Salam bagi Kang Dadang,

 

Saya sebenarnya adalah salah satu mantan "korban" dari praktisi2 MLM yang
kurang professional, atau dapat saya katakan hanya mencari keuntungan bagi
dirinya. Namun membaca tulisan anda, saya tersadar, bahwa sebenarnya bisnis
MLM adalah baik adanya, hanya (beberapa) praktisinya saja yang menurut saya
ngawur. Di suatu ketika saya di undang ke pertemuan mereka di bilangan
senayan, menurut yang mengundang saya, akan nada seminar kepemimpinan yang
bagus. Lha, yang ngundang adalah orang yang saya hargai dan sangat saya
hormati. Namun ternyata, sebuah acara me"motivasi" orang2. Para upliner saya
sinyalir begitu antusias memperlihatkan kesuksesan mereka yang menurut saya
semu (menurut saya lho). Mereka jejingkrak'an hingga ke atas kursi.

 

Mungkin ini adalah motivasi yang bagus. Namun, di saat akan pulang, saya
menyempatkan mondar-mandir di sekitar gedung melihat sekumpulan group
membikin pertemuan kecil. Dari kasak-kusuk yang terdengar oleh telinga saya,
nampaknya para downliner dibutakan oleh motivasi para upliner mereka.
Intinya mereka di minta mencari anggota baru. Bukan mempromosikan produk.
Bagi saya, kebutuhan saya bukan mencari orang, tapi kebutuhan saya adalah
produk yang bagus. Di seminar itu mereka menggunakan nama MLM yang agak
sedikit di samar'kan. Kalo dulunya orang kenal MLM "A", pada saat itu
(hingga kini) mereka gunakan nama "N++", sebut saja begitu, nah setahu saya
produk2nya si "A" ini bagus2 lho, saya sangat suka sabun cuci mobilnya itu.
Tapi kalau dengar nama si MLM "A" itu, haduh, lebih baik saya beli yang
murahan rasanya.

 

Alhamdulillah kini saya lebih terbuka cara pandangnya terhadap bisnis MLM.
Saya pun tersadar dalam ajaran Islam pun terpapar jelas sistematis seperti
MLM adalah baik adanya. Saya pun tidak boleh mem'vonis MLM adalah buruk. Dan
kalau pun saya butuh produk mereka, mengapa saya harus antipasti. Lha wong
barangnya bermutu, ya jangan berurusan sama anggota2 yang nyeleneh saja,
ngga repot'kan?

 

Mungkin ada baiknya para praktisi MLM kembali ke "fitrah"-nya, bagi saya,
dengan cara kembali menawarkan produk2 terbaik dari MLM mereka, bukan malah
sibuk dan aggressive merekrut "calon korban" baru bagi mereka donk. Nah,
bila hal tersebut sudah terpenuhi, saya rasa image yang buruk benar adanya
akan bersinar seperti yang Kang Dadang maksud. Karena saya pribadi secara
tidak sadar sangat aggressive mempromosikan (merekomendasikan, red.) barang2
yang saya beli dan pakai dari mulai SIM CARD GSM, CDMA, Handphone hingga
laptop ke rekan2 saya dan Alhamdulillah banyak yang turut membeli barang2
yang saya beli, namun yak ok saya ngga ada keuntungan langsung ya dari
cuap-cuap saya.

 

Saya dalam hal ini, kini, mendukung bisnis MLM (secara tidak langsung), agar
membawa kebaikan bagi pemiliknya, pebisnisnya, konsumennya hingga masyarakat
luas. Amin.

 

Regards,

 

Perdanawan P. Pane

+62 817 8 13 7 82

+62 21 9280 5275

[EMAIL PROTECTED]

[EMAIL PROTECTED]

 

Business Delopment

INSANI CREATIVE

i.creative

[EMAIL PROTECTED]

 

From: bicara@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
dkadarusman
Sent: Saturday, January 05, 2008 6:38 AM
To: bicara@yahoogroups.com
Subject: [Bicara] Si Buruk Rupa Itu Bernama MLM!

 

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Saya diundang oleh teman. Dia bilang, saya akan diperkenalkan dengan 
temannya yang pebisnis sukses. Katanya, dia sedang mencari mitra 
kerja untuk mengembangkan bisnisnya. Waktu saya tanya; bisnis apa-
an? Dia mengatakan; lebih baik ketemu dengan ahlinya langsung. Dan 
kamipun sepakat untuk mengatur pertemuan disebuah hotel bintang 4, 
jam 7 malam. Karena saya percaya pada dia, maka saya berusaha 
bermacet-macet ria. Setelah saya bersusah payah seperti itu; eeh, 
ternyata yang dia bilang dipertemukan dengan bisnisman sukses itu 
cuma untuk mendengarkan presentasi MLM. 

Paragraf diatas itu adalah sebuah petikan kekesalan dari seorang 
teman yang merasa tertipu oleh temannya sendiri. Dalam sebuah blog, 
ada artikel yang membahas keluhan senada. Ada ratusan komentar yang 
muncul untuk artikel itu. Tentu saja, pro dan kontra. 

Dari mana citra buruk rupa itu muncul? Dari konsep MLM-nya kah? Dari 
kekeliruan pendekatan yang dilakukan oleh (sebagian) pelakunya kah? 
Atau dari sinisme dan sifat defensif sang penerima informasinya kah? 
Menarik untuk dicermati. Sebab, begitu banyak orang bersikap 
antipati ketika mendengar kata MLM. Sebuah percobaan kecil dengan 
menanyakan pendapat orang tentang bisnis MLM memberikan kesimpulan 
sementara bahwa; citra buruknya lebih dominan dibandingkan 
dengan `value' sesunguhnya dari system itu. Padahal, dalam 
marketing; tentu saja `citra' merupakan sesuatu yang teramat sangat 
penting. 

Yang lebih menarik lagi adalah; hal itu masih terjadi setelah 
bertahun-tahun system ini diperkenalkan di Indonesia. Sewaktu masih 
kuliah belasan tahun lalu, MLM menjadi topik bahasan seru. Namun, 
hingga sekarang citra buruk itu tidak kunjung surut. Saya menjadi 
teringat suatu ketika guru mengaji dikampung mengatakan; Jika si A 
melakukan kebaikan kepada si B. Kemudian si B melakukan kebaikan 
yang sama kepada si C. Lalu si C melakukannya kepada si D. Dan 
seterusnya. Maka pahala dari rangkaian perbuatan baik itu Tuhan 
tebarkan hingga si A selalu mendapatkan bagiannya. Mungkin saja si A 
tidak mengenal si D. Tapi, ketika si D melakukan kebaikan yang 
diajarkannya; maka si A mendapatkan pahala. Bahkan sekalipun si A 
sudah meninggal, dia tetap mendapatkan pahala dari ilmu kebaikan 
yang diajarkannya.

Guru ngaji saya juga bilang; dalam ajaran kita, sebutir kebaikan 
yang dilakukan orang beriman kepada orang lain itu bagaikan sebutir 
benih padi. Dia akan tumbuh, lalu menghasilkan seuntai tangkai yang 
berisi cabang-cabang dimana setiap cabang untaian padi itu berisi 
cabang kecil-kecil. Dan setiap cabang kecil itu berisi cabang yang 
kecil-kecil lagi. Dan masing-masingnya berisi satu bulir padi. 

Kepada seorang mahasiswi program study marketing saya menceritakan 
kembali kisah guru ngaji itu. Dan saya mengatakan kepadanya 
bahwa; "Konsep MLM itu menganut system pemberian pahala yang 
diajarkan Islam. Seseorang yang menabur benih kebaikan; akan menuai 
rangkaian kebaikan-kebaikan yang ditimbulkannya kemudian." 

Tahukah anda, mengapa saya berani mengatakan hal itu kepadanya? 
Karena dia adalah seorang pacar yang kemudian saya nikahi. Tetapi 
kepada anda, saya tidak berani mengatakan hal itu. Mengapa? Karena 
saya tidak mau mengambil resiko atas respon anda. Bisa saja anda 
mengatakan bahwa; `saya memanfaatkan dalil-dalil agama untuk 
menjustifikasi bisnis itu'. Anda juga bisa menganggap bahwa saya 
antek-anteknya MLM. Jadi, kepada orang lain selain istri saya; saya 
tidak akan mengait-ngaitkan konsep MLM dengan rangkaian pahala 
kebaikan yang diajarkan guru ngaji saya itu.

Tapi, marilah kita melihat beberapa hal. Pertama, sudahkah kita 
bersikap proporsional? Kita perlu menanyakan kepada diri sendiri; 
apakah kita sebal kepada system MLM-nya, atau kepada cara orang-
orang yang membawakannya kepada kita? Bukankah dalam kehidupan 
sehari-hari kita biasa mengatakan `oknum' terhadap sebuah 
penyimpangan yang terjadi? Kata oknum, berguna bagi kita untuk 
membedakan apakah yang jelek itu `seseorang' atau sekelompok orang, 
ataukah system alias lembaganya sendiri.

Kedua, sudahkah kita benar-benar memahami konsep MLM, atau sekedar 
pura-pura memahaminya? Mungkin sikap antipati kita itu sebenarnya 
ditimbulkan karena informasi yang kita terima kurang akurat. Atau 
karena cara-cara yang digunakan para pelaku MLM yang tidak tepat? 
Atau mungkin karena kita pernah `merasa' ditipu; sehingga kita 
menutup diri dari kemungkinan memahami pengertian sesungguhnya 
tentang MLM.

Ketiga, jika anda seorang marketer tentu tahu bahwa dalam system 
penjualan biasa - yang bukan MLM - anda sering dipusingkan oleh apa 
yang disebut sebagai `barang buangan'. Barang-barang yang masuk ke 
teritory anda, dari teritory lain. Anda yang bekerja susah payah, 
tapi teman anda di kota lain yang mendapatkan salesnya karena barang 
buangan itu bocor ke teritory anda. Hey, tahukah anda bahwa; dalam 
MLM kemungkinan `permainan' semacam itu sangat kecil? Jika anda 
sudah berhasil merekomendasikan seseorang menjadi member, maka tidak 
peduli dia membeli produknya dikota mana; anda tetap mendapatkan 
bonusnya. 

Keempat, bisakah kita menemukan organisasi marketing yang 
terstruktur rapi dan sestematis? Teman saya berjualan baju muslim. 
Dia mengambil baju-baju itu dari Tanah Abang dengan keuntungan 30%. 
Kemudian, dia titipkan baju muslim itu ke Ibu-Ibu Arisan, dan 
memberi mereka keuntungan 20%. Si Ibu-ibu arisan mengambil sepuluh 
potong, lalu bilang kepada suami-suami mereka; "Pah, bilangin dong 
sama teman kamu supaya beli baju-baju ini untuk istrinya. Nanti 
Papah dapat untung 15%". Si suaminya pergi kekantor, dan bilang pada 
Office Boy: "Dadang, kalau kamu mau menjualkan baju ini kepada 
karyawan disini, kamu akan mendapatkan keuntungan 10%". Hal semacam 
itu lumrah terjadi disekitar kita, bukan? Menurut pendapat anda, 
apakah cara jualannya `bertingkat-tingkat'? Kayaknya sih begitu. 
Tapi belum sistematis, ya? Bagaimana jika mereka melakukannya dengan 
cara yang systematis sehingga hitung-hitungan bonusnya jelas, dan 
masing-masing dapat membawa baju dagangannya itu kepada teman-
temannya yang lain? 

Kelima, bisakah kita menemukan suatu system marketing yang 
memberikan keuntungan jangka panjang kepada konsumen atau pengguna 
produk setianya? Cobalah tengok barang-barang yang anda miliki. Anda 
membelinya. Lalu, Anda bilang pada tetangga; "Produk ini bagus, saya 
sudah pake tuh Jeng"; apakah anda mendapatkan imbalan dari 
perusahaan? Dalam MLM, setiap konsumen memiliki kesempatan untuk 
mendapatkan manfaat-manfaat lain, misalnya; perbedaan harga yang 
signifikan. Hak untuk menjual kembali kepada orang lain dengan 
selisih harga menarik. Dan untuk setiap tetangga yang ikut membeli 
produk itu atas rekomendasi anda; perusahaan bersedia memberi anda 
imbalan berupa pembagian keuntungan yang diperolehnya. 

Jika kita tidak mau berbisnis, apakah kita perlu membenci MLM? 
Nggak, kan ya. Kita netral saja. E-eh, tunggu dulu; saya membutuhkan 
suatu produk tapi tidak ada di supermarket. Adanya hanya di MLM. 
Gimana dong? Mengapa pusing? Kita beli saja di MLM, tapi tidak usah 
jadi member. Sebab, MLM tidak melarang seseorang yang bukan anggota 
untuk membeli produknya. Dan MLM tidak memaksa konsumennya untuk 
menjadi tenaga marketing mereka. Mereka hanya memberi kesempatan 
kepada kita; KALAU-KALAU kita mau mendapatkan manfaat lain selain 
dari manfaat langsung dari produk yang kita beli. Jika tidak, ya 
tidak apa-apa. Jangan hanya karena produk itu dipasarkan secara MLM, 
meskipun anda membutuhkannya; anda batal membelinya.

Bagaimana jika kita `akhirnya' tertarik untuk ikutan berbisnis? 
Lakukan saja. Tapi ingat; hindari melakukan kesalahan yang sama 
seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang `ngerjain' anda dengan 
presentasi yang tidak objektif. Jadilah marketer yang profesional 
dan proporsional.

Kita tidak perlu mencari-cari argumen untuk menentukan; mana yang 
lebih baik, diantara MLM dan sistem marketing biasa. Tidak terlalu 
bermanfaat. Lebih baik kita tempatkan diri pada porsinya masing-
masing. Kita yang tidak suka MLM dan tidak mau berurusan sama sekali 
dengan apapun yang berbau MLM; cukup katakan, "maaf, saya tidak 
tertarik". Kita yang hanya butuh produknya saja; tidak usah ragu 
untuk membeli. Beli saja. Dan, kita yang menjadi pelaku bisnis MLM; 
terus tingkatkan profesionalisme dalam bekerja. Dengan begitu, MLM 
yang saat ini masih dipandang sebagai seekor anak bebek buruk rupa 
itu akan cepat atau lambat tumbuh menjadi seekor angsa yang cantik 
jelita.

Hore,
Hari baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangkadarusman.com/

Catatan Kaki:
Orang-orang yang baik melakukan sesuatu dengan cara-cara yang baik. 
Dan orang-orang yang baik membuka diri untuk setiap kebaikan dengan 
menunjukkan sikap yang baik. 

Untuk Update Artikel Terbaru Dari Dadang Kadarusman Melalui Email, 
klik disini: http://www.dadangkadarusman.com/contact-us/email-
alert/ 

 

Reply via email to