karang_terjal wrote:

> KT: Apakah kaum Asimilasi berhasil menyelamatkan tionghoa tionghoa
> tersebut pada masa itu? Kenyataannya, banyak sekali Tionghoa berserta
> etnis non tionghoa lainnya dibantai dengan sadis pada masa itu.
> Pertanyaan selanjutnya, Apakah konsep Asimilasi baru muncul setelah
> tahun 1965 atau sudah ada sebelum itu? Kenyataanya, pada masa sebelum
> G30S konsep Asimilasi sudah ada bersama dengan konsep Integrasi
> dimana Asimilasi tdk berhasil mendapatkan dukungan YM. Soekarno. Saya
> takutkan alasan mereka utk "menyelamatkan Tionghoa" hanyalah
> merupakan pembenaran utk membenarkan konsep mereka. Mereka adalah
> lulusan sekolah Belanda yg pinter-pinter, moso ngak bisa memikirkan
> cara yg lebih baik selain memaksa etnis mereka sendiri utk
> menanggalkan kecinaannya ? Coba anda pelajari lagi, siapa yg back-up
> mereka pada masa orba selain militer ? Kenapa ada tokoh asimilasi yg
> begitu ngotot utk melarang etnis tionghoa memeluk kepercayaan
> tradisional yg menekankan utk percaya kepada Thian yg justru
> menunjukkan bhw mereka tdk lah komunis? Apakah kehancuran Ureca itu
> betul-betul murni amukan massa ? Saya pernah baca, kemenangan
> gemilang suatu pertarungan adalah saat bisa menghancurkan benteng
> musuh dan mendirikan benteng baru di atas tanah benteng musuh yg
> diratakan. 
>
> [JD: kemudian juga].
>
> KT: Coba anda pelajari latar belakang kerusuhan rasial sebelum adanya
> konsep asimilasi dan bandingkan dgn setelah diterapkannya konsep itu.
> Yg saya tahu, di masa orba, banyak timbul pemikiran negatif etnis non
> tionghoa thp etnis tionghoa dikarenakan mereka tdk mengenal etnis
> tionghoa, dimana banyak etnis tionghoa pun tdk mengenal diri mereka
> akibat tidak diperbolehkan mengenal diri mereka oleh pemerintah.
> Sementara di media/surat kabar, bila ada koruptor dan penjahat yg
> kebetulan etnis tionghoa, itu sengaja di ekspos nama ALIAS 3 suku
> kata tsb agar tertanam di benak rakyat ini bhw cina itu koruptor dan
> penjahat. Masih teringat oleh saya kasus Eddy Tanzil yg menghebohkan
> dimana masa itupun saya cukup ketakutan bila melihat ada orang memaki
> eddy tanzil sbg cina brengsek yg merusak negara, padahal dia hanyalah
> salah satu pion kecil yg dikorbankan (walaupun dia termasuk pelaku
> tetapi bukanlah pelaku satu satunya krn masih banyak makhluk
> berbuntut gede dibelakangnya). Atau Bob Hasan yg begitu rapinya
> menutupi bhw dirinya ada cina sampai akhirnya setelah dia
> diperkarakan, saat itulah keluar nama ALIAS nya, diapun tak sanggup
> menyembunyikan kecinaannya, lagi lagi yg terlihat di masyarakat bhw
> Cina itu koruptor, itulah salah satu contoh menanamkan  pemikiran
> bhw "cina brengsek dan perusak negara" itu di pikiran rakyat
> kebanyakan, sehingga pada masa menjelang dan berlangsungnya kerusuhan
> Mei, mereka inilah yg paling gampang dihasut oleh segelintir oknum
> utk membenci cina, krn ketidakmengertian mereka akan cina dan cina
> pun banyak yg tdk mengenal diri mereka. Itu hanyalah salah satu
> contoh kecil yg nyata yg ikut memberi andil terjadinya kerusuhan Mei
> 98. Rakyat kebanyakan itu bersalah? Mereka hanyalah korban, sama spt
> kita juga korban, korban akibat permainan elite politik. Tokoh
> asimilasi pun dengan ataupun tanpa disadari, juga telah dipergunakan
> oleh elite yg lebih berkuasa melebihi batas negara. kita adl korban
> konsep mereka, dan merekapun (disadari atau tanpa disadari???) adalah
> korban permainan politik ??????.


Pertanyaan paling radikal di sini ialah: apa Suharto salah? Dan 
pertanyaan setara juga bisa diteruskan untuk menginterogasi konsep 
asimilasi itu, termasuk juga model pertanyaan seperti 'apa Belanda 
memang rasis dan sengaja mensegregasi masyarakat di jaman Belanda?', dst.

Jawabannya 'Tidak! Mereka termasuk Suharto itu tidak salah'.

Dengar saya ngomong atau nulis begini, sudah tentu sebagian dari Anda 
bakal lebih mendongkol sama saya. Tapi sekarang Anda coba pikir saja 
pertanyaan yang setara itu begini: 'apakah ortunya si Siti Nurbaya itu 
keliru dan salah waktu mereka memutuskan memaksa si Siti kawin dengan 
orang pilihan mereka yang tidak dicintai Siti?', atau 'katakan waktu 
Anda kecil ortu Anda mendidik secara keras sekali yang bisa 
dikategorikan sebagai 'abuse', tapi lagi, apa mereka salah?'.

Dalam batasan sosio-kultural di jamannya masing-masing, tentu saja 
mereka sama sekali tidak salah! Demikian juga si Suharto. Dia tidak 
terlalu bisa disalahkan karena telah mengambil kebijakan "begitu" di 
jamannya, TAPI kalau saja dia memerintahnya itu sekarang dan kemudian 
dia mengulangi lagi kebijakan dulunya, baru ktia bisa bilang salah.

Di sini kita perlu arif dan memahami bahwa Indonesia atau pun kita 
pribadi itu dalam banyak hal sangat dipengaruhi juga oleh apa yang 
terjadi di luar. Untuk tahun 1965-an misalnya, coba Anda lihat apa yang 
terjadi di Amerika -- Amerika sebagai gembongnya 'demokrasi'. Nah, di 
tahun itu kalau Anda dengan muka Cina Anda mau naik bis umum di Amerika 
misalnya, maka yach langsung saja Anda harus duduk di bagian belakang 
bersama dengan orang-orang non-bule lainnya. Amerika masih menjalankan 
apartheidnya. Kebijakan Belanda di jaman Belanda pun, dengan mudah bisa 
dibuktikan setara dan segaris dengan kebijakan rasial di Amerika. 
Artinya, di JAMAN ITU, orang yach memang BEGITU!

Kasus ini setara sebanding dengan problem terorisme di jaman kita 
sekarang, maka mendadak saja ada 'demam terorisme' di mana-mana. 
Sementara untuk jamannya Suharto, waktu itu memang ada yang namanya 
'demam asimilasi' di mana-mana, bukan cuman di Indonesia.

Anda perlu melihat kejadian di Indonesia itu begitu, karena sorry saja, 
Indonesia memang masih merupakan negara pinggiran yang SEMUANYA terjadi 
hanya sebagai REFLEKSI dari apa yang sebetulnya terjadi di tingkat 
global. Mulai dari Boedi Oetomo & gerakan nasionalismenya misalnya, 
secara bersamaan memang lagi ngepop di kalangan terjajah, termasuk di 
India Filipin dst. Jamannya Sukarno anti-imperialisme anti-kapitalisme 
anti-barat anti-ini-itu, sama sekali tidak orisinil. Di luar Indonesia 
pun si komunis lagi perang pengaruh dengan Amerika. Lantas jamannya 
Suharto membantai bangsanya sendiri, juga cuman merupakan refleksi saja 
dari apa yang terjadi di Vietnam misalnya; alias Suharto cuman pionnya 
Amerika saja. Lantas jamannya Timtim amblas, yach TENTU saja amblas 
mengikuti bangkrutnya narasi anti-komunisme yang juga sudah amblas di 
tingkat dunia setelah Soviet ambruk; maka yach tidak ada lagi kebutuhan 
untuk mengepung si komunis.

Indonesia itu negara pinggiran yang cuman sekali-kali digunakan jadi 
pion. Pion-pion ini terus ngoceh sendiri bilang mereka di adu sama si 
raja-catur untuk perang di papan catur. Tentu saja pion-pion itu keliru 
besar; wong si Raja-catur di papan catur Indonesia itu pun RASIONALITAS 
aksinya pun cuman merupakan perpanjangan dari si pemain yang LETAKNYA 
yach di luar papan-catur itu sendiri. Nah, saya perhatikan banyak cino 
kalau sudah ngomong tentang pengalamannya di Indonesia itu cara 
ngomongnya itu yach kayak pion-pion itu. Isi pikiran serta persepsinya 
itu terbatas cuman sama papan catur itu toq. Dalam keadaan demikian, 
yach tentu saja si Raja-catur di papan catur itu jadi kelihatan 'jahat 
banget'.

Kalau kita bisa melihatnya begini, maka paling tidak kita bisa 
menyimpulkan dua hal utama, (1) Indonesia itu memang negara bodoh dan 
tolol, karena (2) semua kebijakan publik di Indonesia itu rata-rata 
cuman bisa mengambil referensi dari dunia luar, dari dunianya si bule, 
karena orang-orangnya memang nggak bisa mikir semua. Contoh negara yang 
bisa mikir sendiri itu simple, perhatikan saja semua negara yang 
dijalankan sama Cino model Singapore HongKong Taiwan RRC, nggak satupun 
yang bisa diperalat si Amerika secara goblog-goblogan model si Suharto 
dijadiin tukang jagal di Indonesia sama Amerika. Kenapa? Mungkin musti 
tanya sama si ahli biologi.

Anda yang pri tidak perlu merasa tersinggung, karena ini yach memang 
cuman fakta saja. Berpikirlah tentang Indonesia dan kemudian bayangkan 
malam-malaman lilin itu, bandingkan karakteristik keduanya. Maka 
Indonesia itu yach persis kayak malam-malaman lilin yang model lempung 
atau tanah liatnya para pemahat itu. Indonesia dan malam itu siap 
dijadiin apa saja sama energi yang datang dari luar karena massanya yach 
memang lentur dan gampang diplintir-plintir begitu. 'Energi dari luar' 
itu sendiri datang gonta-ganti terus, tapi untuk jaman kita sekarang 
modelnya kurang lebih yach seperti (1) Amerika minta Indonesia mengurusi 
terorisnya, kalau memang masih mau terima duit bantuan dan boleh beli 
suku cadang senjata, (2) Belanda bilang urusan Papua Barat itu belum 
selesai, (3) urusan sama Singapore nan mungil dalam masalah ekstradisi 
maling-maling Cino Indonesia di sana saja Indonesia ini nggak bisa 
berbuat apa-apa. Lantas apa yang bisa dilakukan Indonesia? Yach melongo 
toq, wong memang goblog. Paling banter bisanya yach cuman secara 
goblog-goblogan main kartu nasionalisme, model aksi goblog ala 'ganyang 
Malaysia' tahun lalu, atau yang saat ini juga sedang terjadi di Papua 
Barat di mana si bangsat anjing-anjing tentara penjajah Jawa sudah 
siap-siap mau membunuh si muka-muka Polinesia di sana, atau kalau nggak 
gitu yach bikin saja huru-hara buat menghabisi Cinonya saja di daerah 
urban.

Gilanya memang, pion-pion yang eksis di dalam papan catur Indonesia ini 
sendiri yach masih saja mikir dirinya itu 'unik' dan 'terpisah' secara 
'disting' dari apa yang terjadi diluar sana. Padahal, Suharto misalnya, 
yach sama sekali tidak unik atau pun disting dari apa yang terjadi di 
luar sana. Termasuk kebijakannya terhadap Cina, secara setara 
betul-betul merefleksikan ruang yang setara serta sebanding dengan apa 
yang waktu itu terjadi di negara lain, terutama Amerika. Dan sebagaimana 
Anda saat ini pun selalu berguru ke luar negeri ..., Suharto pun yach 
juga berguru ke luar negeri dalam masalah penanganannya terhadap si 
Cino. Jadinya yach ekonomi Indonesia ketekak-tekuk kena si Mafia 
Berkeley, sementara pikiran politiknya terhadap raspun jadi 
semi-apartheid mengikuti berhala Pancasila -- persis plek dengan garis 
sejarah yang waktu itu juga terjadi di banyak daerah di luar negeri.

Aspek ini perlu sekali Anda lihat kalau memang mau ngomong tentang 
asimilasi dan sejenisnya. Sekali Anda bisa melihat aspek ini, Anda bisa 
menyadari kekuatan rasional energi dari luar itu yang mengoyak-ngoyak si 
Indonesia kayak malam dan menjadikannya sebagai apa saja sesuai 
keinginannya; entah burung-burungan atau orang-orangan. Lebih dalam 
lagi, sekali Anda sudah bisa melihatnya begini, maka Anda pun bisa 
melihat posisi Suharto secara lebih fair dan arif dalam posisinya 
sebagai raja-catur di papan catur Indonesia.

Tentu saja AKSI-nya Suharto itu sendiri tetap perlu dihukum! Di sini 
saya hanya mau memaparkan RASIONALITAS tingkah lakunya si Suharto saja, 
bukannya mau membela kelakuannya itu sendiri per se.

[lain kali 'tak lanjutin dengan apa yang sebetulnya di Amerika di 
jamannya Suharto naik tahta jadi ratu-catur di Indonesia itu]

Lainnya lagi,

> UL: cieh, cieh, gossip baru, JD anaknya Sindhunata? Yakin?
>
> KT: Hehe he saya cuma asal nembak ala mayat P. Tetapi bila benar dia
> adalah anaknya Sindhunata, justru saya salut dan menaruh respek sama
> dia. Melihat tulisannya yg bisa mengakui kegagalan konsep Asimilasi,
> dia berada setingkat di atas Harry Tjan S, sobat baik seperjuangan
> bapaknya. Dan keinginan dia utk memahami permasalahan etnis Tionghoa
> di sini, perlu didukung. Hanya dia perlu berjalan-jalan keluar
> comfort zone nya  utk melihat seputar permasalahan riil di lapangan,
> yg menyangkut cino miskin diluar supaya wawasannya bisa bertambah
> luas, dan tdk hanya melalui text book saja.


Saya bukan anaknya Sindhunata.

Menyinggung sedikit tentang persepsinya si Harry Tjan S, perhatikan sisi 
usianya yang sudah 'tua' itu. Sekali lagi, saya bukannya mau merujuk ke 
umurnya sendiri per se, melainkan ke PENGALAMAN global yang dialami oleh 
orang setua dia. Nah, 'pengalaman' itu memang konsisten dengan isi 
pikirannya tentang asimilasi itu. Waktu si Tjan masih muda, banyak 
negara di dunia ini yang juga masih mengidealisasi 'melting pot'. Si 
Tjan tidak bisa disalahkan telah berpikir demikian, tapi kita yach jelas 
perlu mengingatkannya bahwa orang kalau sudah tua itu yach jangan kepala 
batu; karena dunia tuamu itu yach sudah lewat dan paradigma yang ada pun 
yach sudah ganti.

Tapi memang, sialnya, sekali Anda sudah dikenal secara publik, sulit 
sekali mau ganti haluan TANPA jadi kelihatan plin-plan atau 
mencla-mencle. Aspek itu juga perlu diperhatikan waktu kita berpikir 
tentang orang setua si Tjan itu.


JD


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/wlSUMA/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke