Tong hirup di jaman modern atuh kang ari ngaloyogkeun Paribasa Cikaracak mah..... Eta paribasa teh loyogna keur kaum sunda meles (Holism sundanese) lain keur kaum sunda kiwari (reductionist sundanese)... sunda modern lain ...sunda wiwitan lain.... tungtungna diapi lain ku urang deungeun.... Naha karek nyadar Paribasa Cikaracak...sanggeus efek dominona rohaka???
Raoskeun we ayeuna mah.... bongan kaum sunda kiwari incah balilahan tidak adat talari sunda wiwitan (holism sundanese).... make merlukeun modernisasi sagala....ari pas modernisasi jadi teu kakadali.... hehehehehe....balik deui kana paribasa sunda buhun..... moal aya efekna diungkit-ungkit deui ge eta paribasa teh.... ________________________________ Dari: mh <khs...@gmail.com> Kepada: kisunda <kisu...@yahoogroups.com>; baraya_sunda@yahoogroups.com; Urangsunda <urangsu...@yahoogroups.com> Terkirim: Rabu, 4 Februari, 2009 08:27:49 Topik: [Baraya_Sunda] "NONGGENG"? Baraya, sok "nonggeng"? hehehe. Naon bedana upama urang noong hiji objek make posisi normal (sirah nujul ka langit) jeung dina posisi "nonggeng" (sirah nujul ka bumi)? Tah ieu aya contona geura. Cing baraya satuju teu jeung eusi artikel di handap ieu. salam, mh ========= Cikaracak Ninggang Batu Oleh Didin D. Basoeni PERIBAHASA Sunda mengungkapkan "Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok". Artinya, setetes air yang jatuh menimpa batu, lama-kelamaan batu tersebut bisa berlubang. Timbulnya berbagai masalah yang menimpa negara Indonesia sekarang ini pun, menurut pengamatan penulis, kalau kita renungi; terkait dengan peribahasa Sunda tersebut. Misalnya, masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota-kota karena arus lalu lintas kendaraan di kota cukup padat. Namun, sekarang ini kemacetan arus lalu lintas terjadi pula di luar perkotaan. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan munculnya pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan atau di trotoar. Padahal trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki. Selain itu, adanya becak atau kendaraan angkutan umum yang ngetem (mencari muatan) di sembarang tempat, semakin memacetkan arus lalu lintas. Kenapa arus lalu lintas semakin padat? Jawabannya karena volume atau jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan raya, tidak seimbang dengan keadaan jalan. Panjang jalan dan lebar jalan tidak bertambah, tetapi jumlah kendaraan terus meningkat jumlahnya. Keadaan jalan bertambah seperti deret hitung, sedangkan kendaraan seperti deret ukur. Kembali ke peribahasa tadi. Sebelum kendaraan berjubel, awalnya dimulai dari sedikit demi sedikit jumlahnya. Demikian pula pedagang kaki lima, angkutan umum (bus dan nonbus), becak, dan sepeda motor. Contoh (fakta) mengenai kendaraan angkutan umum (bus). Trayek Bandung-Majalaya tahun lima puluhan. Jangan bicara angkot, bus yang beroperasi Bandung-Majalaya bisa dihitung dengan jari. Tetapi panjang jalan, lebar jalan sejak tahun lima puluhan sampai sekarang tetap. Nah... sekarang trayek Bandung-Majalaya angkutan umum yang beroperasi, tidak saja bus, tetapi ditambah dengan nonbus; yang jumlahnya tidak bisa dihitung lagi dengan jari. Seharusnya pihak berwajib (Departemen Perhubungan dan pemerintah daerah setempat) memerhatikan pada saat jumlah kendaraan angkutan umum semakin banyak. Jalan yang dipakai operasi angkutan umum seharusnya mengalami perubahan. Jalannya diperlebar. Konstruksinya (kualitas aspal dan lain-lain) disesuaikan dengan bobot kendaraan yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan dan jembatan yang gelap di waktu malam dipasang penerangan jalan umum. Demikian pula soal pedagang kaki lima (PKL). Seperti kendaraan umum, awalnya keberadaan mereka yang berjualan di atas trotoar atau badan jalan bisa dihitung dengan jari. Kalau saja waktu masih satu dua pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, cepat-cepat diberi peringatan (dilarang), tentulah pembersihannya tidak akan menjadi masalah seperti sekarang. Fakta lainnya, Jalan Bojongsoang (Bandung-Dayeuhkolo t). Dahulu pada tahun enam puluhan, jalan itu tidak dilewati kendaraan berat (truk bermuatan puluhan ton, bus besar, dan angkot). Kendaraan besar biasa melalui Jalan Moh. Toha sebab Jln. Bojongsoang bisa dikatakan jalan desa bukan jalan raya. Akan tetapi sekarang, Jln. Bojongsoang tidak hanya dilewati kendaraan besar bernomor polisi "D", melainkan juga kendaraan dari luar Jabar (bahkan dari luar Pulau Jawa). Bisa kebayang bagaimana kondisi jalan desa yang dilewati banyak kendaraan berat (dan berjubel). Alhasil, Jln. Bojongsoang menjadi rajet (rusak) dan sering macet total. Penulis pernah mengalami perjalanan dari Baleendah (dekat Dayeuhkolot) ke Bandung (jaraknya sekitar 22 km) memakan waktu tiga jam! Hal itu bisa terjadi karena segala permasalahan tadi tidak cepat ditanggulangi. Kalau sejak awal permasalahan di Jln. Bojongsoang diperhatikan, tentulah perbaikannya tidak akan sesulit sekarang. Ada lagi fakta "lucu". Angkutan umum nonbus seharusnya punya terminal (awal pemberangkatan dan tujuan akhir). Tetapi fakta berbicara lain. Ada kendaraan nonbus trayek Bandung-Dayeuhkolot memiliki terminal di Bandung di jalan raya, demikian pula terminalnya di Dayeuhkolot berlokasi di jalan raya (persimpangan jalan). Bagaimana arus lalu lintas tidak akan macet? Apalagi di trotoar pun berjubel PKL! Belum lagi saat turun hujan lebat. Jalan yang sempit, rusak, banjir dengan kendaraan berjubel! "Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok". Permasalahan besar timbul sebab ketika masih kecil "dibiarkan" (tidak diperhatikan) .*** Penulis, wartawan senior. Cite: http://newspaper. pikiran-rakyat. com/prprint. php?mib=beritade tail&id=45457 Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!! Membuat tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/ [Non-text portions of this message have been removed]