07 Juli, 2009 - Published 09:20 GMT

 
                
Email kepada teman              Versi cetak
Muslim Uighur tolak kebijakan Cina
 
Michael Dillon 
Pakar sejarahwan Islam di Cina
 

 
        

Meski ekonomi berkembang, kehidupan sebagian warga Uighur digambarkan lebih 
susah.
Tindak kekerasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba.
Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga 
Cina etnis Han.

Masalah ini bisa dirunut balik hingga beberapa dekade, dan bahkan ke penaklukan 
wilayah yang kini disebut Xinjiang oleh Dinasti Qing Manchu pada abad ke-18.

Pada tahun 1940-an, muncul Republik Turkestan Timur di sebagian Xinjiang, dan 
banyak warga Uighur merasakan itu menjadi hak asasi mereka.

Namun, kenyataannya, mereka menjadi bagian Republik Rakyat Cina pada tahun 
1949, dan Xinjiang dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan 
mengesampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang 
Uighur.

Status otonomi tidak tulus, dan meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh 
gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah 
sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina 
etnis Han.

Perpindahan warga

Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat 
gencar, namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir 
akibat masuknya banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari 
provinsi-provinsi di bagian timur Cina.

        

Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan 
pekerjaan terbaik. Hanya sedikit orang Uighur berbahasa Cina.

Tidak mengejutkan, ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga 
Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai makar 
pemerintah untuk menggerogoti posisi mereka, merongrong budaya mereka dan 
mencegah perlawanan serius terhadap keuasaan Beijing.

Dalam perkembangan yang lebih baru, anak-anak muda Uighur terdorong untuk 
meninggalkan Xinjiang untuk mendapatkan pekerjaan di belahan lain Cina, dan 
proses ini sudah berlangsung secara informal dalam beberapa tahun.

Ada kekhawatiran khusus atas tekanan pemerintah Cina untuk mendoroang wanita 
muda Uighur pindah ke bagian lain Cina untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, ini 
memperkuat kekhawatiran bahwa mereka akhirnya akan bekerja di bar atau klub 
malam atau bahkan pelacuran tanpa perlindungan keluarga atau masyarakat mereka.

Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan 
salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat 
pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.

Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa 
sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang 
sangat ketat.

Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian 
juga pejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.

Madrasah dibatasi

Sekolah keagamaan -madrasah- juga sangat dibatasi.

        

Kegiatan warga Uighur di masjid dan madrasah dibatasi
Lembaga-lembaga Islami lain yang dulu menjadi bagian sangat penting kehidupan 
kegamaan di Xinjiang dilarang, termasuk persaudaraan Sufi, yang berpusat di 
makam pendirinya dan menyediakan jasa kesejahteraan dan semacam kepada 
anggotanya.

Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, 
tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada 
terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis hui yang juga muslim, tapi 
penutur bahasa Cina.

Ketatanya pembatasan itu akibat pertautan antara kelompok-kelompok muslim dan 
gerakan kemerdekaan di Xinjiang. Gerakan ini sangat bertentangan dengan posisi 
Beijing.

Ada kelompok-kelompok di dalam Xinjiang yang mendukung gagasan kemerdekaan, 
tapi mereka tidak diperkenakan mewujudkannya secara terbuka, sebab "memisahkan 
diri dari ibu pertiwi" dipandang sebagai penghianatan.

Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara 
muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas 
kelompok-kelompok "separatis", yang memuncak pada unjukrasa massal di Ghulja 
pada tahun 1995 dan 1997.

Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para 
akitvisi dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa 
bergerak di bawah tanah.

'Iklim ketakutan'

Penindasan keras sejak digulirkannya kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras" pada 
1996 mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, 
pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan 
orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.

        

Polisi Cina memeriksa dan menggeledah warga di Xinjiang
Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah 
Cina dan warga Cina etnis Han.

Mengejutkan bahwa kebencian ini tidak meledak menjadi kemarahan publik, dan 
unjukrasa sebelumnya, tapi itu dampak ketatnya kontrol yang diberlakukan Cina 
atas Xinjiang.

Ada banyak organisasi kaum pendatang Uighur di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam 
banyak kasus mereka mendukung otonomi sejati bagi kawasan tanah asal mereka.

Di masa lalu, Beijing juga mempersalahkan Gerakan Islami Turkestan Timur memicu 
kerusuhan, meski tidak ada bukti bahwa gerakan ini pernah muncul di Xinjiang.

Aparat di Beijing tidak bisa menerima bahwa kebijakan mereka sendiri di 
Xinjiang mungkin penyebab konflik, dan berupaya mempersalahkan orang luar yang 
mereka tuding memicu tindak kekerasan. Itu juga terjadi dalam kasus Dalai Lama 
dan Tibet.

Kalau pun organisasi pelarian Uighur ingin menggerakan kerusuhan, tentu sangat 
sulit bagi mereka untuk melakukannya, dan ada banyak alasah lokal menjadi 
penyebab kerusuhan tanpa perlu ada campur tangan dari luar.

Reply via email to