Konspirasi, ampunma.

Pada 18 Mei 2010 19:16, marten <ten86_pol...@yahoo.co.id> menulis:

>
>
> TVOne, Metro TV, dan Monolog Densus 88 Antiteror
>
> Barangkali kita semua masih ingat ketika reporter Metro TV Nurudin Lazuardi
> berada satu pesawat dengan Sjahril Djohan dalam penerbangan
> Singapura-Jakarta. Nurudin satu-satunya wartawan yang "berhasil" mewawancara
> Sjahril dan mengabadikan kepulangan mantan diplomat yang diduga markus itu.
> Mudah ditebak: Metro diberi informasi eksklusif oleh Polri. Pada saat yang
> sama TVOne sedang punya hubungan tidak enak dengan Polri akibat dugaan
> markus palsu dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi. Sebelumnya, untuk
> kasus-kasus terorisme, TVOne menjadi "yang terdepan dalam mengabarkan".
> Wartawan TVOne, Ecep S Yasa, selalu menempel pada Densus 88 ketika aksi-aksi
> penyergapan dilakukan. Ketika Amrozi cs dieksekusi, TVOne yang pertama kali
> memastikan terpidana mati teroris itu sudah ditembak mati.
>
> Tetapi apa harga yang harus dibayar TVOne dan Metro TV setelah mereka
> mendapat informasi dan fasilitas eksklusif dari Polri? Tidak ada makan siang
> gratis. Di tengah kontroversi penahanan Susno dan belitan markus di tubuh
> Polri, tiba-tiba "teroris" itu muncul kembali. Dan rupanya kini giliran
> TVOne dan Metro TV yang harus "memberi sesuatu" kepada Polri. Dalam
> penyergapan "teroris" yang penuh kejanggalan ini, kedua TV itu menjadi
> corong Polri. Mereka menelan mentah-mentah apa saja yang ke luar dari mulut
> Polri. Selain menampilkan gambar-gambar "kegesitan" Densus, TVOne dan Metro
> juga menyajikan berbagai dialog dengan "pengamat terorisme" yang
> menggambarkan hebatnya Polri dan Densus dan menggambarkan betapa Presiden
> dan pejabat tinggi sedang dalam ancaman. Kedua TV itu membiarkan Polri
> melakukan pertunjukan monolog.
>
> ...Bukan tanpa alasan jika Mahfud MD, Ketua Mahmakah Konstitusi,
> mengkhawatirkan penyergapan "teroris" ini sekedar upaya pengalihan isu. Dan
> bukan tanpa alasan pula jika Kompas tidak menempatkan peristiwa penyergapan
> ini dalam headline...
>
> Bukan tanpa alasan jika banyak pihak seperti Mahfud MD, Ketua Mahmakah
> Konstitusi, mengkhawatirkan penyergapan "teroris" ini sekedar upaya
> pengalihan isu. Dan bukan tanpa alasan pula jika Kompas edisi Jumat 14 Mei
> yang lalu tidak menempatkan peristiwa penyergapan ini dalam headline, tidak
> juga muncul di halaman pertama. Kompas menempatkannya di halaman 26, halaman
> Metropolitan, dengan judul: "Polisi Tewaskan 5 Orang." Headline Kompas hari
> itu justru: Susno Duadji Terus Melawan.
>
> Wartawan senior Hanibal Wijayanta (ANTV) menuliskan berbagai kejanggalan
> dalam penyergapan itu:
>
> Namun ada yang menarik dalam penggerebegan teroris di Solo kali ini. Sebab,
> sebelum penggerebegan itu, polisi sempat menggelar brieffing terlebih dahulu
> dan persiapan-persiapan seperlunya di sebuah rumah makan. Di tempat itu pula
> –di pinggir jalan— mereka baru memakai rompi anti peluru setelah
> melempar-lemparkannya sebentar di antara mereka, memasang sabuk, penutup
> kepala, senjata api dan persiapan-persiapan lain. Beberapa warga yang
> melintas sempat menonton mereka show of force, dan terkagum-kagum heran
> melihat semua persiapan itu…
>
> Nah, setelah semua anggota lapangan memakai peralatan rapi, mereka lalu
> masuk ke mobil dan langsung bergerak. Hanya bergerak sebentar tiba-tiba
> mobil-mobil Densus 88 itu berhenti. Para anggota lapangan pun bergerak
> mengepung sekitar lokasi dan kemudian memasuki rumah yang dipakai menjadi
> bengkel itu. Para wartawan yang mengikuti mereka sampai tergopoh-gopoh
> karena terkejut. Mereka tidak mengira rumah sasaran sedekat itu. Tahukah
> anda, berapa jaraknya dari rumah makan tadi? Hanya 200 meter, dan terlihat
> jelas dari restoran tadi!!…
>
> Dalam rekaman para cameraman televisi, Lazuardi reporter/cameraman Metro TV
> dan Ecep S Yasa, dari TV-One tampak diberi privilege untuk mengambil gambar
> terlebih dahulu dari wartawan lain. Meskipun demikian mereka juga sempat
> disuruh keluar terlebih dahulu, "Nanti dulu-nanti dulu, belum siap," kata
> seorang anggota Densus 88. Para wartawan sempat bertanya-tanya, apanya yang
> belum siap. Namun ketika boleh masuk, para wartawan melihat bahwa barang
> bukti sudah tersusun rapi di lantai.
>
> (lihat selengkapnya di:
> http://www.facebook.com/note.php?note_id=389398343542&id=1294733809&ref=mf
> )
>
> Hal menarik lain, konferensi pers kali ini, selain langsung disampaikan
> Kapolri, juga dihadiri Menko Polhukam Djoko Suyanto. Padahal biasanya untuk
> peristiwa penyergapan yang tidak melibatkan tokoh teroris kelas berat,
> konferensi pers hanya dilakukan Kadiv Humas Mabes Polri. Ada apa? Polri
> mungkin berpikir bahwa Menko Polhukam harus dihadirkan dalam konferensi pers
> untuk memberi kesan bahwa ini penyergapan yang serius. Tetapi sebaliknya
> kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri
> memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik.
>
> ...kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri
> memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik...
>
> Jika "penyergapan teroris" digunakan sebagai upaya pengalihan isu atau
> digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan alokasi dana,
> maka hal-hal seperti ini harus kita kutuk keras. Dan tugas media untuk
> memberikan perspektif kepada publik, tidak menelan mentah-mentah penjelasan
> sepihak. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan jika media menjaga jarak
> dengan sumber berita (Polri) dengan menjalin relasi yang proporsional.
> [Irfan Rahadian]
>
> JUST SHARE ====>>> Ungkapkan Kebenaran Itu Walau Terasa Pahit....
>
>  
>



-- 
http://haerulsohib.blogdetik.com
http://haerulsohib.blogspot.com

Senyum manis, senyum cerah, senyum bahagia, dan senyum keihklasan, bukan
senyum SINIS.

Kirim email ke