martinah
di Jalan Mangga Besar dan Asem Reges, Jakarta Pusat. Kalau dibiarkan,
saya bisa menghabiskan empat potong ayam goreng di masing-masing
tempat itu.

I'll be back!
Bondan Winarno

Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai
tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan akan masih terus
melanjutkan pengembaraannya.
(Email : [EMAIL PROTECTED])
Jumat, 20 Juni 2008 | 08:51 WIB

Citation: 
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/20/08510523/mak.eha.dan.mbah.karto

Reply via email to