Diskusi soal plagiatisme sedang sangat 'panas' nya di milis panyingkul<http://groups.yahoo.com/group/panyingkul/>dua hari belakangan. Saya yang merasa tidak punya kompeten menilai suatu karya cipta selain sebagai pembaca dan (*wanna be*) pembelajar yang baik tentu hanya bisa ikut-ikutan geram dan merasa malu. Seorang sekelas wartawan senior, pemimpin redaksi koran terkemuka di Makassar - Fajar<http://fajar.co.id/>, dan kandidat doktor di Belanda secara telak melakukan aksi plagiatisme secara 'sewenang-wenang' terhadap tulisan Aan Mansyur,<http://pecandubuku.blogspot.com/>penulis kesayangan panyingkul <http://panyingkul.com/> - dan saya juga. Sukriansyah S. Latief, wartawan dan kandidat doktor yang sedang belajar di Belanda itu, menulis perihal Westerling yang dimuat di Harian Fajar<http://www.fajar.co.id/index.php?act=news&id=55163>secara berseri sebanyak empat kali itu tertangkap basah melakukan penjiplakan terhadap tulisan Aan Mansyur <http://pecandubuku.blogspot.com/>. Beberapa paragraph tulisan Aan yang pernah tayang di panyingkul <http://www.panyingkul.com/view.php?id=279>disalin mentah-mentah tanpa *citation *atau *paraphrasing *dalam tulisannya itu, dengan demikian seakan-akan Sukriansyah S Latief menegaskan bahwa dia-lah penulis sejatinya. Kasus ini membuat semuanya meradang, terutama kak Lily Yulianti<http://lilyandfarid.com/>- penggagas panyingkul, dan tentu saja Aan Mansyur <http://pecandubuku.blogspot.com/>.
Permohonan maaf sudah dilakukan oleh sang wartawan senior, kepada Aan Mansyur <http://pecandubuku.blogspot.com/>, juga kepada Panyingkul. Permohonan maaf itu juga dimuat di facebook Sukriansyah. Saya senang, mudah-mudahan kejadian ini tidak berlanjut lebih panas lagi. Kita tentu memaklumi kekhilafan seseorang dan jika dibarengi dengan permohonan maaf, tentu sangat baik adanya. Hanya saja, perlu ditindaklanjuti untuk menjadi pembelajaran yang baik jangan sampai terulang lagi, atau menular kepada yang lain. Karena, menurut Lily Yulianti <http://lilyandfarid.com/> - penggagas Panyingkul <http://panyingkul.com/>, kejahatan yang paling besar justru adalah mengangap plagiatisme ini lumrah adanya. Saya pun, meski masih tergolong sebagai penulis *koddala*, atau penulis kacangan, pernah juga mengalami kasus penjiplakan tulisan. Kalau tulisan Aan dijiplak sebahagian, maka tulisan saya dijiplak seluruhnya. Tidak ada satupun karakter dalam tulisan saya yang bertajuk Henry Dunant dan Sensitivitas Kita<http://noertika.wordpress.com/2007/05/08/henry-dunant-dan-sensitifitas-kita/>, yang dilewatkan oleh si pembajak yang bernama Bambang Eko Nugrahanto dan dimuat di situs berita Kabar Indonesia <http://www.kabarindonesia.com/>. Ibaratnya, si pembajak mengambil alih kapal yang saya kendarai dan miliki, kemudian diakuinya sebagai milik pribadinya. Tentu saja saya juga meradang, dan saya melayangkan protes kepada pemilik situs yang memuat tulisan si pembajak. Dan kemudian mengalirlah permohonan maaf dari pemilik situs yang pernah mendapat penghargaan MURI <http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=25&dn=20071127210634>sebagai situs jurnalisme dengan jumlah wartawan terbanyak di Indonesia. Di kesempatan lain, tulisan saya di panyingkul tentang Makassar Mini di Balikpapan <http://www.panyingkul.com/view.php?id=185>, juga dibajak oleh Majalah SAYA dan diakhiri juga dengan permohonan maaf. Kasus ini selesai, namun pembajakan tidak selesai-selesai juga. Disana-sini orang membajak karya orang lain, dan hal yang paling ringan dan sering dilakukan, terutama oleh para miliser, adalah memforward tulisan orang lain tanpa menyebutkan atau menyertakan nama penulis dan media yang memuatnya. Semalam ketika saya membaca majalah Tempo <http://tempo.co.id/>edisi 15-21 Desember 2008, saya terkaget-kaget karena (merasa) menemukan derivatif dari pembajakan ini. Dan yang membuat saya mungkin bungah dan sangat tercengang, dilakukan oleh media yang sedari dulu menggadang-gadang sebagai yang terdepan dalam mengkampanyekan soal kejujuran dan kebenaran. Dalam rubrik Etalase sub-rubrik Selancar, Edisi 15-21 Desember 2008, Tempo menginformasikan (atau merekomendasikan?) perihal situs di internet yang berisi lagu Indonesia terbaru yang bisa diunduh secara gratis dalam bentuk MP3. Saya lantas berpikir soal pembajakan atas karya cipta musisi Indonesia kita yang kini marak dilakukan, terutama dalam bentuk MP3 yang dijual bebas atau diunduh gratis lewat internet. Saat saya mencoba mengakses situs yang direkomendasikan Tempo, memang ada disclaimer dan himbauan untuk membeli CD atau kaset original dan download ini sifatnya hanya untuk review saja. Sayangnya himbauan ini tentu saja ibarat angin lalu, selepas men-download lagu secara gratis seberapa banyak pengakses yang 'ikhlas' untuk membeli CD atau kaset originalnya? Buat saya ini ibarat memberikan kunci rumah kita kepada maling, sambil menitipkan pesan untuk mengembalikan sehabis mencuri. Kecuali kalau si pencuri, atau pembajak, kemudian membayarkan sejumlah uang sebagai pembayar royalti atau ganti-untung atas pencurian atau pembajakan tersebut. Buat saya yang awam, Tempo mungkin khilaf dalam memberikan (atau merekomendasikan) informasi ini, dan karenanya perlu dikritik. Kasihan seniman-seniman kita yang sebahagian besar hanya menggantungkan penghidupannya dari berkarya dan berkreasi. Sementara para pembajak menangguk untung di atas kreatifitas para seniman kita itu tanpa proses yang sewajarnya sesuai aturan. Pembajakan terhadap karya cipta adalah suatu kejahatan, namun menganggap biasa - apalagi merekomendasikan - melakukan pembajakan adalah sungguh kejahatan yang teramat luarbiasa. -- drusle' http://daengrusle.com