Iklan Pemilu
Jumat, 28 November 2008 | 01:04 WIB

Ikrar Nusa Bhakti

Saat menjadi narasumber Rapat Kerja Kontras di Cipanas, Jumat
(21/11/2008), Robertus Robet—dosen UNJ dan Sekjen Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi—mengatakan, "Iklan politik di televisi lebih
banyak bohong daripada melakukan pendidikan politik pada rakyat.
Seperti iklan obat, mana mungkin orang sembuh sakitnya sepuluh menit
setelah minum obat."

Sehari kemudian (22/11/2008) saat mempertahankan disertasi doktor
bidang filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, seorang penguji
bertanya, "Jika Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, datang ke Indonesia
melihat praktik kapitalisme kontemporer di negeri ini, kira-kira apa
komentarnya?" Robet menjawab, "Dia akan heran melihat
sinetron-sinetron Indonesia yang banyak bercerita soal surga dan
neraka. Rupanya orang Indonesia lebih mudah melihat masa depan yang
belum menentu—surga dan neraka—daripada menyelesaikan masalah di depan
mata, misalnya kasus lumpur Lapindo."

Zizek lahir dan besar di Yugoslavia, negara komunis yang demokratis di
era Tito. Zizek suka film Hollywood, menganalisisnya dari filsafat
antropologi. Atas jawaban yang tangkas, serius, tetapi santai itu,
Robet—alumnus Sosiologi FISIP UI 1996 dan University of Birmingham
2002—lulus dengan predikat cum laude.

Iklan politik

Sayang, kepada Robert tidak ada yang menanyakan komentar Zizek jika
melihat iklan kampanye pemilu di televisi atau di media cetak
Indonesia. Kampanye pemilu selama sembilan bulan menarik dianalisis.
Ada yang sudah start sebelum kampanye resmi diumumkan, tetapi tidak
didiskualifikasi. Ada yang start langsung berlari sprint, lalu
terengah-engah berhenti di tengah jalan karena kehabisan dana.

Ada pula yang berhenti total dan menarik diri dari "lomba maraton"
karena kekurangan suporter. Padahal, kalimat yang didengungkan amat
bertuah, If there is a will, there is a way. Iklan ini terlalu elitis.
Sang pembicara mungkin lupa, banyak orang Indonesia tak paham bahasa
Inggris. Ada pula iklan Garuda perkasa yang terbang di angkasa, yang
bicara soal petani atau pedagang kecil di pasar tradisional. Napas dan
energinya begitu kuat.

Partai Demokrat dan Presiden Yudhoyono sering memakan setengah halaman
depan Kompas dengan iklan "keberhasilan" pemerintahannya. Mengingat
posisinya di pemerintahan, ada pula iklan politik terselubung di
televisi dan radio yang menggebu- gebu tentang "PNPM Mandiri" dari
nelayan, penganggur yang berhasil di Ambon, posyandu, tukang jahit,
sampai taman kanak-kanak. Namun, tak ada yang mengkritisi berapa besar
dana yang terserap dan dirasakan rakyat melalui program itu
dibandingkan pengeluaran untuk iklan politiknya. Juga tak ada yang
mengomentari, apakah acara kuliah subuh Menteri Negara Pemuda dan
Olahraga di TVRI sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Dalam dua pekan terakhir, ada empat iklan politik baru yang muncul,
dari Amien Rais yang siap menjadi "pemain cadangan", dari PDI-P yang
menonjolkan "100 Hari Pertama" pemerintahan Megawati Soekarnoputri,
Iklan Partai Golkar dengan penonjolan Karya untuk bangsa, dan iklan
PKS yang membangun optimisme dengan becermin pada karya pahlawan dan
guru bangsa masa lalu, yang menuai kritik. Spanduk PKS juga berujar,
"Pahlawan adalah Buruh atau Pahlawan adalah Pemuda, yang Berjuang
untuk Kemajuan dan Kemandirian Bangsa." Iklan politik PKS brilian dan
berani, termasuk political marketing gaya baru, meski dikritik banyak
pihak.

Miskin visi masa depan

Berbagai iklan politik dan pemilu itu miskin visi masa depan.
Iklan-iklan itu hanya menjual kemiskinan, mimpi, dan program jangka
pendek, tanpa substansi isi keprihatinan bangsa dan bagaimana cara
mencapai cita-cita masa depan bangsa. Ini berbeda, misalnya, kampanye
Bill Clinton dengan kata bertuah, It's Economic, Stupid yang
membeberkan visi memperbaiki nasib anak AS 100 tahun ke depan atau
kampanye Barack Obama dengan slogan Yes, We Can yang mewujudkan hal
yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Tak ada partai politik atau calon presiden yang berani mengatakan,
kita akan menghadapi situasi sulit 3-5 tahun ke depan akibat krisis
global. Ekonomi Indonesia belum pulih akibat krisis 10 tahun lalu
dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan, dan kita sudah
harus menghadapi krisis ekonomi lebih dahsyat.

Terpikirkah oleh elite politik bangsa, pendekatan ekonomi apa yang
harus diambil Indonesia guna mengatasi krisis. Jika ia seorang
neoliberal yang pro-pasar dan pro-kapitalisme, langkah apa yang akan
diambil? Beranikah Megawati Soekarnoputri menelurkan gagasan
nasionalistis bertumpu pada marhaenisme di tengah serbuan komprador
kapitalis barat? Jika ia anti-IMF dan pro-kemandirian bangsa di tengah
kapitalisme dan globalisasi, seperti Rizal Ramli, langkah apa yang
akan diambil? Beranikah Rizal Ramli berkolaborasi dengan Revrisond
Baswir dan Sri Edi Swasono mengambil langkah berbeda dengan arus
kapitalisme global? Bagaimana mereka mengajak rakyat bahu-membahu
memperbaiki nasib bangsa yang terus menjadi "bangsa kuli"? Ideologi
apa pun yang dianut, liberalisme, sosialisme, atau konservatisme
(agama dan atau budaya) harus mampu menjawab tantangan bagaimana kita
keluar dari krisis ini.

Para pemilih kian jeli dengan politik transaksional dalam arti
positif, yaitu siapa yang memiliki visi dan program jangka panjang
mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi bangsa, dia atau partainya
yang dipilih. Kampanye politik bukan sekadar menebar mimpi untuk
menuai kekecewaan, tetapi menebar program realistis yang dapat
dilakukan lima tahun ke depan agar bangsa ini keluar dari krisis.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI



--- In Baraya_Sunda@yahoogroups.com, "H Surtiwa" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Bangsa urang mah ayeuna kumaha ceuk anu boga Partey wae....Ari
kampanye oge
> gogorowokan ..popolotot...siga nu ngambek....ngenye..ngoa.... ka
> batur..jrrd...
> 
> On 11/10/08, Rahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >
> > >
> > > Hiji hal anu jelas, dina tv LOBA teuing runtah na. Katambah pangaruh
> > > tv gede teuing deuih. Tapi, mun urang na bisa ngariksa, tv teu perlu
> > > jadi tolovisi, pan loba acara anu hade oge! ;))
> > >
> >
> > Hmmm... tololvisi teh alat anu canggih jang ngabobodo rahayat.
> > Pangusaha jeung para politikus geus migunakeun ieu intrumen kalawan
> > jitu. Kang Obama ge teu petot2 ngucurkeun dana jang ngabobodo rahayat
> > lewat tololvisi. Di Itali, juragan Berlusconi ge pan ngarangkep jadi
> > juragan tolovisi. Sukses politik Kang Berlusconi nyambung jeung sukses
> > imperium media na.
> >
> > Kumaha cara na ngabendung pangaruh TV sangkan teu jadi alat ngabobodo
> > rahayat? Ceuk kuring mah kudu diimbangan ku sikep KRITIS ti masyarakat
> > sorangan. Kumaha carana sangkan masyarakat urang bisa kritis? Kudu
> > dipikiran babarengan. Bangsa urang anu boga mind set partriarkal rada
> > hese sina boga sikep kritis. Sikep urang anu "KUMAHA CEUK ANU
> > DIBENDO"kudu geuwat dirobah. Ngan heseeeeeee...... sigana mah! :((( R


Reply via email to