KLIPING
12/01/2009
Etika Israel di Gaza
Oleh Hamid Basyaib

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga 
Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga 
merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin 
Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan 
mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan 
dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive 
strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di http://www.inilah.com, 
08/01/2009

Terlalu banyak hukum internasional dan etika perang yang dilanggar 
Israel dalam rangkaian gempurannya atas Gaza yang, menurut Amnesty 
International per 7 Januari, telah menewaskan lebih dari 700 dan 
melukai sekitar 3.000 orang.

Korban luka yang kelak selamat pun mungkin akan mengidap kanker, 
karena Israel menggunakan bom gas fosfor putih. Senjata kimia ilegal 
ini bisa menimbulkan kerusakan fisik hingga ke tulang – atau mengubah 
tubuh menjadi serpihan.

Dr Mads Gilbert, anggota tim relawan medis Norwegia yang bekerja di 
Gaza, masih mendokumentasikan penggunaan bom-bom ilegal itu, yang 
terkategori Dense Inert Metal Explosive (DIME). Dr Gilbert, yang telah 
berpengalaman di wilayah konflik, menyatakan situasi di Gaza merupakan 
yang terburuk yang pernah dia saksikan.

Dua sekolah PBB terkena bom, menewaskan 30 anak di dalamnya. New York 
Times, Senin lalu melaporkan, rumah sakit di Gaza penuh warga sipil, 
bukan serdadu Hamas.

Membidik sasaran sipil melanggar Konvensi Geneva ke-4. Lontaran roket-
roket Hamas ke wilayah Israel, yang tidak membedakan kombatan dan 
nonkombatan, adalah ilegal, meski korban aktualnya sejauh ini hanya 
enam orang; dan sepanjang satu tahun sebelum serangan ini tidak 
menewaskan satu pun warga Israel.

Jadi gempuran Israel lebih terkait dengan persaingan politik di Tel 
Aviv menjelang pemilu Februari. Partai Kadima yang berkuasa ingin 
menunjukkan ia pun bisa sekeras Likud, yang menjadikan ketidaktegasan 
partai Tzipi Livni (calon favorit PM) itu terhadap Palestina sebagai 
kartu untuk mengalahkannya.

Tapi yang dilakukan Israel, dengan gempuran udara dan daratnya, 
melanggar Konvensi Geneva secara sangat serius. Korban sipil terlalu 
banyak, sampai 25 persen dari seluruh korban, seperti terlihat dari 
mereka yang dirawat. Dari segi ini dalih bahwa jatuhnya warga sipil 
hanya ekses sulit diterima. Yang lebih mungkin: Israel tidak 
membedakan militer dan sipil – atau setidaknya tak cukup sungguh-
sungguh membidik eksklusif serdadu Hamas.

Boleh jadi ini bagian dari strategi Israel untuk mengucilkan atau 
menurunkan popularitas Hamas di mata warga Palestina, atau warga Gaza 
khususnya. Dengan banyaknya korban jiwa dan bangunan sipil, warga Gaza 
akan menyalahkan Hamas, yang memang suka memprovokasi Israel (yang 
juga merupakan strategi Hamas agar tampak kredibel di mata warga 
Palestina, untuk membedakannya dari Fatah-PLO yang terkesan lunak 
terhadap Israel).

Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga 
Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga 
merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin 
Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan 
mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan 
dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive 
strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.

Alasan keempat yang membuat Israel melanggar Konvensi Geneva: ia 
memblokade Gaza dari bantuan pangan dan obat-obatan, sehingga 
menimbulkan krisis kemanusiaan di wilayah mini berpenduduk 1,5 juta 
jiwa itu. Gempuran Israel sejak dua pekan silam sesungguhnya puncak 
dari blokade yang dilakukannya selama dua tahun terakhir.

AS memberikan sumbangan besar, hampir secara langsung, terhadap 
gempuran Israel kali ini. Menurut Marjorie Cohn, Direktur Pusat Studi 
Timur Tengah Universitas San Francisco, Amerika melanggar hukumnya 
sendiri.

AS memberi bantuan US$3 miliar per tahun kepada Israel. Dana pajak 
rakyat AS inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan 
helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza sekarang. 
UU Bantuan Keamanan dan HAM melarang AS membantu Israel, yang terlibat 
pelanggaran berat HAM sebagaimana diakui oleh masyarakat 
internasional, dalam pola yang konsisten.

UU Pengendalian Ekspor Senjata melarang persenjataan AS digunakan 
selain di dalam batas negara demi membela diri.

"Mengebom gedung-gedung sekolah, kantor polisi dan stasiun penyiaran 
bukanlah pembelaan diri," kata Cohn, yang juga profesor hukum dan 
presiden Gilda Pengacara Nasional (marjoriecohn.com).

New York Times mengutip sejumlah pakar Timur Tengah yang yakin bahwa 
serangan Israel kali ini sebagai "aji mumpung" – mumpung Presiden Bush 
masih duduk di Gedung Putih. Karena itu harapan tinggal pada presiden 
terpilih Barack Obama, sebagai kepala negara satu-satunya yang mampu 
menghentikan kebuasan Israel yang melanggar semua hukum dan etika 
perang.

Maka kebungkaman Obama, selain sangat disayangkan, juga aneh, 
mengingat begitu banyak hal yang selama ini dikomentarinya dengan 
tegas, termasuk isu-isu luar negeri yang panas seperti Irak dan 
Afghanistan.

Dunia memang tidak mungkin berharap Obama bersikap keras terhadap 
Israel atau berpihak pada Palestina. Tapi dunia tentu pantas berharap 
agar Obama memahami bahwa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah perang, 
melainkan krisis kemanusiaan.
http://islamlib.com/id/artikel/etika-israel-di-gaza/


Reply via email to