Baraya, sok "nonggeng"? hehehe.
Naon bedana upama urang noong hiji objek make posisi normal (sirah
nujul ka langit) jeung dina posisi "nonggeng" (sirah nujul ka bumi)?

Tah ieu aya contona geura. Cing baraya satuju teu jeung eusi artikel
di handap ieu.

salam,
mh
=========
Cikaracak Ninggang Batu

Oleh Didin D. Basoeni

PERIBAHASA Sunda mengungkapkan "Cikaracak ninggang batu, laun-laun
jadi legok". Artinya, setetes air yang jatuh menimpa batu,
lama-kelamaan batu tersebut bisa berlubang.

Timbulnya berbagai masalah yang menimpa negara Indonesia sekarang ini
pun, menurut pengamatan penulis, kalau kita renungi; terkait dengan
peribahasa Sunda tersebut. Misalnya, masalah kemacetan lalu lintas
yang terjadi di kota-kota karena arus lalu lintas kendaraan di kota
cukup padat. Namun, sekarang ini kemacetan arus lalu lintas terjadi
pula di luar perkotaan.

Keadaan tersebut semakin diperparah dengan munculnya pedagang kaki
lima yang berjualan di badan jalan atau di trotoar. Padahal trotoar
diperuntukkan bagi pejalan kaki. Selain itu, adanya becak atau
kendaraan angkutan umum yang ngetem (mencari muatan) di sembarang
tempat, semakin memacetkan arus lalu lintas.

Kenapa arus lalu lintas semakin padat? Jawabannya karena volume atau
jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan raya, tidak seimbang dengan
keadaan jalan. Panjang jalan dan lebar jalan tidak bertambah, tetapi
jumlah kendaraan terus meningkat jumlahnya. Keadaan jalan bertambah
seperti deret hitung, sedangkan kendaraan seperti deret ukur.

Kembali ke peribahasa tadi. Sebelum kendaraan berjubel, awalnya
dimulai dari sedikit demi sedikit jumlahnya. Demikian pula pedagang
kaki lima, angkutan umum (bus dan nonbus), becak, dan sepeda motor.

Contoh (fakta) mengenai kendaraan angkutan umum (bus). Trayek
Bandung-Majalaya tahun lima puluhan. Jangan bicara angkot, bus yang
beroperasi Bandung-Majalaya bisa dihitung dengan jari. Tetapi panjang
jalan, lebar jalan sejak tahun lima puluhan sampai sekarang tetap.
Nah... sekarang trayek Bandung-Majalaya angkutan umum yang beroperasi,
tidak saja bus, tetapi ditambah dengan nonbus; yang jumlahnya tidak
bisa dihitung lagi dengan jari. Seharusnya pihak berwajib (Departemen
Perhubungan dan pemerintah daerah setempat) memerhatikan pada saat
jumlah kendaraan angkutan umum semakin banyak. Jalan yang dipakai
operasi angkutan umum seharusnya mengalami perubahan. Jalannya
diperlebar. Konstruksinya (kualitas aspal dan lain-lain) disesuaikan
dengan bobot kendaraan yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan dan
jembatan yang gelap di waktu malam dipasang penerangan jalan umum.

Demikian pula soal pedagang kaki lima (PKL). Seperti kendaraan umum,
awalnya keberadaan mereka yang berjualan di atas trotoar atau badan
jalan bisa dihitung dengan jari. Kalau saja waktu masih satu dua
pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, cepat-cepat diberi
peringatan (dilarang), tentulah pembersihannya tidak akan menjadi
masalah seperti sekarang.

Fakta lainnya, Jalan Bojongsoang (Bandung-Dayeuhkolot). Dahulu pada
tahun enam puluhan, jalan itu tidak dilewati kendaraan berat (truk
bermuatan puluhan ton, bus besar, dan angkot). Kendaraan besar biasa
melalui Jalan Moh. Toha sebab Jln. Bojongsoang bisa dikatakan jalan
desa bukan jalan raya. Akan tetapi sekarang, Jln. Bojongsoang tidak
hanya dilewati kendaraan besar bernomor polisi "D", melainkan juga
kendaraan dari luar Jabar (bahkan dari luar Pulau Jawa). Bisa kebayang
bagaimana kondisi jalan desa yang dilewati banyak kendaraan berat (dan
berjubel).

Alhasil, Jln. Bojongsoang menjadi rajet (rusak) dan sering macet
total. Penulis pernah mengalami perjalanan dari Baleendah (dekat
Dayeuhkolot) ke Bandung (jaraknya sekitar 22 km) memakan waktu tiga
jam! Hal itu bisa terjadi karena segala permasalahan tadi tidak cepat
ditanggulangi. Kalau sejak awal permasalahan di Jln. Bojongsoang
diperhatikan, tentulah perbaikannya tidak akan sesulit sekarang.

Ada lagi fakta "lucu". Angkutan umum nonbus seharusnya punya terminal
(awal pemberangkatan dan tujuan akhir). Tetapi fakta berbicara lain.
Ada kendaraan nonbus trayek Bandung-Dayeuhkolot memiliki terminal di
Bandung di jalan raya, demikian pula terminalnya di Dayeuhkolot
berlokasi di jalan raya (persimpangan jalan). Bagaimana arus lalu
lintas tidak akan macet? Apalagi di trotoar pun berjubel PKL!

Belum lagi saat turun hujan lebat. Jalan yang sempit, rusak, banjir
dengan kendaraan berjubel!

"Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok". Permasalahan besar
timbul sebab ketika masih kecil "dibiarkan" (tidak diperhatikan).***

Penulis, wartawan senior.

Cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=45457

Reply via email to