Masih Mungkinkah Kita Bangkit?
Jumat, 28 November 2008 | 01:04 WIB

ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN

Tahun 2008 hampir berakhir, tetapi banyak masalah bangsa justru kian
serius. Mungkinkah kita bangkit?

Pertanyaan ini amat penting karena dalam banyak hal kita mewujudkan
berbagai tindakan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak berlandaskan
pemahaman filosofis tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tingkat
lokal nasional hingga global. Kita kurang peduli proses alami yang
sedang bekerja. Masih mungkinkah negara-bangsa kita bangkit pada abad
yang menuntut kecepatan dan berpostur ramping?

Bangsa ini masih terjerat kemiskinan, kesenjangan sosial- ekonomi,
rentannya hubungan antaretnik dan agama, meningkatnya primordialisme
kedaerahan, maraknya perbedaan berdasar partai politik, dan lainnya.
Itu semua adalah cermin betapa bangsa kita masih terkotak-kotak dalam
ruang-ruang sempit.

Efisiensi negara-bangsa

Kini semua negara di dunia dituntut untuk menyelaraskan diri dengan
perubahan dunia yang kian cepat. Banyak teoretis menengarai merosotnya
ideologi idealisme digantikan liberalisme, materialisme, dan
pragmatisme, di mana tindakan lebih penting daripada ucapan dan
interaksi lebih penting daripada pikiran.

Isu-isu dunia, seperti kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, dan
harkat kaum minoritas, ikut mendorong negara-bangsa ke dalam arus
global yang baru. Eksistensi negara-bangsa bergantung pada kehendak
global, bukan hanya kehendak bangsa sendiri. Tampaknya dunia lebih
menyukai bangsa yang berpostur ramping tetapi demokratis daripada
bangsa besar tetapi otoritarian. Logikanya, mengelola dan memakmurkan
bangsa yang kecil lebih mungkin daripada negara besar yang sarat
masalah internal. Bangsa yang ramping lebih gesit bergerak dalam
perubahan yang kian cepat.

Peta politik-ekonomi dunia berubah. Sebagai penentu politik- ekonomi
dunia, kedudukan negara bergeser ke tangan berbagai korporasi raksasa.
Sedangkan negara hanya sebagai fasilitator, keadaan yang tidak
terbayangkan pada abad lalu. Francis Fukuyama (Trust: The Social
Virtue and the Creation of Prosperity, 1996) menengarai, salah satu
ciri ekonomi dunia pada abad ke-20 adalah beralihnya kekuasaan ekonomi
ke tangan jaringan korporasi besar secara lintas bangsa, sedangkan
negara hanya menjadi "tukang stempel" atau pemadam kebakaran, suatu
kondisi yang kini mulai nyata.

Agar survive, efisiensi negara- bangsa tampaknya menjadi kebutuhan
abad ini. Negara-bangsa yang besar sering ambivalen karena di satu
pihak harus memelihara kesatuan unsur-unsur yang beragam di wilayah
amat luas, dan pada saat sama harus menghadapi tuntutan dunia agar
bergerak cepat dan efisien. Artinya, negara-bangsa harus ramping agar
gesit dalam percaturan global.

Pertaruhan pada masa depan

Secara historis, negara-bangsa, seperti Indonesia, diintegrasikan dua
pengikat. Pertama, kekuasaan yang mengendalikan beragam unsur penyusun
bangsa di wilayah yang sangat luas. Kedua, ideologi berintikan
kesadaran, nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa.

Kekuasaan pemerintah kadang diterjemahkan menjadi penggunaan militer
untuk menyelesaikan konflik internal. Namun, penggunaan militer untuk
menjaga kesatuan bangsa kini kurang relevan karena berhadapan dengan
isu-isu besar tuntutan global. Padahal, penggunaan kekuasaan otoriter
tampaknya diperlukan guna memelihara integrasi bangsa. Kita perlu
belajar dari teori evolusi masyarakat tentang keruntuhan negara.
Robert Tainter (The Collapse of Complex Societies, 1991) mengemukakan,
kekuasaan demokratis bekerja lebih efektif pada bangsa berskala kecil
karena memerlukan komunikasi intensif dan paling dimungkinkan pada
bangsa yang kecil populasinya. Memang ada contoh- contoh negara-bangsa
demokratis, seperti AS, tetapi faktor-faktor, seperti kemiskinan,
kesenjangan sosial-ekonomi, dan sulitnya komunikasi, bukan kendala
dominan bangsa AS.

Masa depan keutuhan negara- bangsa kita amat bergantung pada
kepedulian kita sendiri, yang kini justru melemah. Kita harus
menjadikan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok,
atau partai—menghapus sekat, kotak sempit, dan menjadikannya
interaktif dan dialog– agar negara-bangsa tetap terpelihara. The last
but not least, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi-sosial tampaknya
masih menjadi solusi utama dalam menghadapi perubahan dunia yang kian
materialistis.

ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN Dosen Departemen Antropologi FISIP UI


Kirim email ke