Persepsi seram itu pun tertanam dalam diri banyak orang, dan banyak orang punya image bahwa seram itu suasana seperti itu dalam kelenteng, ataupun tempat2 lain.
Dan sungguh disayangkan banyak pihak2 yang tak bertanggung jawab berkata bahwa kelenteng itu banyak setannya. (ketawa nih gua, boong banget)
 
Freddy

andre susanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Kalau begitu dapatkah disimpulkan bahwa klenteng itu
seram dan remang-remang karena penghuni klenteng itu
sendiri takut akan sinar yang lebih terang dari lilin
atau takut pada matahari,

jadi penghuninya itu jelas-jelas setan setan yang
disembah sebagai dewa oleh orang-orang, karena sebagai
legenda dewa-dewa itu sebelumnya adalah manusia juga,
yang setelah mati....( jadi setan ) ia dijadikan dewa
oleh....... orang-orang yang menyembahnya.
Karena yang menjadikan ia dewa bukan Tuhan, melainkan
manusia yang masih hidup pada zaman itu sama seperti
kita pada zaman ini.

--- JD <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Ini spekulasi saya saja tentang suasana serem yang
> tipikal di klenteng.
>
> Klenteng khan sudah eksis lama sekali sebelum orang
> tahu listrik. Di
> jaman sebelum ada listrik itu, tentu saja
> orang-orang sana menggunakan
> lilin buat penerangan. Fungsi lilin ini pertama-tama
> sekali yach tentu
> saja untuk penerangan. Tapi kemudian orang pun sadar
> bahwa lilin biasa
> itu baunya nggak enak, sehingga mereka pun meramu
> bahan lilin supaya
> jika terbakar baunya itu jadi harum. Situasi ini
> bertahan lama sekali,
> paling tidak cukup lama untuk terekam ke dalam
> memori kita.
>
> Di sisi lain, otak kita pun katanya juga paling
> sensitif serta ingat
> terhadap bau meski secara rasional kita yach sering
> tidak sadar bahwa
> perilaku kita itu sebetulnya dipengaruhi oleh
> bau-bauan atau aroma
> tertentu itu. Gara-gara cuman membaui makanan saja
> kita bisa ngiler;
> membaui parfum tertentu kita ingat pacar kita yang
> ini atau itu;
> sementara membaui aroma tertentu bisa langsung
> memicu memori kita ke
> masa kecil atau pun ke waktu-waktu tertentu yang
> spesifik. Sensitivitas
> otak terhadap bau-bauan aroma ini saya yakin
> jelas-jelas merupakan salah
> satu peninggalan terpenting nenek moyang species
> kita dari jaman berburu
> dalam urutan evolusi kita.
>
> So, memori kita secara umum terhadap klenteng pun
> jadi secara spesifik
> ingat terhadap bau-bauan yang keluar lilin maupun
> kemenyan di sana.
> Padahal, bau itu pada awalnya hanyalah merupakan
> sesuatu yang secara
> fungsional tidak direncanakan sama sekali. Bau-bauan
> itu pertama-tama
> sekali hanyalah merupakan akibat sampingan dari
> kebutuhan yang nyata
> akan penerangan. Persis kayak jaman kita juga, pake
> laptop atau PC pun
> kita bisa main mp3, tapi jelas itu nggak cukup dan
> kita pun perlu iPod
> yang portable. 'Design follows function' katanya,
> 'sekali function itu
> sudah bisa dibereskan secara teknis'.
>
> Akibatnya buat kita yang hidup di jaman listrik,
> klenteng pun jadi
> kelihatan serem karena lilin yang sudah ketinggalan
> jaman itu pun masih
> dipertahankan.  Kita tahu bahwa penerangan dari
> listrik bisa terang
> benderang kayak di surga yang penuh cahaya;
> sementara penerangan dari
> lilin cenderung suram remang-remang. Di jaman dulu
> orang tidak punya
> perbandingan karena mereka pun tidak kenal listrik
> dan tahunya cuman
> menggunakan lilin, sehingga kesan remang-remang
> serem pun yach tidak ada
> sama sekali wong di mana-mana pun yach
> remang-remang. Tapi buat kita di
> jaman ini yang punya kesadaran lain atas listrik,
> otomatis kita pun
> punya perbandingan antara -- penerangan dengan
> listrik dan dengan lilin.
> Dari perbandingan inilah terus keluar kesimpulan
> bahwa yang satu
> cenderung serem remang-remang.
>
> Tapi fungsi lilin di klenteng tradisional pun
> kelihatannya bakal
> dipertahankan terus untuk fungsi yang berbeda. Pada
> awalnya sekali,
> lilin dan segala aromanya itu betul-betul punya
> fungsi fisik yang
> dibutuhkan -- yaitu untuk penerangan. Tapi sekarang,
> kalau pun klenteng
> masih mempertahankan lilin plus aromanya itu, yach
> jelas fungsinya
> adalah untuk memicu memori kita terhadap
> historisitas eksistensi
> klenteng itu.
>
> Urusan lilin-lilinan ini jadi menarik kalau mau
> dilihat di Kristen.
> Melihatnya begini: Kristen khan punya ribuan sekte,
> nah..., ribuan sekte
> ini bisa dipilah jadi dua: yang satu lahir setelah
> manusia kenal listrik
> dan satunya lagi sebelum manusia kenal listrik.
> Perhatikan begitu maka
> langsung kelihatan bahwa sekte-sekte yang sudah
> eksis dari jaman
> pra-listrik pun jadi lebih kayak klenteng, gemar
> menggunakan lilin untuk
> merekonstruksi memori mereka atas eksistensinya.
> Seperti gereja Katolik
> misalnya, maka lilin pun bertebaran di mana-mana
> menimbulkan rasa ngeri
> atas dominasi hantunya si Yesus yang mati penasaran
> di salib. Sementara
> di antara sekte Kristen yang dari lahirnya sudah
> kenal listrik, maka
> kebutuhan untuk merekonstruksi memori mereka dengan
> lilin pun jadi tidak
> relevan. Sekte-sekte Kristen pasca-listrik ini tidak
> keberatan untuk
> kumpul-kumpul di hotel atau pun di kuburan atau pun
> di klenteng -- wong
> identitas kulturalnya praktis masih kosong
> melompong.
>
> Anda suka klenik? Orang Indonesia khan gila klenik!?
> Nah, satu hal yang
> menarik disimak ialah: kenapa dukun-dukun PERLU
> menggunakan menyan lilin
> dan segala macam pernik-perniknya itu? Pilihan serta
> tindakan itu JELAS
> rasional meski di permukaannya sendiri yach
> nyata-nyata klenik. So, apa
> RASIONALITAS dibalik penggunaan alat-alat klenik
> itu? Kenapa para dukun
> di mana saja (jowo bule voodoo) tidak menggunakan
> becak atau stetoskop
> atau pun palu arit buat memanggil orang mati, tapi
> mereka selalu saja
> butuh lilin atau obor, menyan serta segala macam
> aroma bunga-bungaan?
> Film modern model 'Haunted House' pun nggak
> ketinggalan dari hal
> beginian! Secara strategis mereka memilih
> idiom-idiom visual yang secara
> nyata bisa digunakan untuk merekonstruksi situasi
> kematian.
>
> 'Tak pikir, sekali lagi ini pun 100% mneumonics.
> Kalau saya mau manggil
> presiden, maka otomatis saya yach harus menyiapkan
> rumah saya agar bisa
> cukup representatif dan presidensial agar si
> presiden mau datang. Maka
> kalau saya mau manggil setan atau orang mati pun,
> logikanya yach persis
> sama saja. Situasi 'rumah' saya pun yach perlu
> representatif buat si
> setan untuk datang. Yang menarik tentu saja yach
> menelusuri persepsi
> kita 'situasi setani atau orang mati' itu sendiri
> seperti apa. Karena
> jawaban atas pertanyaan itulah yang kemudian menjadi
> dasar buat mereka
> untuk merekonstruksi situasinya.
>
> So, secara kolektif di mana saja, situasi itu
> mirip-mirip. Dukun di
> Barat pun juga gemar sekali menggunakan menyan,
> lilin dan
> keremang-remangan tertentu buat merekonstruksi
> situasi orang mati itu.
> Dukun di Asia pun sama saja, lilin menyan
> kembang-kembangan semuanya
> digunakan secara strategis untuk merayu orang mati
> agar datang.
> Kesadaran kolektif ini sebetulnya kultur ataukah
> sisa-sisa memori yang
> tertinggal dari evolusi species homo-sapiens ini?
> Kalau mau dibilang
> kultur, kenapa koq gejalanya bisa cukup universal?
> Tapi kalau mau
> dibilang evolutif, maka di sisi mana faktor evolusi
> itu main?
>
> Well, ini spekulasi saya lagi. Pertama kali sekali
> perhatikan proses
> penguburan di mana saja di dunia ini, maka secara
> aman kita bisa bahwa
> penguburan itu rata-rata dilakukan waktu ada
> matahari, entah pagi atau
> siang. Pilihan atas waktu penguburan ini jelas
> rasional, yaitu karena
> matahari bisa memberi kita penerangan yang cukup dan
> dibutuhkan untuk
> proses penguburan itu. Dari sini sekarang kita bikin
> aksioma ini 'ada
> matahari = ada penguburan'. Tapi, konsekwensi dari
> aksioma itu ialah:
> 'kita eksis bersama si mayat waktu tidak ada
> matahari'! Waktu tidak ada
> matahari, kita duduk nongkrongi si mayat menunggu
> datangnya matahari
>
=== message truncated ===


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com




Yahoo! Photos – Showcase holiday pictures in hardcover
Photo Books. You design it and we’ll bind it!

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke