TVOne, Metro TV, dan Monolog Densus 88 Antiteror

Barangkali kita semua masih ingat ketika reporter Metro TV Nurudin Lazuardi 
berada satu pesawat dengan Sjahril Djohan dalam penerbangan Singapura-Jakarta. 
Nurudin satu-satunya wartawan yang "berhasil" mewawancara Sjahril dan 
mengabadikan kepulangan mantan diplomat yang diduga markus itu. Mudah ditebak: 
Metro diberi informasi eksklusif oleh Polri. Pada saat yang sama TVOne sedang 
punya hubungan tidak enak dengan Polri akibat dugaan markus palsu dalam 
tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi. Sebelumnya, untuk kasus-kasus terorisme, 
TVOne menjadi "yang terdepan dalam mengabarkan". Wartawan TVOne, Ecep S Yasa, 
selalu menempel pada Densus 88 ketika aksi-aksi penyergapan dilakukan. Ketika 
Amrozi cs dieksekusi, TVOne yang pertama kali memastikan terpidana mati teroris 
itu sudah ditembak mati.

Tetapi apa harga yang harus dibayar TVOne dan Metro TV setelah mereka mendapat 
informasi dan fasilitas eksklusif dari Polri? Tidak ada makan siang gratis. Di 
tengah kontroversi penahanan Susno dan belitan markus di tubuh Polri, tiba-tiba 
"teroris" itu muncul kembali. Dan rupanya kini giliran TVOne dan Metro TV yang 
harus "memberi sesuatu" kepada Polri. Dalam penyergapan "teroris" yang penuh 
kejanggalan ini, kedua TV itu menjadi corong Polri. Mereka menelan 
mentah-mentah apa saja yang ke luar dari mulut Polri. Selain menampilkan 
gambar-gambar "kegesitan" Densus, TVOne dan Metro juga menyajikan berbagai 
dialog dengan "pengamat terorisme" yang menggambarkan hebatnya Polri dan Densus 
dan menggambarkan betapa Presiden dan pejabat tinggi sedang dalam ancaman. 
Kedua TV itu membiarkan Polri melakukan pertunjukan monolog.

...Bukan tanpa alasan jika Mahfud MD, Ketua Mahmakah Konstitusi, 
mengkhawatirkan penyergapan "teroris" ini sekedar upaya pengalihan isu. Dan 
bukan tanpa alasan pula jika Kompas tidak menempatkan peristiwa penyergapan ini 
dalam headline...

Bukan tanpa alasan jika banyak pihak seperti Mahfud MD, Ketua Mahmakah 
Konstitusi, mengkhawatirkan penyergapan "teroris" ini sekedar upaya pengalihan 
isu. Dan bukan tanpa alasan pula jika Kompas edisi Jumat 14 Mei yang lalu tidak 
menempatkan peristiwa penyergapan ini dalam headline, tidak juga muncul di 
halaman pertama. Kompas menempatkannya di halaman 26, halaman Metropolitan, 
dengan judul: "Polisi Tewaskan 5 Orang." Headline Kompas hari itu justru: Susno 
Duadji Terus Melawan.

Wartawan senior Hanibal Wijayanta (ANTV) menuliskan berbagai kejanggalan dalam 
penyergapan itu:

Namun ada yang menarik dalam penggerebegan teroris di Solo kali ini. Sebab, 
sebelum penggerebegan itu, polisi sempat menggelar brieffing terlebih dahulu 
dan persiapan-persiapan seperlunya di sebuah rumah makan. Di tempat itu pula 
–di pinggir jalan— mereka baru memakai rompi anti peluru setelah 
melempar-lemparkannya sebentar di antara mereka, memasang sabuk, penutup 
kepala, senjata api dan persiapan-persiapan lain. Beberapa warga yang melintas 
sempat menonton mereka show of force, dan terkagum-kagum heran melihat semua 
persiapan itu…

Nah, setelah semua anggota lapangan memakai peralatan rapi, mereka lalu masuk 
ke mobil dan langsung bergerak. Hanya bergerak sebentar tiba-tiba mobil-mobil 
Densus 88 itu berhenti. Para anggota lapangan pun bergerak mengepung sekitar 
lokasi dan kemudian memasuki rumah yang dipakai menjadi bengkel itu. Para 
wartawan yang mengikuti mereka sampai tergopoh-gopoh karena terkejut. Mereka 
tidak mengira rumah sasaran sedekat itu. Tahukah anda, berapa jaraknya dari 
rumah makan tadi? Hanya 200 meter, dan terlihat jelas dari restoran tadi!!…

Dalam rekaman para cameraman televisi, Lazuardi reporter/cameraman Metro TV dan 
Ecep S Yasa, dari TV-One tampak diberi privilege untuk mengambil gambar 
terlebih dahulu dari wartawan lain. Meskipun demikian mereka juga sempat 
disuruh keluar terlebih dahulu, "Nanti dulu-nanti dulu, belum siap," kata 
seorang anggota Densus 88. Para wartawan sempat bertanya-tanya, apanya yang 
belum siap. Namun ketika boleh masuk, para wartawan melihat bahwa barang bukti 
sudah tersusun rapi di lantai.

(lihat selengkapnya di: 
http://www.facebook.com/note.php?note_id=389398343542&id=1294733809&ref=mf)

Hal menarik lain, konferensi pers kali ini, selain langsung disampaikan 
Kapolri, juga dihadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto. Padahal biasanya untuk 
peristiwa penyergapan yang tidak melibatkan tokoh teroris kelas berat, 
konferensi pers hanya dilakukan Kadiv Humas Mabes Polri. Ada apa? Polri mungkin 
berpikir bahwa Menko Polhukam harus dihadirkan dalam konferensi pers untuk 
memberi kesan bahwa ini penyergapan yang serius. Tetapi sebaliknya kita bisa 
berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri memerlukan Menko 
Polhukam untuk meyakinkan publik.

...kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri 
memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik...

Jika "penyergapan teroris" digunakan sebagai upaya pengalihan isu atau 
digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan alokasi dana, 
maka hal-hal seperti ini harus kita kutuk keras. Dan tugas media untuk 
memberikan perspektif kepada publik, tidak menelan mentah-mentah penjelasan 
sepihak. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan jika media menjaga jarak dengan 
sumber berita (Polri) dengan menjalin relasi yang proporsional. [Irfan Rahadian]

JUST SHARE ====>>> Ungkapkan Kebenaran Itu Walau Terasa Pahit....

Kirim email ke