Nafsu Kekerasan? Selasa, 30 Juni 2009 | 04:50 WIB BS Mardiatmadja
Judul artikel ini bukan karena kekerasan Ambon dan Poso ditayangkan dalam diskusi antarpara calon pemimpin, tetapi karena reaksi dan harapan yang kadang terprovokasi. Banyak sekali yang menginginkan saling serang yang lebih gencar. Sejumlah komentator dan host(-ess) televisi memprovokasi orang untuk menantikan kekerasan dalam berargumentasi. Kecenderungan banyak orang mirip di kalangan adu jago atau sekeliling ring tinju, makin saling berpukulan, makin bernafsu. Padahal, kita susah payah menurunkan suhu rakyat agar tak mudah saling pukul. Kini sejumlah kalangan membius para pemimpin, disuruh memberi contoh untuk saling menunjukkan agresivitas. Bahkan saat mereka dengan cerdik mulai dengan mengamini pendapat lain, sambil menambahkan pendapat yang sebenarnya memberi argumen lebih tajam atau membantah pendapat lawan. Banyak komentator tidak mampu melihat kecerdikan peserta debat. Mungkin kita sudah terbiasa mengira, seolah debat adalah bicara dengan suara galak daripada adu argumen. Atau, Adler benar saat mengatakan, dalam diri manusia tersimpan agresivitas: secara fisik maupun psikis dengan kata dan bahasa tubuh. Masalah bangsa Tersedianya arena untuk rakyat mengenali visi, misi, dan sikap para calon pemimpin pada beberapa fora merupakan kemajuan besar. Yang dapat disediakan adalah tempat kita dapat melihat para calon pemimpin merumuskan situasi masyarakat, kita mau melihat, apakah cara pandang mereka sama dengan kita, rakyatnya dalam mengamati situasi dan harapan rakyat. Semangat kita juga dapat dibakar oleh mereka bahwa masalah yang kita musuhi bersama adalah A atau B, maka mari kita serang bersama. Kekerasan tidak ditujukan kepada pribadi. Untuk itu kita menilai para pemimpin (dan fasilitator media): tidak dari kelihaiannya merangkai kata indah, tetapi pada kecakapannya mendefinisikan masalah bangsa, membatasi sasaran, penentuan arah garap, dan jalan nyata untuk mengatasinya. Definisi masalah yang kita harap dari para pemimpin adalah untuk dengan cermat menajamkan mata melihat masalah dasar di balik kompleksnya gejala di permukaan. Kita mengharapkan para pemimpin yang mampu membatasi sasaran secara realistis dalam lima tahun mendatang: membius rakyat dengan menawarkan hal-hal normatif, memberi iming-iming sasaran berlebihan hanya penipuan karena menghibur sebentar tetapi tidak dapat mencapainya dalam lima tahun mendatang. Akibatnya, kini kita sibuk memikirkan kemungkinan kambing hitam. Arah garap yang tegas dan realistis diharapkan dapat ditawarkan para pemimpin yang memperhitungkan kecepatan dan kesigapan derap sesama bangsa. Sebab, arah garap yang tidak tegas dan realistis akan menyodorkan calon pemimpin yang diktator atau pemimpi, lalu memaksa rakyat melakukan hal-hal tanpa memedulikan HAM atau sama sekali tidak mencapai keinginan. Kemampuan menegaskan jalan nyata hanya mungkin dilakukan jika calon pemimpin sadar, dengan siapa mereka harus bekerja samapada lapisan eksekutif, legislatif, dan yuridisjuga dengan dunia usaha yang mempunyai dinamika tertentu maupun media yang terbuka serta pergaulan internasional yang memberi aneka tuntutan. Merangsang kekerasan Mengingat pemilu adalah proses pengembangan demokrasi, nafsu merangsang kekerasan hanya akan membakar emosi dan melukai banyak pihak sehingga sesudah pemilihan selesai, dendam masih akan terasa dan akan terbawa dalam negosiasi sosial bertahun-tahun. Tidak hanya politik bersih yang harus dikejar, tetapi debat yang cerdas dan santun juga menyiapkan ladang kerja sama untuk membangun bangsa di masa seusai debat dan pemilu. Nafsu kekerasan tidak selayaknya dirangsang dalam pemilihan maupun debat menjelang pemilihan. Yang diperlukan adalah kecerdasan merumuskan musuh bersama, visi mengatasinya, cara dan jalan realistis untuk bersama-sama berjuang; lalu tekad mewujudkannya. Kita perlu membuang jauh-jauh pola berpikir, seakan-akan dalam politik tidak ada sahabat (yang ada hanya kepentingan). Itu politik liberal total. Juga dalam kampanye, kita harus sudah memikirkan strategi, sesudah pemilu kita harus bersama membangun bangsa; bukan menyiapkan musuh selama lima tahun; apalagi musuh untuk saling menusuk dan membunuh, juga membunuh karakter dan menyemai dendam bertahun-tahun. Jika Hillary Clinton dapat bekerja sama dengan mantan lawan debatnya, jika Churchill dapat tetap merangkul bekas lawan politiknya, kalau Dag Hamarskjoeld dapat mati dihormati kawan dan lawan politik, kalau Kasimo dan Natsir dapat berdebat dan tetap bersahabat, mengapa kini kita tak bisa, bahkan, digoda untuk merangsang nafsu kekerasan dalam kata dan tayangan? Tak sepantasnya kita mendorong permusuhan dan dendam berkepanjangan dengan persiapan dan penyelenggaraan pemilu. BS Mardiatmadja Dosen STF Driyarkara, Jakarta