Inget baheula, 24 taun katukang, basa rek kawin. Wanti-wanti ka ka urut kabogoh 
teh dina nyieun surat undangan, aran kuring teu meunang make gelar. Alesanana 
mah da kawin mah teu aya syaratna kudu make gelar. Digugu ku kulawarga 
pamajikan teh, ngan nyieun surat undanganana dua versi ..hehehe. Undangan nu ka 
kulawarga jeung kawawuhan kuring mah teu make gelar, tapi nu dibagikeun di 
lembur manehna mah tetep make gelar.

Rada keuheul oge da ngan satengah digugu, ngan cenah aya Nini ti gigir urut 
kabogoh, nu kacida dipikahormat ku kulawarga pamajikan, keukeuh aran kuring 
kudu make gelar, pajarkeun teh keur ngahormat kolot kuring, nu hese cape 
nyakolakeun tepi ka boga gelar.

Dilemna model kieu, tetep mucunghul tepi ka ayeuna. Tapi perlu henteu
embel-embel gelar teh? Nyanggakeun artikel Pa Satrio Sumantri di Kompas minggu 
kamari:


Penganggur Bergelar

Kamis, 24 September 2009 | 02:42 WIB

Satryo Soemantri Brodjonegoro

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, penganggur yang sarjana telah mencapai 
lebih dari 600.000. Keadaan ini jauh lebih berbahaya daripada penganggur yang 
bukan sarjana karena dapat menimbulkan masalah sosial.

Berbagai upaya telah ditempuh guna mengatasi hal ini, tetapi tiap tahun angka 
pengangguran meningkat. Beberapa pihak lalu mencari kambing hitam penyebab 
pengangguran massal tersebut.

Tanggalkan gelar

Masyarakat kita sudah terbius dengan kehausan akan gelar. Setiap orang ingin 
mempunyai gelar sebanyak mungkin, ada yang melalui pendidikan, ada yang membeli 
gelar. Seolah seseorang menjadi tidak berharga jika tidak mempunyai gelar. 
Hanya masyarakat miskin yang tidak mempunyai gelar karena tidak mampu membayar 
pendidikan dan tidak mampu membeli gelar.

Perguruan tinggi menangkap gejala ini dengan menyediakan berbagai layanan untuk 
mendapatkan gelar, baik melalui pendidikan sebenarnya maupun seadanya, bahkan 
dengan menjual gelar. Perguruan tinggi membutuhkan uang, sedangkan masyarakat 
yang mampu akan rela membayar untuk mendapatkan gelar. Maka, terjadilah 
perpaduan yang menyesatkan.

Mudahnya memperoleh gelar membuat masyarakat berduyun- duyun "lulus" dari 
perguruan tinggi dengan menyandang gelar tanpa dibarengi keahlian atau 
kompetensi. Ketika mencari peluang kerja, mereka tidak memenuhi syarat sehingga 
terjadilah penganggur bergelar. Seharusnya mereka segera menanggalkan gelarnya 
karena tidak bermanfaat sama sekali.

Penjenjangan

Perusahaan swasta dan industri menerapkan pola rekrutmen pegawai berdasarkan 
kemampuan/kompetensi, tidak semata- mata berdasarkan gelar. Para calon pegawai 
ketat diseleksi secara ketat melalui uji kemampuan/kompetensi disesuaikan jenis 
pekerjaan yang akan ditangani.

Adapun untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), seleksi hanya dilakukan 
terhadap gelar yang dimiliki calon pegawai, tanpa ada uji kemampuan/kompetensi. 
Karena sebagian besar masyarakat masih amat ingin menjadi PNS, mereka semua 
memburu gelar dengan berbagai cara, termasuk dengan memalsukan ijazah.

Penjenjangan karier di PNS juga hanya memerhatikan masa kerja dan gelar. Bagi 
mereka yang sudah bergelar S-2 atau magister akan dapat dipromosi ke golongan 
lebih tinggi, bahkan bagi mereka yang sudah bergelar S-3 atau doktor dapat 
dipromosi ke golongan tertinggi. Badan Kepegawaian Negara dan Kantor Menneg PAN 
menganggap para penyandang gelar itu mempunyai kemampuan memadai. Padahal,
kenyataannya mereka hanya memburu gelar melalui berbagai cara, termasuk cara 
tidak wajar, yaitu membeli gelar atau mengikuti kelas jauh, kelas eksekutif, 
kelas Sabtu-Minggu, kelas paralel, kelas ekstensi, dan berbagai macam nama lain.

Lengkap sudah kekalutan yang ada di Indonesia ini tentang gelar. Masyarakat 
amat terbius dengan gelar, pendidikan hanya sebatas formalitas untuk memberi 
gelar para "lulusan" dan sistem kepegawaian kita terjebak gelar.

Berikan contoh

Bagaimana mengatasi hal ini? Mudah sekali. Mulai hari ini kita semua
menanggalkan semua gelar yang tercantum di kartu nama, papan nama, foto, surat 
menyurat, undangan, panggilan pada acara resmi, dan lainnya.

Mulai hari ini kita semua hanya menggunakan nama masing- masing yang sudah 
diberikan oleh orangtua sebagai suatu amanah. Nama sudah amat membanggakan 
seandainya kita memiliki keahlian, sedangkan gelar sama sekali tidak memberi 
nilai tambah terhadap keahlian. Jika semua orang tidak menggunakan gelar, 
termasuk para pemimpin, masyarakat akan menjadi lebih realistis dan tidak lagi 
terbius oleh gelar.

Mudah-mudahan, setelah itu mereka semua mencari keahlian dan perguruan tinggi 
akan memberi keahlian kepada lulusan, dan akhirnya penganggur bergelar akan 
berubah menjadi pekerja ataupun pemberdaya yang andal.

Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar Toyohashi University of Technology;
Mantan Dirjen Dikti


Kirim email ke