Yah, meriam bambooo...

Nyamanna injo :)


www.denun.net / denung.wordpress.com®

-----Original Message-----
From: andi.zulki...@gmail.com
Sender: blogger_makassar@yahoogroups.com
Date: Sat, 28 Aug 2010 05:50:40 
To: <blogger_makassar@yahoogroups.com>
Reply-To: blogger_makassar@yahoogroups.com
Subject: Re: Bls: [blogger_makassar] Rindu Pepe' Pepe' Rumallang

Sy juga rindu suara meriam bambu yang sekarang tergantikan dengan petasan dan 
kembang api :)
Arqam Tour & Travel - Pesan Tiket Jadi Gampang!

-----Original Message-----
From: mus mimin <primus022...@yahoo.com>
Sender: blogger_makassar@yahoogroups.com
Date: Sat, 28 Aug 2010 12:34:27 
To: <blogger_makassar@yahoogroups.com>
Reply-To: blogger_makassar@yahoogroups.com
Subject: Bls: [blogger_makassar] Rindu Pepe' Pepe' Rumallang

Wah, ternyata mainan Pepe-pepe Rumallang mainannya De-Nun waktu kecil. Mestinya 
bisa dihidupkan lagi mesti sudah tergerus zaman dengan adanya listrik. Kita 
perlu belajar ke kampungnya De-Bat, meski sudah ada listrik, tradisi Malam 
Tumbilotohe (Malam Pasang Lampu pada tiga hari terakhir Ramadhan) masih marak 
di 
Gorontalo sampai skarang.


DL


________________________________
Dari: daengnuntung <daeng.c...@gmail.com>
Kepada: Idbb-mks <id-blackberry-...@yahoogroups.com>; AM 
<blogger_makassar@yahoogroups.com>
Terkirim: Jum, 27 Agustus, 2010 18:16:07
Judul: [blogger_makassar] Rindu Pepe' Pepe' Rumallang


Rindu Pepe' Pepe' Rumallang

Nun jauh dahulu, pada kampung-kampung penuh gairah dan kecintaan yang dalam 
pada 
bulan penuh berkah dan maghfirah.  Pada saat kabel perusahaan listrik negara 
belum mengangkangi rumah-rumah panggung warga, pada saat mesin genset semahal 
pesawat terbang. Pada saat anak-anak dan orang tua hidup atas karunia alam 
kampung. Saat mereka berkreasi atas apa yang mereka punyai. 

Saat itu, masih pagi sekali. Belasan anak-anak telah berkumpul di sekitar 
pepohonan punaga (bahasa Makassar). 


Mereka mencari buahnya, biasa disebut pude, yang jatuh berserakan dari pohon. 
Sekilas pohon punaga terlihat seperti pohon nangka, dengan daun nyaris serupa, 
licin. Batangnya keras. Biasa dijumpai berdiri kokoh di sekitar pohon mangga 
atau buah jambu putih, tidak jauh dari anak-anak sungai.

Buah pude bentuknya lebih kecil dari bola pingpong dengan kulit keras. Di dalam 
buahnya terdapat isi yang kenyal dan berminyak. Buah berminyak itulah yang jadi 
sasaran anak-anak itu. Bukan hanya anak-anak, para remaja dan orang tua kerap 
ikut mencari. Lalu, mau diapakan buah pude itu? 

Malam-malam menjelang peristiwa lailatul qadr di kampung-kampung disambut 
dengan 
“appepe’-pepe’(pepe', api dalam bhs Makassar)”. Satu tradisi di masyarakat 
beberapa tahun silam yang menjadi ciri penerimaan dan apresiasi warga atas 
malam 
penuh berkah, lailatul qadr. Biasanya dirayakan tiga malam berturut-turut, 
walau 
beberapa warga tetap menyalakan lampu mereka hingga tujuh malam berturut-turut. 

Buah pude, dipecah dan isinya ditumbuk untuk kemudian disatukan dengan isi buah 
pude yang lain. Dijemur dan beberapa saat kemudian dibuat semacam adonan untuk 
dilumuri atau dibalut di bilah bambu basah sepanjang 30 centimeter. Yang punya 
banyak buah pude akan membuatnya lebih panjang. Biasanya panjang lumuran bisa 
sampai 20 centimeter. Bayangkanlah satu bilah kecil bambu yang telah dilumuri 
isi buah pude dan ujungnya siap dibakar. Buah pude karena menyimpan banyak 
minyak, sangat mudah terbakar dan tahan lama. 

Anak-anak lelaki lalu meletakkan semacam obor kecil berbahan buah pude itu di 
depan rumah, di balik pagar bambu. Biasanya dibuat formasi baris. Antara 3 – 9 
batang. Semakin banyak semakin ramai. Menyulutnya di mulai dari ujung atas. 
Pepe’-pepe’ akan bertahan beberapa jam, untuk hari berikutnya, mereka telah 
siapkan. Bukan hanya pepe’ pepe’ dari pude’. 


Di malam menjelang dan memasuki peringatan lailatul qadr, malam beribu 
maghfirah 
itu, warga akan membuat rumahnya semeriah mungkin dengan cahaya buatan mereka. 
Mereka membuat obor kecil yang dibuat juga berbaris. Biasanya dibuat dari 
sepotong bambu berukuran tidak lebih 50 cm. Bambu dilubangi, antara 5-10 lalu 
dimasukkan ranting bambu menyerupai pipa, sepanjang 7 centimeter telah diisi 
kain perca. Bayangkan sepotong bambu berisi minyak tanah dengan deretan pipa 
kecil yang telah diisi kain yang siap disulut. Bukan hanya itu. 


Beberapa warga membuat pepe’ pepe’ dari kaleng susu bekas. Melubangi dan 
menempatkan pipa kecil yang juga telah diisi kain, dan minyak tanah. Bagi yang 
tertarik untuk tampil beda, lampu dari kaleng susu ini akan ditutup dengan 
bekas 
tempat sabun colek yang berwarna warni, ada merah, biru dan kuning lalu 
menggantungnya di teras (paladang) rumah mereka. 

Formasi pepe’pepe’ di malam Ramadhan (orang Makassar menyebut, Rumallang) di 
kampung nun jauh dahulu, kira-kira sebelum tahun 80an, sebelum datangnya 
listrik 
masuk desa sungguh beragam dan mengagumkan. 

Warga memanfaatkan apa yang tersedia di kampung, buah pude’, bambu, kaleng 
bekas, kain perca atau sumbu kompor sisa, dan lain sebagainya. Warga mulai 
menyalakan pepe’pepe’ mereka setelah selesai shalat magrib. Bagi sebagian 
anak-anak ada yang lebih memilih jadi pejaga pepe’pepe’, sebagian lainnya pergi 
tarwih. Yang, membuat ramai adalah seusai shalat tarwih. Banyak warga, utamanya 
para remaja memanfaatkan malam penuh cahaya itu dengan berkeliling kampung. 
Mereka menikmatinya. 

Tapi dalam setiap keramaian yang melibatkan banyak warga itu selalu saja ada 
“godaan”. Sepertinya menjadi tradisi bahwa pepe’pepe’ (utamanya yang terbuat 
dari minyak buah pude’) sangat diminati oleh anak-anak dan mesti jadi rebutan. 
Sulitnya membuat pepe’pepe’ dari pude’, bagi sebagian sebagian anak-anak 
sehingga mereka kerap mengambil pepe’pepe’ yang tidak terjaga oleh si empunya 
rumah. 

Seperti ada konvensi, bahwa warga yang tidak menjaga pepe’pepe’ yang mereka 
taruh di kaki pagar bambu rumah adalah kesempatan bagi anak-anak untuk 
mengambilnya. 


Karena situasi ini, banyak anak-anak lebih memilih duduk di teras rumah dan 
menjaganya. Asiknya di situ, mereka saling menjaga dan jika ada yang kedapatan 
mengambil pepe’pepe’, maka dia tidak dipukul atau disiksa tetapi ditertawai. 
“ya, kugappaiko!”, ya, saya pergoki!. Yang mengambil hanya terkekeh dan dengan 
spontan mengembalikan pepe’pepe’ curian. 

Saat bersamaan pula, sebagian lelaki dewasa menyulut meriam bambu. Bambu betung 
(pattung, Makassar) yang besar dipotong sepanjang dua meter. Di buat satu 
lubang 
kecil di salah satu ujungnya. Ruas dalam bambu telah  di lubangi hingga tembus 
ke lubang sulut. 


Anak-anak remaja menyulut meriam bambu yang diposisikan miring, sebagaimana 
layaknya letak meriam dalam perang terbuka. Boom…duarrr!!! Suasana menjadi 
semakin ramai. 


Ah, saya rindu suasana itu… 

Sungguminasa, 28 Agustus 2010
www.denun.net / denung.wordpress.com®

------------------------------------

Komunitas Blogger Makassar
http://www.angingmammiri.org/Yahoo! Groups Links




Reply via email to