Artikel:  Mengapa Kita Tidak Merasa Sedang Melakukan Keburukan?  
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Tidak punya hati. Begitu biasanya kita menyebut orang-orang yang tega melakukan 
sesuatu yang melampaui batas. Nyaris setiap hari, di televisi dan media masa 
lainnya kita menyaksikan orang-orang saling berdebat membela diri. Para 
pengacara ngeyel soal ketidakterlibatan kliennya. Kita sangat jarang mendengar 
seseorang yang bersalah secara jantan mengatakan;”Benar, saya telah mengambil 
sesuatu yang bukan hak saya.” Bahkan saat berbohong, keseluruhan bahasa 
tubuhnya seolah mengatakan bahwa itulah kebenaran yang sesungguhnya. Mengapa 
bisa begitu ya?
 
Salah satu mata pelajaran yang saya sukai ketika bersekolah adalah tentang 
anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Khususnya, tentang bagaimana tubuh 
melakukan metabolisme di tingkat selular sehingga setiap sel didalam tubuh kita 
bisa hidup. Anda tentu masih ingat bahwa setiap makanan yang kita telan 
mengalami proses digesti dalam saluran cerna. Setelah dicerna, kemudian 
saripati makanan masuk ke dalam usus kecil atau intestin. Sedangkan usus 12 
jari adalah tempat utama dimana proses penyerapan sari makanan melalui 
vili-vili terjadi. Sari makanan menembus membran sel vili untuk kemudian 
dilarutkan dalam darah. 
 
Jika proses itu kita sederhanakan, darah yang sudah berisi sari makanan itu 
mengalir menuju ke jantung. Lalu jantung berkontraksi hingga darah mengalir 
sampai ke pembuluh kapiler. Pembuluh darah di perifer ini memiliki kemampuan 
untuk melepaskan sari-sari makanan dan memberikannya kepada setiap sel yang 
dilintasinya. Kira-kira mirip dengan tukang koran yang melemparkan korannya ke 
depan pintu rumah kita. Setelah itu, sel-sel tubuh mengambil sari makanan, lalu 
dengan bantuan oksigen memetabolismenya. Proses metabolisme menghasilkan enerji 
untuk beraktivitas atau material lain untuk tumbuh atau regenerasi sel. Sel 
hasil regenerasi itu akan menjadi matang, sedangkan sel sebelumnya menjadi tua 
dan mati. Proses ini berjalan terus menerus sehingga sel-sel dalam tubuh kita 
merupakan hasil dari segala sesuatu yang kita makan. 
 
Jika kita perhatikan, setiap tindakan buruk memiliki ’alasan ekonomi’. Artinya, 
ada unsur materi yang terlibat. Misalnya, ketika seseorang mencuri, merampok, 
korupsi atau menipu. Setelah tangan kita mengambil, kemudian kita memakannya. 
Jadi, setelah tangan, maka organ paling penting yang tercemar berikutnya adalah 
lidah. Makanya tidak mengherankan jika setelah mengambil sesuatu yang bukan hak 
kita, maka dosa kita berikutnya adalah ’berbohong’. Mengapa kita berbohong? 
Karena lidah kita sudah dibentuk dari makanan yang buruk. Makanya, kata-katanya 
juga menjadi buruk. Semakin banyak kita mengambil, semakin terampil kita 
berbohong. Semakin sulit untuk mengakui perbuatan buruk kita.
 
Orang bilang, jika kita punya hati nurani maka tidak mungkin bisa berbohong 
berkali-kali. Itu benar. Ada yang belum saya ceritakan tentang proses peredaran 
darah itu. Jika Anda membaca literatur, maka Anda akan tahu bahwa setelah 
menyerap sari makanan di usus halus, darah yang berisi makanan dari nafkah 
bukan hak kita itu tidak langsung menuju ke jantung. Tidak langsung menuju ke 
jantung? Iya. Kemana dong jika demikian? Darah itu terlebih dahulu menuju ke 
hati. Jadi, hati tidak perlu menunggu kiriman dari hasil pompaan jantung untuk 
mendapatkan darah yang kaya nutrisi. Artinya, hati adalah organ penting pertama 
yang dikunjungi darah berisi makanan tak halal itu. Jadi, sel-sel baik dalam 
hati segera diganti oleh sel-sel baru yang tumbuh dari makanan yang buruk. Oleh 
sebab itu, setelah lidah kita berdusta; selanjutnya hati mengiringi 
kebohongan-kebohongan yang kita katakan.  Padahal, hati adalah benteng 
pertahanan terakhir yang bisa menjaga kita dari
 perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan. 
 
Bisakah Anda membayangkan apa yang terjadi jika ’benteng terakhir’ penjaga 
kebaikan dan keluhuran budi itu sudah tercemar juga? Tentunya kita tidak lagi 
bisa membedakan antara baik dan buruk. Makanya, kita akan merasa benar meskipun 
tengah melakukan perbuatan nista. Tapi kan tidak semua perbuatan buruk 
bermuatan ekonomi. Misalnya? Membolos. Mengkhianati pasangan. Berpura-pura 
sakit kepada atasan. Mengganggu istri orang lain. Dan sebagainya. Tidak ada 
faktor ekonomi bukan? 
 
Coba perhatikan, biasanya seseorang tidak langsung melakukan perbuatan nista 
seperti itu. Artinya itu semua itu bukanlah dosa pertama. Dosa pertama manusia 
biasanya selalu berurusan dengan faktor ekonomi. Jadi mari kita sebut semua hal 
diatas itu sebagai ’dosa level kedua’. Tanyalah orang-orang yang melakukan 
tindakan asusila, misalnya; pernahkah dia memakan nafkah tidak halal? Biasanya 
pernah. Bagaimana melihat kaitan dosa ’level pertama’ dengan dosa ’level 
kedua’? 
 
Setelah darah berisi nutrisi tidak berkah itu mencapai jantung, dia dipompa ke 
sekujur tubuh, bukan? Organ penting apa yang dekat dengan Jantung? Paru-paru. 
Seluruh sel paru-paru diganti dengan sel-sel dari nafkah buruk. Itulah 
sebabnya, setiap tarikan nafas kita selalu dipengaruhi oleh perilaku buruk. 
Selama kita bernafas dengan sel-sel buruk itu, selama itu pula kita hidup 
dengan spirit yang buruk. Jadi, selama hayat masih dikandung badan; kita akan 
selamanya bernafas dalam keburukan.
 
Organ penting berikutnya yang dekat ke jantung adalah otak. Tepat ketika darah 
berisi nutrisi buruk itu menghidupi sel otak, maka pikiran kita pasti cenderung 
kepada ide dan pemikiran yang buruk. Jangan heran jika setelah sukses melakukan 
dosa ’level pertama’ kita semakin jago untuk merencanakan dosa di ’level-level 
berikutnya’. Bukankah otak kita sudah dijejali nutrisi yang buruk? Sebentar 
dulu, bukankah sel otak itu tidak melakukan regenerasi setelah dia mati? 
Menurut literatur memang begitu. Tetapi, otak itu bekerja dengan energi yang 
dihasilkan oleh proses metabolisme nafkah tidak berkah. Makanya, dia sangat 
sulit menghasilkan pemikiran yang positif dan baik. Otak kita semakin cerdas 
mencari akal untuk melakukan keburukan-keburukan lainnya.
 
Guru mengaji saya pernah mengatakan pesan Nabi bahwa keburukan itu kalau baru 
sampai kepada niat belum dicatat oleh malaikat sebagai maksiat. Baru menjadi 
dosa jika sudah dilakukan. Jadi aman, bukan? Aman. Tetapi, coba perhatikan. 
Dari jantung darah bernutrisi laknat itu dikirim ke sel-sel di tangan dan kaki 
kita. Kulit kita. Mata kita. Hidung kita. Telinga kita. Seluruh sel didalam 
tubuh kita. Kira-kira, perilaku dan tindakan seperti apa yang akan dilakukan 
oleh sekujur tubuh kita jika demikian? Pastilah sekujur tubuh kita akan 
bersekongkol dengan otak yang sudah menjadi kotor itu agar setiap gagasan buruk 
itu dapat dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Jika sudah demikian, kita 
tidak ubahnya menjadi seperti monster. Tubuh kita saja yang masih berujud 
manusia, tapi seluruh daleman sel-selnya sudah tidak lagi memiliki sifat 
manusiawi. Asalnya dari mana? Dari nafkah tidak berkah yang kita makan.
 
Jadi, sekarang kita mengerti mengapa para pencuri atau ahli korupsi dan 
pengemplang BLBI bersikeras mengatakan;”Saya tidak melakukannya!” meskipun ada 
cukup bukti. Karena seluruh sel-sel hidup dalam tubuh yang tumbuh dari nafkah 
yang buruk tidak memiliki kesadaran lain selain berpikir, barkata, dan 
bertindak yang buruk-buruk. 
 
Ada orang yang ngotot mengatakan; ”Dosa pertama saya tidak berkaitan dengan 
faktor ekonomi. Jadi, saya menjadi orang jahat pasti karena Tuhan salah 
mendisain sel-sel tubuh saya.” Ada yang seperti itu? Ada. Lantas bagaimana 
caranya kita memahami fenomena itu? Sederhana. Tanyakan kepada Ayah atau Ibu 
kita; apakah mereka pernah memberi kita makanan dari hasil korupsi, mencuri, 
menipu atau apapun yang bukan menjadi hak kita?  Setiap manusia itu lahir dalam 
keadaan suci. Namun, jika setelah lahir kita diberi nutrisi oleh orang tua 
dengan nafkah yang kotor, maka kesucian itu akan segera berganti. Makanya, 
tidak mengherankan jika sejak kecil pun kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan 
nista. Oleh sebab itu juga, jika kita korupsi, maka anak dan istri kita akan 
kompak membela kita. Meskipun logika pembelaan mereka sudah terbalik-balik. 
Pantaslah jika guru mengaji saya mengatakan bahwa Sang Nabi suci mewanti-wanti 
agar kita memberi anak dan istri nafkah yang
 baik..... 
 
Kita tahu bahwa kebenaran tidak bisa bercamur aduk dengan kebatilan. Kabaikan 
tidak senang berteman dengan keburukan. Ini menjelaskan, mengapa sekujur tubuh 
kita begitu kompak untuk melakukan kebejatan-kebejatan. Lidah kita terampil 
berdusta. Mimik wajah kita pandai memasang roman kesungguhan. Dan hati kita, 
seolah-olah tidak lagi berisi nurani. Karena, sel-sel tubuh yang dibangun dari 
nutrisi buruk akan dengan suka cita besekongkol dengan gagasan-gagasan buruk, 
dan tindakan terkutuk. Sebaliknya, beraaaaaaat sekali rasanya untuk berbuat 
baik. Karena tubuh yang dibangun dengan nafkah yang buruk tidak suka bergaul 
dengan segala hal yang baik. Persis seperti firman Tuhan melalui Sang Nabi; 
”....bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui tentang apa yang kamu 
kerjakan.” Semua itu berasal dari hal sepele; memakan makanan yang bukan hak 
kita. 
 
Semoga Tuhan berkenan memaafkan dosa-dosa kita dimasa lalu. Dan memberi kita 
nafkah yang berkah. Setelah nafkah itu berkah, semoga juga jumlahnya melimpah.
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman 
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com 
 
Catatan Kaki:
Berpuasa adalah salah satu cara untuk mensucikan sel-sel tubuh kita dari nafkah 
yang buruk. Karena dalam sahur ada berkah. Dalam buka ada ampunan. Kalau 
puasanya benar, semoga kita bisa kembali kepada fitrah. 
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul 
”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara 
GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan 
kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  

--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa 
dipesan di http://www.bukudadang.com/


      

Kirim email ke