Artikel tina Tempo, lumayan kanggo lenyepaneun:

Islam Versus Terorisme

Maksum
Dosen Fikih Politik Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang
http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2009/07/21/kol,20090721-92,id.html

Selasa, 21 Juli 2009 | 14:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Hanya berselang empat hari menjelang digelarnya duel
Manchester United versus Indonesia All Star, aksi terorisme kembali terjadi di
Tanah Air, setelah empat tahun terakhir pemerintah SBY berhasil meningkatkan
stabilitas keamanan dan membawa bangsa ini hidup nyaman tanpa dentuman bom. Kali
ini sasarannya lagi-lagi Hotel JW Marriott plus The Ritz-Carlton, Kuningan,
Jakarta. Korban tak berdosa pun berjatuhan.

Tragedi Jumat Kelabu itu mengindikasikan kepada kita bahwa saat ini tak ada satu
pun negara di dunia yang bersih atau bebas dari ancaman terorisme. Maka,
pertanyaan apakah terorisme itu tampaknya tidak layak lagi diungkapkan ke
permukaan, karena sudah dijawab dengan fakta empiris bahwa terorisme adalah
lawan kemanusiaan, keadaban, dan keragaman. Anggapan terorisme identik dengan
kekerasan, pembunuhan, dan penindasan semakin tidak terbantahkan. Di mana
terorisme singgah, di situlah korban berjatuhan.

Terorisme dan korban ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Karenanya, siapa pun akan resah, gelisah, dan gundah-gulana atas perilaku
teroris yang mengerikan itu. Mempercayai, mendukung, dan mengesahkan terorisme
sama halnya menyetujui adanya tragedi kemanusiaan dalam jumlah yang lebih besar.
Lalu, akankah milenium ketiga menjadi era para teroris? Benarkah bahwa terorisme
mendapat justifikasi dan legitimasi dari agama, demikian juga jihad?

Harus diakui, pasca-tragedi "9/11" yang menghancurkan gedung WTC, New York,
Amerika Serikat, 11 September 2001, muncul suara-suara sumbang yang dialamatkan
kepada agama tertentu, yakni Islam. Dengan kata lain, banyak pihak, terutama AS,
yang menuduh bahwa aksi terorisme mendapat justifikasi atau legitimasi dari
agama (Islam).

Menghadapi tudingan dan pandangan negatif tersebut, ada beberapa hal yang cukup
signifikan dan mendesak untuk dilakukan. Pertama, perlunya menampilkan wajah
agama dengan baik agar agama kita memiliki citra yang baik. Agama mesti
dikembalikan ke posisinya sebagai spirit dan moralitas yang akan senantiasa
mengusung panji-panji kemanusiaan, keadaban, kemaslahatan kesetaraan, dan
keadilan. Sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki citra agama, terutama Islam,
yang pada pasca-tragedi 11 September, serta bom London dan Mesir,
direpresentasikan Al-Qaidah dan beberapa kelompok radikal lainnya.

Kedua, karena tidak sedikit elite dan masyarakat awam bersikap ekstrem dan
eksesif dalam beragama, kini penting bagi kita untuk membangun sikap beragama
yang human. Paradigma humanis dalam beragama adalah paradigma nilai, sikap,
norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa
kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi hak
asasi manusia, memajukan harmoni antarbudaya, dan kelestarian ekologis.

Sikap utama dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan ataupun awam
yang moderat akan cenderung santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan
agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia,
dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan
dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa
(coercive).

Agama-agama jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam diajarkan, "Tuhan
menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan" (QS.22:185). Islam
mengajarkan rahmat dan salam, bukan teror dan perang. Yesus menekankan kasih dan
damai. Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antara Yin dan Yang, antara
sifat-sifat maskulin dan feminin. Semua agama mengajarkan moderasi dan
keseimbangan.

Ketiga, perlunya melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi,
toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa
menyadarkan kepada umat bahwa agama tidak pernah mengajarkan tindakan terorisme.
Langkah kultural yang bersifat proaktif dan progresif semacam ini penting
dilakukan untuk melahirkan citra baru yang lebih baik bagi agama-agama. Gerakan
Moral Nasional yang diprakarsai tokoh-tokoh agama dari berbagai organisasi
keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dan sebagainya, bisa dijadikan
langkah kultural untuk mengkampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan
antiterorisme. Bahwa agama selamanya tak pernah mengajarkan terorisme.

Jihad

Harus diakui, pemaknaan jihad selama ini cenderung pejoratif, dalam arti ia
selalu diterjemahkan dan diaktualisasi sebagai use of force against non-muslim.
Penerjemahan jihad menjadi "perang suci" ini bila dikombinasikan dengan
pandangan Barat tentang Islam sebagai "agama pedang", jelas telah mereduksi
makna substansial dan spiritual dari jihad, serta mengubah konotasinya. Apalagi
jika terminologi jihad yang semacam itu dihadapkan pada nilai-nilai HAM, tentu
saja, akan kian menguatkan asumsi Barat bahwa Islam identik dengan "ketajaman
pedang".

Menurut Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dikutip oleh KH Ali Yafie (1999), jihad
bisa dikategorikan menjadi empat macam, yaitu jihad al-harb (jihad ke medan
perang), jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu), jihad al-usrah (jihad dalam
keluarga), dan jihad al-mujtama' (jihad dalam masyarakat). Dari kategori ini,
jihad bukanlah sekadar perang, bahkan lebih dari itu, jihad justru merupakan
sebuah konsekuensi keimanan atau religiositas.

Karena itu, jihad tidak bisa dilepaskan dari sejumlah aturan etika atau
moralitas. Kebrutalan, pelecehan kemanusiaan, ancaman terhadap kehidupan, dan
berbagai pelanggaran HAM lainnya adalah hal-hal yang secara esensial
bertentangan dengan term jihad. Sungguh sangat disayangkan jika kemudian
sebagian orang menganggap jihad semata-mata sebagai bentuk ekspresi kemarahan
yang tak terkendali yang berakhir pada use of force untuk menghantam musuh
(non-muslim) secara membabi-buta.

Dari sinilah, tampaknya, makna jihad yang selama ini cenderung pejoratif dan
distortif itu mesti didekonstruksi. Bahwa ideologi jihad bukanlah dendam kesumat
dan pelampiasan kebencian, melainkan upaya sosialisasi dan internalisasi
kebajikan (amar ma'ruf) serta pencegahan atau penghapusan terhadap kemungkaran
(nahi munkar). Jihad adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk menegakkan harkat
dan martabat kemanusiaan, melepaskannya dari setiap bentuk ketidakadilan,
kezaliman, dan penindasan, serta mendorongnya ke posisi di mana ia seharusnya
berada.

Dalam pemaknaan ini, maka upaya keras--atas nama Tuhan--untuk memberantas
ketidakadilan, kejahatan, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kebodohan di kalangan
saudara-saudara kita sendiri bisa dikategorikan sebagai jihad. Memang, melakukan
perbaikan di sekitar kita itu, bisa jadi, jauh dari hiruk-pikuk publikasi dan
heroisme yang meletup-letup.

Meski demikian, upaya memperbaiki keadaan di sekitar kita itu seharusnya menjadi
perhatian utama bagi kita, orang-orang yang beragama dan bertuhan. Bukankah kita
seharusnya malu bahwa bangsa kita menjadi juara korupsi, padahal rakyatnya
beragama dan bertuhan? Bukankah kita seharusnya juga malu melihat kejahatan
merajalela di sekitar kita? Begitu pula kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan
yang masih mencengkeram jutaan wong cilik. Inilah seharusnya yang kini menjadi
agenda kita dalam berjihad di era reformasi ini, sebagai pengamalan ajaran suci
dari Tuhan. *


Kirim email ke