Alumni Luar Negeri, Aset Siapa?

Oleh :
Erie Sudewo
(Social Entrepreneur)

Karena cuma menghafal nama dan angka tahun, peristiwanya luput
dimaknai. Karena tak tahu peristiwanya, benang merah misteri yang
membalut peristiwa dari masa ke masa juga sulit disidik. Karena tak
bisa disidik, ke mana bergeraknya juga gagal diprediksi. Karena gagal
memprediksi, itu tanda berpikir kritis tak dilatih.

Karena tak kritis, salah satu dampaknya anggap sepele sejarah. Karena
anggap sepele sejarah, seolah hari esok lepas dari kemarin. Karena
tak ada hubungan kemarin dan esok, hari ini kita kebingungan. Karena
bingung, jati diri pun lepas.

Karena tak mahfum jati diri, krisis identitas makin parah. Karena
krisis identitas, bangsa ini jadi santapan empuk asing. Karena jadi
santapan empuk, mudah sekali diakali. Karena mudah diakali, masa
depan bangsa ini tergadai. Entah apakah metode hafalan ini strategi
kolonial menutupi begitu banyak kekejian dan keculasan mereka. Ya dan
tidaknya tergantung sudut pandang. Yang pasti sejarah bukan kumpulan
peristiwa tak bermakna.

Ada tonggak-tonggak yang dipahat founding fathers. Itu biduk yang
memandu arah masa depan. Memang siapa bilang menggapai cita-cita
mudah. Tak ada satu pun bangsa yang berleha-leha lantas sukses.
Celakanya, bangsa yang gemar melahap mi instan ini seolah dalam
meraih masa depan cukup menyeduh beberapa menit.

Sebagian policy maker kita memang mesti belajar merumus kebijakan.
Untuk diri sendiri dan partai, mereka tak usah diajari. Mereka
maestro, hingga negara pun rela dilego. Jika strategi jual negara
laku dijual, mereka pasti jadi guru besar dunia. Negara ini sudah
miskin. Mereka yang menjual negara, kaya-kaya bukan?

Setiap tahun pasti banyak terjadi peristiwa. Kita coba pilah
peristiwa yang membuat bangsa ini tak jelas bergerak ke mana. Yang
menarik, tahunnya kebetulan berada di sekitar angka tujuh. Lantas
sibak di tiap pergantian 10 tahunan. Tapi, camkan, angka 7 dan 10
hanya kebetulan sejarah. Perhatikan saja pada peristiwanya. Lantas
telusuri kausalitas makna di baliknya.

Tahun 1957 diam-diam FEUI memulai hubungan dengan Harvard University.
Bentuk kerja samanya beasiswa studi. Bagi negara Paman Sam, kerja
sama ini amat strategis. Alasannya tentu politik, yang akhirnya
mengarah pada ekonomi.

Jangka pendeknya perang dingin antara Rusia dan Amerika sedang hangat-
hangatnya, di samping poros Jakarta-Peking sudah dihembus-hembus
Soekarno. Jangka menengah mendidik mahasiswa dan pengajar FEUI
sebanyak-banyaknya, bukankah langkah besar.

Jangka panjangnya sadar atau tidak, para alumni ini sedang dikader
Amerika. Jika 10 atau 20 tahun kelak jadi pejabat, bukankah itu aset?
Tapi, aset siapa? Jangan lupa pepatah there is no free lunch bukan
tanpa makna. Tahun 1967 Orla baru saja tumbang. Blok Eropa Timur yang
dimotori Rusia tertohok. Jakarta-Peking pun dikubur.

Orang-orang Cina di Indonesia resah. Jika ingin selamat, mereka harus
beralkulturasi. Sebagian nama Cina pun diubah. KO-nya Blok Timur,
kemenangan Blok Barat. Orba pun ditegakkan.

Lirikkan pada Barat, segera terjawab karena kerja sama beasiswa telah
hasilkan doktor-doktor ekonomi. Segera di Bappenas dibuat tim yang
melibatkan para alumni dan institusi Harvard. Tim ini jadi thingtank
pembangunan 25 tahun Indonesia ke depan. Untuk pertama kali era ini
ditandai dengan munculnya istilah mafia Berkeley.

Untuk itu Amerika serius kerahkan segala sumber daya. Mengapa? Karena
dalam konstelasi politik, Indonesia di masa Soekarno merupakan
kekuatan raksasa. Di Asia Tenggara ditakuti. Di Australia amat
diperhitungkan. Apa yang dikatakan Soekarno sering mengguncang dunia.
Tak heran saat itu sosoknya kerap disejajarkan dengan JF Kennedy dan
B Tito (Polandia). Malah Mahathir yang sukses memajukan Malaysia oleh
sebagian pihak dianggap 'Soekarno Kecil'.

Sayangnya seperti yang Richard Nixon katakan: ''Kelemahan Soekarno
terletak pada keyakinannya bahwa revolusi belum dan tidak akan pernah
selesai''. Artinya, pembangunan tidak hanya dengan pidato retorik,
tetapi juga harus dengan bekerja. Tahun 1977 Andi Hakim Nasoetion
(IPB) menulis artikel menarik. Saran pertamanya fakultas pertanian di
Irian, jangan belajar pertanian sawah. Konsentrasilah pada budidaya
sagu. Kedua, bangun pusat-pusat pertukangan di sekitar belantara
hutan Kalimantan.

Di Indonesia, saran dari bukan teknokrat telanjur dianggap gangguan.
Yang terjadi seluruh fakultas pertanian di Indonesia belajar tentang
sawah. Akibatnya, jika tak makan nasi, seolah-olah jadi warga kelas
dua. Padahal, kondisi Irian tak layak disawahkan. Kini 220 juta orang
Indonesia harus makan nasi. Implikasinya Indonesia jadi negara
pengimpor beras terbesar dunia.

Jika saran Andi Hakim Nasoetion digugu, diversifikasi pangan telah
terjadi. Usul itu juga bukan hanya mewarisi kearifan lokal, malah
bakal menghasilkan produk turunan lainnya. Pusat pertukangan dan
sekolah kejuruan perkayuan di Kalimantan pun tak pernah terbangun.
Orba lebih suka mencacah hutan dengan membagi-bagi HPH. Jika pusat
pertukangan terbangun, Indonesia akan melahirkan banyak ahli
pertukangan.

Hutan juga tak akan sekejap gundul karena pertukangan adalah proses
jadi profesional. Dengan pertukangan, reboisasi lebih mudah
dilakukan. Sementara itu, HPH cenderung mewariskan masalah. Hutan
gundul, reboisasi pun akal-akalan. Lingkungan rusak, banjir bandang
pun kerap menerjang. Tahun 1987 dalam sebuah seminar di Museum Satria
Mandala Jakarta, Dorodjatoen Koentjoro Jakti mengatakan: ''Pada tahun
2.000 nanti akan ada bangsa yang terbukti tak tahu akan dibawa ke
mana bangsanya ini.''

Pernyataan ini mengejutkan sebab sangat berseberangan dengan rekan-
rekan pengajarnya. Bukankah sobat-sobatnya yang mengarsiteki
pembangunan Indonesia? Pernyataan Dorodjatoen menjawab tuntas rumor
yang berkembang: Mengapa dia tidak pernah jadi menteri?

Tahun 1997 ucapan Dorodjatoen terbukti. Indonesia dilumat krisis.
Diawali dengan moneter, krisis ini terus menebar petaka ke seluruh
sektor yang hingga hari ini tak juga siuman.

Akar penyebab diutak atik. Yang dari sekian banyak pendapat, moral
buruk dituding jadi biangnya. Moral buruk memang tampak di segenap
sisi. Pembangunan selama Orba melahirkan banyak wajah minor. Korup,
potong kompas, serba instan, uang pelicin, basa basi, slogan kosong,
hingga P4 pun cuma 'harmoko', hari-hari omong kosong.

Yang alergi pada mafia Berkeley, menuding kelompok ini punya andil
besar meremukkan fondasi perekonomian nasional. Usulan Andi Hakim
Nasoetion tak dapat tempat. Bukan hanya mikro, juga amat tak gengsi
karena bicara sawah dan pertukangan. Jelang krisis moneter, terjadi
dialog opini antara kubu Widjojonomics dan Habibienomics. Habibie pun
ditertawai karena membaca clash fow pun diragukan. Lebih-lebih
Habibie tawarkan pendidikan yang siap pakai.

Artinya, masuk dalam kelas buruh dan paling banter supervisor. Apa
yang dibawa Habibie dan Andi Hakim Nasutioen hanya sektor mikro.
Sulit bawa bangsa ini pada kegemilangan. Hasilnya berbagai sekolah
kejuruan tutup panggung. STM Pembangunan yang pernah dibanggakan, tak
lagi dilirik. SMEA seolah jadi sekolah buangan. Sekolah menengah
analis kimia, sayup-sayup sampai. Bahkan, SPG pun mati angin tak
punya wibawa apa-apa.

Akhirnya, pada 2007 masyarakat antre minyak tanah. Sebuah fenomena
yang hanya layak di zaman kolonial. Antre minyak di atas sumber daya
minyak, ini cuma ada di Indonesia. Andai para pemegang kebijakan
sesekali bangun sebelum Shubuh untuk antre minyak, mereka pasti bakal
memaki pembuat kebijakan.

Hidup ini realistis menjejak bumi. Bukan asyik dengan pendekatan
makro, disambut senyum dan tepukan riuh pidato sana sini. Apalagi
yang bertepuk tangan hanya segelintir orang, terutama oleh mereka
yang asing-asing. Tanpa pesan, penerima beasiswa dapat kesempatan
sekolah sebagai anugerah. Karena anugerah, pemberi beasiswa dianggap
penjamin masa depan. Karena menganggap dewa, apa pun titahnya
dilaksanakan tanpa reserve.

Karena tanpa reserve, apa pun yang diminta diserahkan yang terbaik.
Karena yang terbaik diserahkan, hingga perparkiran pun dikelola
secure parking. Karena dari parkir hingga eksplorasi sumber daya oleh
asing, masa depan negara ini tak jelas ke arah mana. Tanpa pesan,
negara ini jatuh.

Mafia Berkeley sebelumnya dituding hanya di satu PT. Kini yang
menjabat Menko Ekuin, Menkeu, dan beberapa direktur di Depkeu berasal
dari PT yang lain. Soalnya mengapa pendekatan makro tetap jadi
fondasi pembangunan?

Ingat there is no free lunch. Tanpa pesan kebangsaan, alumni
pendidikan luar negeri telah jadi aset mereka yang asing-asing.
Sampai kapan ini disadari?


Ikhtisar:

- Agenda asing di Indonesia sangat banyak.
- Kebijakan pemerintah pun sering mengadopsi


Source: Republika, Rabu, 20 Februari 2008







-- 
www.daengbattala.com
--update : "There's Something Pinky in My Heart"

Kirim email ke