yoyoyo.....lebih cepat lebih baik

--- On Sun, 5/17/09, mus mimin <primus022...@yahoo.com> wrote:

From: mus mimin <primus022...@yahoo.com>
Subject: [blogger_makassar] (Opini) JK Dizalimi SBY
To: reformasi_birokr...@yahoogroups.com, cotomakas...@yahoogroups.com, 
blogger_makassar@yahoogroups.com, penulisle...@yahoogroups.com, 
forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com, pramuka_un...@googlegroups.com
Date: Sunday, May 17, 2009, 8:39 AM











    
            
            


      
      

JK Dizalimi SBY

http://muslimindaen glalo.blogspot. com/2009/ 05/jk-dizalimi- sby.html,




 

Pada hari terakhir pendaftaran capres-cawapres
(Sabtu, 16/05/09), ketiga pasangan capres-cawapres melakukan pendaftaran secara
resmi. Pendaftar pertama adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) pada pagi
hari, diikuti pasangan Megawati Soekarnoputri- Prabowo Subianto (Mega-Pro) pada
siang hari dan pada sore hari  pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Berbudi) . Sebelumnya pasangan JK-Win 
dikabarkan
akan mendaftar lebih dahulu pada Selasa (12/05), namun urung dilakukan. Pasangan
JK-Win adalah pasangan capres-cawapres yang paling awal melakukan deklarasi
sebagai kontestan pada pilpres Juli mendatang. 

Tekad untuk maju sebagai capres bagi
JK adalah sebuah hasil dari perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan SBY dan
para dedengkot Partai Demokrat. JK yang sebelumnya masih menginginkan berduet
dengan SBY pada periode kedua pemerintahannya, merasa dizalimi oleh SBY dengan
menetapkan lima kriteria cawapres.  Arogansi
SBY terlihat nyata dalam penetapannya secara sepihak pada lima kriteria cawapres
yang diinginkannya sehingga otomatis menggugurkan peluang JK. Elektibilitas SBY
yang cukup tinggi melalui berbagai survey adalah penyebab utama sikap arogansi
SBY dalam menentukan kriteria cawapres yang akan mendampinginya selama lima
tahun ke depan. 

Kelima kriteria cawapres yang pernah
dikemukakan SBY di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat dihadapan
wartawan istana (Minggu, 19/04/09) adalah memiliki integritas yang ditandai
kepribadian dan moral yang tinggi, termasuk moral politik; memiliki kapasitas
dan kapabilitas dalam menjalankan tugas negara; mempunyai loyalitas kepada
kepala pemerintahan dan bebas dari konflik kepentingan; memiliki
akseptabilitas dalam arti diterima dan lekat di hati rakyat; dan mampu 
meningkatkan kekokohan
efektifitas koalisi pemerintahan. 

Kriteria cawapres yang ditetapkan
SBY berangkat dari pengalamannya selama periode lima tahun berjalan bersama JK.
SBY merasa perlu menetapkan kriteria baru cawapresnya agar keinginan JK kembali
berduet dengan SBY dibentengi secara halus. SBY bermaksud membangun
pemerintahan yang solid melalui koalisi pemerintahannya tanpa JK namun SBY lupa
bahwa fakta selama ini justru ada partai koalisinya yang tidak konsisten:
membangun koalisi dengan SBY-Partai Demokrat namun menghajar kebijakan
pemerintah terus-menerus di DPR atas nama koalisi kritis.  

Penetapan kriteria cawapres bagi SBY
sebagai antisipasi secara politik untuk menjalankan pemerintahannya ke depan
tanpa gangguan dari dalam.  Dalam sejarah
hubungan presiden-wakil presiden, memang JK berhasil membangun suatu sejarah
baru dengan menjalankan fungsi wapres secara dinamis, bukan fungsi sebagai “ban
serep” yang  dipraktekkan beberapa
pemerintahan sebelumnya. Efek kedinamisan JK sebagai wapres sehingga seorang
tokoh bangsa, Ahmad Syafii Maarif menobatkan JK sebagai “The Real President”
selama lima tahun terakhir. 

Sementara pilihan cawapres SBY pada
Boediono tidaklah secara utuh memenuhi kelima kriteria yang dibuatnya sendiri. 
Keberadaan
Boediono tidak mencerminkan kemampuan untuk memperkokoh koalisi  efektifitas 
pemerintahan yang menjadi kriteria
kelima. Boediono berasal dari kalangan professional yang tidak mendapat
dukungan dari partai politik koalisi pendukung SBY seperti PPP, PKB, PAN dan
PKS. Hal ini terlihat secara kasak mata betapa SBY tidak konsisten antara
perkataan dan perbuatannya. 

PKS adalah partai pendukung koalisi
yang paling keras menolak Boediono karena memiliki agenda sendiri memajukan 
beberapa
kadernya sebagai cawapres SBY seperti Hidayat Nurwahid dan Tifatul Sembiring. 
Hingga
detik-detik akhir pendeklarasian pasangan SBY-Boediono di Sasana Budaya Ganesha,
Bandung pada Jumat (15/05/09), PKS mendapatkan proporsi perhatian yang lebih 
dibanding
partai pendukung koalisi lainnya. Meski pada akhirnya Tifatul Sembiring  
terlihat menghadiri deklarasi tersebut yang
digelar mirip dengan penobatan Barack Obama-Joe Biden sebagai capres-cawapres 
pada
konvensi Partai Demokrat AS. 

Politik Penzaliman terhadap JK
diawali oleh pernyataan Wakil Ketua Partai Demokrat, Ahmad Mubarak yang
menyepelekan Partai Golkar dengan melakukan prediksi perolehan suara Partai
Golkar yang tidak lebih dari 2,5 persen pada bulan Februari 2009 lalu. Makna 
dibalik
pernyataan Mubarok terkandung alamat menafikan JK yang notabene adalah Ketua
Umum Partai Golkar untuk mendampingi kembali SBY sebagai Cawapres. Pernyataan 
Ahmad
Mubarok membuat jagat dunia politik langsung bergejolak sehingga SBY sendiri
harus turun tangan meredakan gejolak dengan menggelar konferensi pers untuk
mendinginkan hubungan dengan Partai Golkar. 

Pernyataan Ahmad Mubarok seolah
menguak agenda tersembunyi Partai Demokrat untuk mendiskreditkan JK dan Partai
Golkar. Setidaknya dengan mendiskreditkan  Partai Golkar dapat mempengaruhi 
opini publik sehingga
Partai Golkar kehilangan suaranya pada pemilu 2009. Dan ternyata target untuk
menyingkirkan Partai Golkar sebagai pemenang pemilu 2004 lalu dinilai berhasil 
dengan
tampilnya Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009. Partai Demokrat yang
belum berumur satu dekade itu berhasil mengungguli partai-partai yang telah
berusia tua seperti Partai Golkar (dulu Golkar), PDI-P (dulu PDI) dan PPP.  

Sasaran utama dibalik pernyataan
Mubarok sebenarnya untuk menggerogoti dan mencuri massa Partai Golkar. Secara 
sosiologi
politik, Partai Demokrat akan kesulitan menggaet suara dari massa partai
berbasis agama. Massa partai berbasis nasionalis lainnya seperti PDI-P juga
sulit untuk dicuri Partai Demokrat karena basis massa PDI-P yang berbasis wong
cilik relatif konsisten meskipun jumlahnya tidak bertambah. Maka basis massa
Partai Golkar-lah yang relatif mampu dicuri oleh Partai Demokrat, dan hasilnya
seperti terlihat pada Pemilu Legislatif April 2009 lalu: Suara Partai Golkar
menurun, sementara suara Partai Demokrat bertambah secara signifikan. 

Grand Design Partai Demokrat untuk
tampil sebagai pemenang pemilu telah menjadi target utama partai yang didirikan
SBY tersebut untuk menyingkirkan Partai Golkar yang dipimpin JK. Namun grand
design tersebut  secara tidak sengaja dibeberkan
Ahmad Mubarok ke hadapan publik secara prematur. Sebelumnya grand design
tersebut pernah pula terlontar dari mulut Ketua Bappilu Partai Demokrat, Nur
Amang beberapa tahun sebelumnya. Grand design tersebut semuanya bermuara pada 
sasaran
menyingkirkan JK secara halus dalam periode kedua pemerintahan SBY. Bila Partai
Golkar bisa dikalahkan dalam pemilu, maka Partai Demokratlah yang bisa meraup
untung sebagai partai pemerintah. Partai Demokrat ingin menghindari rivalitas
dengan Partai Golkar yang sama-sama ber-platform nasionalis dan sama-sama
berlabel partai berkuasa selama lima tahun terakhir. Kenyataan ini seolah
kacang lupa akan kulitnya karena selama periode duet SBY-JK, Partai Golkar-lah
yang banyak membantu pemerintah, utamanya melalui dukungan parlemen.  

Statement politik Ahmad Mubarak
merupakan representasi apa yang ada dibenak para pengambil keputusan dari
Partai Demokrat. Sejak pemilu 2004 lalu sebagai partai baru, Partai Demokrat 
lebih
banyak membangun konstituen melalui media sehingga layak disebut sebagai partai
media. Partai media yang dimaksudkan disini adalah partai politik yang berhasil
dibesarkan oleh media massa melalui iklan-iklan politik, pemberitaan politik dan
sensasi-sensasi politik yang sengaja dibuatnya. Partai Demokrat  berkembang 
melalui iklan-iklan politik yang
menampilkan keberhasilan SBY sebagai presiden, meski sebagian besar dikerjakan 
oleh
JK dengan Partai Golkarnya. Iklan-iklan politik Partai Demokrat berhasil 
mempengaruhi
opini publik sehingga berhasil mengambil alih kedudukan Partai Golkar sebagai
pemenang pemilu 2009.  

Hal ini berbeda dengan Partai Golkar
yang merupakan partai berbasis massa. Namun massa yang dibangun oleh Partai
Golkar telah berhasil diambil oleh Partai Demokrat melalui iklan-iklan politik
yang gencar dan massif karena disokong oleh modal pembiayaan politik yang
sangat besar sebagai partai berkuasa.   

 Berkaca pada sejarah pemilihan presiden pasca
reformasi, partai politik pemenang pemilu tidak berkorelasi positif terhadap
keterpilihan kadernya menjadi presiden. Bila pemenang pemilu 1999 adalah PDI-P,
justru presidennya berasal dari PKB (Abdurrahman Wahid). Sedang pada pemilu
2004 pemenang pemilu adalah Partai Golkar, tetapi presidennya dari Partai
Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono). Nah, pemilu 2009 pemenangnya adalah Partai
Demokrat. Apakah presidennya tetap dari Partai Demokrat, atau justru berasal
dari Partai Golkar atau PDI-P? 



       Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan.   
Rasakan bedanya! 
 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke