Debat Capres yang Gagal Oleh KARIM SURYADI DEBAT calon presiden (capres) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak diwarnai perdebatan. Capres gagal menampilkan sudut pandang berbeda atas suatu isu. Selain kabur, beda-beda tipis, pandangan capres kerap saling melengkapi satu sama lain. Akibatnya, debat capres gagal menolong calon pemilih menemukan panduan kepada pasangan mana suara harus diberikan.
Debat pertama yang digelar KPU melengkapi kekaburan wacana yang dibangun capres dan tim suksesnya. Capres dan tim suksesnya kerap terjebak ke dalam tirani kata-kata. Bahkan, kalaupun terjadi perdebatan bukan pada perkara yang substantif harus diperdebatkan, melainkan hanya debat kusir, yang tak keruan ujung pangkal dan manfaatnya. Akibatnya, 8 Juli hanya ditunggu-tunggu untuk memuaskan rasa ingin tahu tentang siapa presiden lima tahun ke depan, namun tidak membangkitkan harapan, optimisme, bahkan kebanggaan tentang kehidupan kebangsaan yang lebih menjanjikan. Padahal, pemilihan presiden adalah ritus politik tertinggi, ajang yang mempertaruhkan nasib lebih dari 250 juta penduduk Indonesia. Memang pemilih di Indonesia bukan pembaca platform, visi, misi, bahkan program kerja parpol/kandidat. Bagi pasangan yang berharap kemenangan semata, menjauhi terma ideologis adalah pilihan paling disukai dan dinilai menguntungkan. Oleh karena itu, mereka lebih suka membakar emosi atau berbagi logistik ketimbang melatih logika berpikir calon pemilih. Namun, bagi kepentingan membangun demokrasi dan politik yang sehat, politisi sejatinya menyajikan santapan yang menyehatkan. Capres dan politisi lainnya tidak boleh bertindak sebagai koki yang hanya menghidangkan apa yang diminta, melainkan harus memberi apa yang dibutuhkan. Untuk kepentingan ini, debat yang digelar KPU dan beragam komunikasi yang digalang capres dan tim sukses harus substantif, "bergizi" sehingga mencerdaskan calon pemilih. Sebagai bagian dari kampanye, debat capres wajib menghadirkan komparasi yang memungkinkan calon pemilih membandingkan satu calon dengan calon lainnya. Tanpa komparasi, kehadiran tiga pasang capres tak ubahnya deretan pilihan ganda pada tes yang tidak memberi tanda jawaban paling benar. Bila ini yang terjadi, pemilih menjatuhkan pilihannya bukan karena pertimbangan yang meyakinkan, tetapi karena "petunjuk gaib", seperti milang kancing, sekenanya, dan berbagai bentuk tindakan asal-asalan. Jauh dari sekadar memutar balik kata hingga menyerupai obat nyamuk, kalimat yang dibangun capres harus mengandung pernyataan tegas, jelas, dan bernas yang bersumber dari nilai-nilai dasar yang diyakini. Pernyataan atas suatu isu penting untuk memperkuat kepercayaan dirinya sebagai seorang pemegang jabatan yang diinginkan, sekaligus mematahkan keterpercayaan capres lain, serta membela diri dari serangan-serangan pihak lain. Oleh karena itu, sejatinya saling serang sudah menjadi kewajaran dalam kampanye sejauh tetap mengindahkan etika dan menyangkut kebijakan. Kaidah yang harus dipupuk adalah meski bersaing ketiga capres harus tetap loyal kepada kepentingan bangsa dan negara yang fundamental, hak asasi, serta kaidah dasar yang menjadi kiprah umum. Perilaku yang harus dibuang adalah saling mengkritik tentang hal yang remeh. Selain hanya menguras energi, cara-cara seperti ini harus dijauhi karena mengalihkan perhatian calon pemilih dan warga bangsa dari persoalan yang benar-benar harus mendapat perhatian. Masalah yang paling menolong calon pemilih dan berguna untuk menjaga derajat bangsa adalah kesiapan capres untuk bekerja. Kesiapan untuk bekerja penting diperlihatkan capres karena yang terjadi 8 Juli bukan perjudian politik, mempertaruhkan nasib ke dalam pilihan asal-asalan. Ada dua cara yang lazim digunakan kandidat dalam menunjukkan kesiapannya bekerja. Pertama, pengungkapan kebijakan dalam tiga cara, yakni keberhasilan di masa lalu, rencana di masa depan, dan tujuan-tujuan umum. Adalah tidak cukup menggugah bila capres bicara "kami telah menangani hal itu di masa lalu", melainkan harus konkret apa yang diusahakan, bagaimana tingkat pencapaiannya, dan apa dampaknya. Rencana masa depan tidak identik dengan janji, tapi pertimbangan matang menyangkut kondisi yang mungkin diwujudkan. Kedua, menampilkan daya tarik karakter melalui tiga cara, yakni kualitas personal, kemampuan kepemimpinan, dan idealitasnya. Kualitas personal biasanya terhubung dengan karakter pribadi yang biasa disebut sebagai sosok negarawan. Kemampuan kepemimpinan biasanya terhubung dengan kesanggupan sang pemimpin membawa perahu bangsa keluar dari lilitan krisis, dikesani sebagai pahlawan gagah berani, guru besar yang arif, bahkan seperti sosok sang dukun penyembuh beragam penyakit. Sementara idealitas menyangkut keadaan yang didambakan terkait keadaan keluarga, bangsa, dan tatanan dunia. Untuk membangun idealitas misalnya, seorang capres bisa berkata siap membangun konsensus baru dengan negara tetangga tentang masalah tenaga kerja Indonesia dengan memegang nilai-nilai yang dianut keluarga, bangsa, perdamaian, dan kemerdekaan. Keluarga, bangsa, perdamaian, dan kemerdekaan adalah idealitas yang ingin dicapai. Di atas segalanya, pendekatan melodrama yang mengharu-biru harus ditinggalkan karena terbukti tidak mendidik. Pun pendekatan yang hanya membakar emosi dan loyalitas primordial harus dikurangi karena salah-salah hanya menyisakan permusuhan lima tahunan. Bangsa yang besar akan menjadi kerdil bila mengulang kesalahan masa lalu.*** Penulis, dosen dan peneliti komunikasi politik pada Universitas Pendidikan Indonesia. Cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=82601