SANGLEY DI FILIPINA DAN CINO DI INDONESIA 
oleh BENEDICT ANDERSON 
http://www.socineer.com/indo-mestizo2.html

Catatan Socineer: 
Tulisan "cerita" Ben Anderson ini beredar pada akhir 
1995 di mailing-list Indonesia-L (apakabar) asuhan John 
MacDougall. Ben Anderson adalah professor bidang 
Kajian Internasional di Cornell University, Itacha, USA. 
Saat ini ada dua versi dari transkrip cerita Ben tersebut: 

* Cino di Indonesia, tulisan awal yang dirilis di Indonesia-L,
bisa dilihat di: http://www.socineer.com/indo-mestizo1.html

* Sangley Di Filipina dan Cino Di Indonesia, tulisan yang sudah 
diperbaharui dan disampaikan di depan seminar "Tionghoa and 
Nasionalisme di Asia Tenggara", Surabaya, 2001.
(tulisan di bawah ini).


 
Ketika saya paling akhir diperbolehkan berfoya-foya di Tanah Aer - 
hampir 23 taon yang lalu - pada suatu malam saya nongkrong 
ngobrol-ngobrol dengan temen-temen di salah satu warung di kota Solo. 
Tahu-tahu pembicaraan kami pindah ke topik "kuburan Cino". Dari 
pembicaraan itu, muncul ungkapan, bahwa "si Cino" itu tidak berhak 
beristirahat selamanya di bumi Indonesia tanpa gangguan, sehingga 
layak, kalau perlu, kuburannya pun "digusur". Timbullah beberapa 
pertanyaan di benak saya: Mengapa koq ada pikiran gituan, dan kapan 
bertumbuh fantasi keblinger ini.

Pertanyaan-pertanyaan tadi baru mulai terjawab, setelah saya sempat 
membuat riset di Pilipina pada akhir taon 80-an. Karena di sana saya 
melihat banyak sekali manusia yang jelas keturunan campur "intsik"-
pribumi malahan campuran Spanyol-pribumi-Intsik. Mungkin sekali 
prosentasi orang campuran (dus semacam peranakan) lebih tinggi 
daripada di Indonesia. Selaen itu ada sebagian besar yang cukup berada, 
plus mereka nongol di segala bidang - politik, sastra, kriminalitas dan 
sebagainya. Tetapi - dan ini aneh mengingat bahwa para pribumi 
Pilipina masih masuk bangsa Melayu raya - selama 100 taon 
belakangan ini, di mana timbul revolusi pertama di Asia, penjajahan 
Amerika Serikat yang rasis, Perang Dunia Kedua, dan laen-laennya, 
tidak pernah ada huruhara anti-intsik-cino.Lebih menarik lagi, ketika 
ada percobaan kup terakhir dan terbesar terhadap pemerintah Cory 
Aquino, selama kira-kira 5 hari para polisi pada ngumpet ketakutan; 
tentunya saya bergegas-gegas mengunjungi mall-mall besar, 
kebanyakan milik konglomerat intsik, dengan dugaan bakal ada 
penjarahan dan pembakaran. Ternyata sama sekali tak ada, padahal 
orang pribumi miskin di Manila waduh berjutaan. Kesempatan ada, koq 
tak dipakai. Aneh bin ajaib!

Kepriben, kata orang-orang Kota Udang, alias kenapa sih?

Ini tidak berarti bahwa tak pernah ada kasus kekejaman yang besar 
terhadap para intsik. Emangnya ada, tetapi cuman sekali, dan itu 
dikerjakan bukan oleh pribumi, tetapi oleh orang Spanyol, pada taon 
1762, mepet dengan pembunuhan besar-besaran di Batavia pada taon 
1740 yang menjadi kerjaannya orang Belanda. Tetapi setelah itu, 
selama 250 taon tak ada lagi. Jadi?

Kita bisa mulai menguraikan keanehan baik ini dengan mentalitasnya 
orang Spanyol dulu, yang jauh berbeda dengan orang-orangnya si VOC. 
Yang menarik ialah, bahwa istilah Spanyol untuk manusia "pendatang" 
dari daratan Tiongkok, sampai pertengahan abad ke-19, bukannya 
macam 'cino,' tapi 'sangley'. Kita kenal kata ini dalam versi 
Indonesianya, yaitu 'sengli', yang berarti dalam bahasa Hokkien 'si 
pedagang'. Kesan saya semula, wah lucu juga. Seolah-olah zaman dulu 
pejabat imigrasi Spanyol bertanya kepada si pendatang dari Fujian, 
"Kamu ini siapa?", dan dijawab, "Yang bener aje, gue 
pedagang".Rupanya saking gendhengnya para pejabat kolonial awal, 
"pedagang" diartikannya bukan berkaitan dengan nama aktivitas, tetapi 
malahan dengan sukubangsa. Tetapi sukubangsa 'lokal,' tak berkaitan 
dengan Putra Sorga di Peking. Yang menarik ialah bahwa tak ada usaha 
dari para pendatang untuk minta diralat, seolah-olah mereka OK-OK 
saza disebut "suku pedagang." (Perlu dicatat bahwa dalam bahasa 
Tagalog kata intsik (Tionghoa) berasal dari Bahasa Hokkien juga, dan 
arti aslinya "oom"!!). Dan ini tidak mengherankan, karena orang-orang 
ini 99% buta hurup, tidak mengerti bahasa penguasa Mandarin, dan 
kemungkinan besar tidak menganggap diri sebagai "Chinese."

Kalau mau mengerti mentalitas begitu, silahkan tanya pada nelayan di 
Ngliyep atawa Popoh. Ente orang Asia nggak? Kemungkinan besar dia 
akan bengong. Kenapa? Ngaku diri orang Ngliyep bisa, Jawa Timur iso, 
Jowo mboten nopo-nopo, Muslim tak mazalah, Indonesia saged, but 
"Asia"? Pasti deh, kagak bisa. Fantasi bahwa dia seorang "Asia" cuman 
timbul di benaknya orang asing dan segelintir intelektual/pejabat di 
Jakokar. Maksud saya begini: ternyata baik para pendatang maupun 
orang-orang Spanyol tidak merasa bahwa yang pertama adalah "wakil" 
dari satu bangsa yang besar dan berbahaya atau sangat megah. Ada 
baiknya juga anggepan itu.

Di Hindia Belanda situasi agak berlainan. Seperti dibuktikan oleh riset 
bagus dari Mason Hoadley tentang Sejarah Cirebon antara abad ke-17 
akhir dan abad ke-18 awal. Pada suatu waktu terjadi pembunuhan 
pejabat tinggi di kota udang yang unik ini. Dari dokumen-dokumen 
pribumi, Hoadley ngeliat bahwa yang dituduh menjadi biang keladi 
pembunuhan itu seorang pejabat tinggi laen, yang selalu disebut dengan 
titelnya Ki Aria Martaningrat. Kalau tak ada dokumen VOC tentang 
kasus ini, kita akan merasa bahwa si Martaningrat, yah apa lagi, 
seorang ningrat pribumi. Tetapi dalam dokumen-dokumen Kumpeni, 
orang ini selalu disebut sebagai "si Cino yang jahat." Jahat kenapa? 
Rupanya Ki Aria ini kebetulan menjadi syahbandar di Cirebon dan 
bekerja keras, sebagai patriot lokal untuk menghalang-halangi strategi 
monopoli perdagangan dari Kumpeni.

Dokumen-dokumen Cirebon menunjukkan bahwa pada masa itu orang-
orang Cirebon tidak punya konsep rasialis. Dunia mental mereka 
berdasarkan hirarki pangkat feodal. Seperti si "pedagang" di Manila, Ki 
Aria Martaningrat nongol bukan sebagai seorang keturunan atau 
anggota bangsa, tetapi sebagai "seorang pejabat tinggi." Penglihatan 
semacam ini masih nampak sampai abad ke-19.

Di seluruh memoarnya Pangeran Diponegoro yang dikarang dalam 
pembuangannya - mungkin 200 taon setelah kasus Ki Aria 
Martaningrat, beliow tidak pernah menggambarkn musuh-musuhnya 
sebagai "bangsa" Belanda. Musuh-musuh itu selalu disebut dengan 
pangkatnya: Si Edeleer ini, si Gubernur itu. Tapi Belanda lain lagi. 
Dimata mereka dialah "seorang Jawa," atawa "seorang inlander" yang 
kebetulan menjadi Pangeran. Hal yang sama berlaku untuk pendatang 
dari Fujien. Dari semula orang-orang VOC menggambarkan mereka 
sebagai "Chinezen." Kemungkinan besar karena operasi VOC 
menjelajahi seluruh samudera antara Jepang dan India, mereka ketemu 
dengan orang-orang di mana-mana yang wajah mukanya begini, 
bajunya begitu, adat istiadatnya itu lagi: lebih penting lagi dianggap 
pesaing dalam bisnis, sedangkan orang Spanyol tak pernah merasa diri 
sebagai pesaing si pendatang. Belanda jadi melihat mereka seperti bule 
sekarang meliat si nelayan Ngliyep sebagai seorang Asia, ditengah 
sekian milyarden orang Asia lain. Dus berbahaya.Perbedaan serupa 
nampak kalau kita nengok kedua pembantaian pada abad ke-18 yang 
saya sebut tadi. Pada taon 1760, Inggris, yang menuju ke arah statusnya 
sebagai number-wan di dunia, dengan gampang merebut pelabuhan 
Manila dari tangan kelompok kecil orang Spanyol di situ. Tapi dalam 
sukses ini orang Intsik ikut serta bukan karena mereka "anti-Spanyol" 
dalam arti moderen, tetapi karena merasa ditindas oleh gupermen 
setempat (lokal).

Setelah berjuasa dua tahun, Inggris cabut akibat dagang sapi dengan 
Madrid: Filipina dikembalikan ke Spanyol sebagai ganti rugi Florida 
diserahkan kepada London. Orang Spanyol merasa dikhianati oleh 
Intsik setempat sehingga, sehabis berangkatnya armada London, 
mereka langsung balas dendam. Alasan pembantaian yah marah dan 
politik. Di Batavia sebaliknya, pembantaian terhadap "cino" terjadi 
tanpa alasan orang ini main mata atawa membantu kekuasaan asing. 
Malahan tak ada "alasan" apa pun yang masuk di akal. Cuman sebagai 
akibat paranoia pejabat Kumpeni dan rasa rasialis yang sudah lama 
dipompakan. Tapi harus diingat juga, bahwa bule londo ini yang 
jumlahnya sangat terbatas, dan hidupnya puluhan ribu kilometer dari 
tanah aer, sehingga sering zenewen. Tetapi, bagaimanapun juga, 
perbedaan Filipina dan Hindia berlandaskan bukan lantaran hal di atas, 
tetapi lantaran beleid yang dipraktekkan oleh kedua rezim kolonial 
yang sangat kontras. Tujuan utama sang raja Spanyol Felipe II - yang 
merasa "berdosa" karena penghancuran dan perbudakan yang terjadi 
terhadap pribumi di Amerika Latin - adalah menebus dosa ini dengan 
proyek Kristianisasi tanpa kekerasan terhadap orang pribumi di Filipina, 
dan karena itu kekuasaan lokal diserahkan kepada ordo agama Katolik 
daripada birokrat, jendral, atawa tuan tanah. Dari sudut finansial, 
Baginda Raja dapat duitnya bukan dari keringat pribumi, tetapi melalui 
perdagangan dengan pantai timur Tiongkok, di mana perdagangan ini 
terjadi bukan di Tiongkok tetapi di Manila.

Proyek kristenisasi sangat berhasil kecuali di selatan kepulauan itu, di 
mana raja-raja Muslim kecil melawan dengan cukup sukses. Akhirnya 
sekitar 90% penduduk pribumi menjadi katolik. Usaha demikian juga 
diarahkan kepada para sangley. Peralatan utama bisa dikatakan masalah 
alat vital lelaki pendatang ini. Pertama kalau mereka mempersunting 
cewek pribumi (dan kagak ada cewek Intsik melancong pada zaman 
itu), itu tidak boleh sama sekali kecuali melalui perkawinan Katolik. 
Perkawinan non-Katolik 100% haram. Dengan demikian dari semula 
tiada perbedaan agama antara pribumi dan sangley, dan ini berlangsung 
sampai sekarang. Kedua, peraturan yang diterapkan memustahilkan si 
sangley dapat anak yang juga sangley. Anak-anaknya masuk kategori 
hukum khas Spanyol-Portugis, yaitu kategori mestizo, yang berarti 
blasteran. Dan orang mestizo ini dipaksa berbusana dengan cara sendiri, 
bayar pajak dengan tarif tersendiri, dan sebagainya. Yang penting 
mereka "bukan sangley." Dan peraturan ini diperkuat oleh keadaan di 
mana si orok dibesarkan di tengah sanak sudara yang pribumi yang 
pakai bahasa pribumi, dan sang bokap, sendirian, sulit melawan arus 
kebudayaan ini. Cucu-cucunya juga berstatus sebagai mestizo. Dengan 
cara beginian, jumlah Sangley tetap rendah, sedangkan jumlah Mestizo 
terus bertambah - hanya karena kebijakan kolonial.

Ternyata daya politik asimilatif ini sangat kuat, sehingga ketika, pada 
akhir abad ke-19 timbul pergerakan nasionalis anti-Spanyol, sebagian 
besar pemimpin-pemimpin yang terkemuka berasal dari kelompok 
Mestizo ini - umpamanya sang martir dan Bapak Tanah Aer Dr. Jose 
Rizal. (Dus polanya mirip pola Amerika Latin di mana revolusi 
antiimperialis dipelopori oleh orang-orang mestizo [dalam kasus ini 
orang campuran Spanyol-pribumi]). Selanjutnya tidaklah 
mengherankan bahwa di tengah sederetan Presiden Pilipina sampai 
sekarang, mungkin cuma si Magsaysay yang bukan "mestizo".

Dengan demikian tidak juga mengherankan mengapa sampai sekarang 
tidak pernah ada huruhara anti-cino yang berarti di Pilipina. Orang 
keturunan campuran sangley-pribumi nongol di semua bidang hidup 
tak terkecuali Gereja sendiri. Kardinal terkemuka di Filipina sekarang, 
namanya Sin (lucu nggak, dalam bahasa Inggris "Sin" berarti Dosa), 
yang jelas menunjukkan asal usulnya sebagai apa yang di Indonesia 
belakangan akan disebut "peranakan."

Di Hindia Belanda, perkembangannya sangat berbeda. Belanda sendiri 
ialah negara kecil, dengan jumlah penduduk sangat terbatas. Lagipula 
agama-agama Protestan baru nongol pada abad pertengahan ke-16, dan 
jumlah penganutnya masih lebih terbatas lagi. Tenaga kerja untuk 
aktivitas misionaris di Asia dengan sendirinya minimal, mengingat 
Belanda sendiri sangat kekurangan domini. Lebih dari itu, Nusantara 
sedang mulai dikuasai, bukan oleh seorang Raja Besar yang peka rasa 
agamanya, tapi oleh suatu konglomerat raksasa, si Kumpeni. Dengan 
kekecualian-kekecualian tertentu di Maluku, Kumpeni tidak berhasrat 
membuang duit untuk usaha konversi, dan cepat-cepat membuat aliansi 
praktis dengan raja-raja beragama Islam. Lain dengan Spanyol, 
Kumpeni tak pernah membuat perang atas dasar agama. Sebaliknya 
malah: si Kumpeni ada perhitungan bahwa usaha konversi bisa juga 
menggoncangkan sistim kongkalikong dengan penguasa-penguasa 
Islam lokal.Karena itu, usaha konversi yang beneran baru mulai pada 
pertengahan abad ke-19, pada ketika Kumpeni sudah lama diganti oleh 
negara Belanda sendiri. Misi-misi Katolik dan Protestan baru bisa 
beroperasi dengan kebebasan terbatas, 250 taon setelah Belanda mulai 
macam-macam di Nusantara. Perlu diingat nih! Kalow di Pilipina garis-
pisah agama menjadi penting, sedangkan garis pisah suku-ras menjadi 
tidak penting; justru di Hindia Belanda yang terjadi adalah sebaliknya. 
Mengapa ya?

Sekali lagi, yang paling berpengaruh adalah sistem hukum yang 
diterapkan dan dipaksakan. Penguasa Belanda ternyata luar biasa alergi 
politik terhadap segala macam "percampuran". Urusan ranjang itu lain 
lagi tentunya. Dari semula sampai titik terakhir penjajahan Belanda, 
tidak pernah ada status hukum yang mirip status "mestizo" di Pilipina. 
Umpamanya kalau nengok sensus-sensus yang dijalankan pada taon 
1920 dan 1930, kita tidak akan ketemu di samping "Batak," "Jawa" dan 
sebagainya kategori-kategori seperti "Indo-Belanda," "Tionghoa 
Peranakan" dan sebagainya itu. Seolah-olah orang-orang macam ini 
sama sekali tak berada di seluruh Hindia. Kalau seorang cewek pribumi 
dihamili oleh cowok Belanda, anaknya akan berstatus atau sebagai 
Belanda atau sebagai pribumi, tergantung si cowok mau mengakuinya 
atau tidak (emangnya sebagian tidak mengakuinya - itu brengseknya 
lelaki pada umumnya). Dengan demikian sering timbul situasi bahwa si 
orok yang ireng manis dengan hidung pesek menjadi Belanda menurut 
hukum, sedangkan si orok bermata biru bisa saja menjadi pribumi, dan 
lekas akan hilang dalam rimba masyarakat pribumi. Kenapa Belanda 
ada politik seks begitu terus-menerus, khususnya di abad ke-19 dan ke-
20 setelah Percerahan sudah terjadi? Dugaan saya ialah bahwa Hindia 
menjadi jajahan negara Belanda pada suatu masa ketika, di benua 
Amerika, baik Spanyol maupun Inggris (dalam kasus Amerika Serikat) 
dikalahkan dan diusir oleh gerakan-gerakan revolusioner dibawah 
pimpinan-pemimpin para kreol dan mestizo - yaitu peranakan Eropa. 
Gembong-gembong gede di Belanda ambil pelajaran dari semuanya ini, 
dan berusaha keras supaya golongan di tengah, "campuran" macam ini 
tak akan timbul di Hindia. Harus ada garis yang tegas dan mutlak 
antara "bule" dan "inlander." Dan, ternyata sangat sukses. Golongan 
keturunan peranakan Eropa dipecah antara yang resminya Belanda dan 
pribumi, dan dengan satu kekecualian seperti Douwes Dekker tak 
pernah melejitkan seorang tokoh politik yang besar, apalagi seorang 
presiden.

Politik Belanda terhadap kelompok "Sangley" setempat dan 
keturunannya sangat mirip dengan yang di atas, akan tetapi diterapkan 
dengan cara yang lain. Beleid ini harus dimengerti dalam konteks 
politik jajahan sebagai keseluruhannya. Jan Kumpeni sendiri, dengan 
alasan-alasan yang disebut di atas, tidak pernah ada maksud atow 
kemampuan untuk mengasimilasikan kelompok Sangley ke dalam 
kebudayaan Belanda-Protestan a la Spanyol Katolik; jadi daya politik 
golongan ini harus dinetralisir dengan cara laen. Dan cara itu adalah 
usaha untuk memisahkannya dari setiap kemungkinan beraliansi 
dengan, dan berasimilasi kepada dunia pribumi. Mereka tahu, bahwa 
setiap si Aria Martaningrat tidak dianggap "si Cino" oleh sultan-sultan 
di Cirebon dan mereka percaya bahwa dia dan mungkin ortunya sudah 
menjadi Muslim; mereka tahu dari wajah-wajah manusia di kota-kota 
perdagangan sepanjang pesisir Utara pulow Jawa betapa banyak orang 
di situ adalah keturunan campur, sadar atow tidak. Mereka juga 
mungkin lama-lama mengetahui bahwa kekaisaran Tiongkok sendiri 
banyak sekali terdapat manusia yang beragama Islam. Dengan 
demikian, sebaliknya dari praktek Spanyol di Pilipina, mereka berusaha 
keras, supaya, secara hukum, keturunan-keturunan si Hoakiau, tetep 
"Cino" tanpa membuka kemungkinan mendapat status sebagai orang 
campur. Peduli amat kalow anak-anak ini tidak bisa berbahasa Hokkien, 
tidak mengerti adat istiadat sistim Konghucu, dan sebagainya: mereka 
harus tetap sebagai "Chinezen." Status hukum ini sangat diperkuat 
dengan sistem ghettoisasi. Dengan beberapa pengecualian yang penting, 
orang-orang ini dipaksakan bermukim di kawasan kota tertentu, mereka 
harus kawin di antara mereka sendiri dengan upacara sok-"Cino" yang 
sedikit banyak diatur oleh Belanda; mereka harus berdandan dengan 
gaya "Cino". Warisan mereka harus diatur oleh peraturan "khas Cino". 
Dan mereka tidak boleh bepergian kemana mereka suka tanpa paspor 
internal (passenstelsel). Yang tak kalah penting, sedapat mungkin 
mereka harus ditundukkan kepada pimpinan otoriter dari "Kapten-
Kapten" atow "Mayor-Mayor" (biasanya Cino terkaya setempat), yang 
diangkat dan dipecat oleh gubermen sendiri - bukan kepada bupati-
bupati pribumi.

Toh, di lain pihak, selama berabad-abad mereka juga tidak boleh terlalu 
bersifat "Cino", dalam arti membuat sekolahan yang mengajar bahasa 
Tionghoa tertulis, apalagi bahasa lisan bangsanya Mandarin atow 
Hokkien. Pada akhirnya mereka dibuat terkatung-katung - cino 
beneran tidak, pribumi tidak, dan anggota kebudayaan Kristen-
universal atawa Islam-universal pun tidak. Bisa dikatakan mereka mau 
dibikin semacam "banci" kebudayaan, banci perkara status hukum dan 
lama-lama banci dalam arti politik.

Sekarang, mari kita berpaling kepada "pengecualian" yang disebut di 
atas, karena itu juga faktor penting. Dalam hal ini, karangannya Jim 
Rush memang luar biasa bagusnya. Di situ digambarkan bagaimana 
timbul, pada bagian kedua dari abad ke-19, konglomerat "Cino" 
pertama - menurut istilah zaman itu "raja" - pada landasan 
perdagangan candu di bawah pimpinan gubermen kolonial sendiri. 
Banyak segi dari sistim pembiusan ini - yang mungkin lebih teratur 
dari sistim yang dipakai kartel-kartel cocaine di Colombia sekarang - 
sangat menarik. Boleh saya garis bawahi beberapa di antara segi ini:

l. Saling ketergantungan antara elit-elit bule, "Cino" bikinan dan 
pribumi. Bule pegang monopoli pengimporan candu dari India Inggeris, 
sindikat kapten-kapten dan mayor-mayor pegang kartel distribusi 
wholesale, priyayi-priyayi dan weri-werinya menanggulangi 
perdagangan retail dan tindakan pengamanan fisik (centeng) dari 
kartel-kartel itu tadi. Dus seolah-olah di luar hierarki rasial yang resmi 
menurut hukum, pimpinan semua kelompok bergandengan tangan 
untuk urusan dagang yang korbannya rakyat kecil. Tokh justru hierarki-
rasial menurut hukum membuat perlu sistem setengah gelap ini. Sistim 
bisnis ini dijalin erat dengan hieraki birokrasi dan kawasan teritorial 
yang menjadi landasannya. "Kawasan" monopoli masing-masing, 
batasnya sama dengan batas kabupaten dan karesidenan, sehingga 
kuasa-kamtibnas si bupati pas dengan kuasa dagang si kapten.

2. Orang "Cino" biasa diharamkan keluar dari ghettonya, dan dikontrol 
dengan passenstelsel yang ketat. Hanya si Kapten dengan bolo 
dekatnya boleh mondar-mandir ke pedalaman. Dus kekayaan kelompok 
"raja" tadi pada dasarnya berdasarkan sistim politik dan organisasi 
birokrasi. Monopoli-monopoli mereka, seperti hampir semua monopoli 
di dunia, hanya dimungkinkan dengan lindungan politik, kepolisian, 
dan birokrasi, yang dalam kasus ini 10 persen bule, 90 persen pribumi.

Nah, selama Hindia Belanda menjadi daerah tertutup (orang Belanda 
sendiri harus punya paspor untuk masuk sebelon 1870), sistim enak ini 
aman. Tetapi setelah mulai cair pada taon 1880-an, segala macam 
konflik mulai nongol. Mungkin faktor yang paling penting adalah 
pencabutan secara berangsur-angsur dari passenstelsel dan sistim 
pemukiman paksa. Karena dengan demikian, orang-orang peranakan 
untuk pertama kali boleh berkeliaran di pedalaman, tetapi toh perangkat 
dari basis "ghetto" yang sudah berabad-abad berlangsung tetap saja dan 
model raja-raja ada di depan matanya. Ditambah gelombang "Cino" 
totok yang datang setelah 1890 dari kekaisaran Tiongkok yang sedang 
ambles. Kebetulan pada masa yang sama, nasionalisme Tionghoa untuk 
pertama kali tumbuh di bawah pimpinan Sun Yat Sen di daerah 
Nanyang, di luar cengkraman birokrasi Tsing. Tidak mengherankan 
kalow dalam situasi demikian, kelompok yang berabad-abad 
diperlakukan sebagai "Chinezen" oleh gubermen, biar pun mereka 
berbahasa Jawa, Madura, Bali, Melayu dan sebagainya, mulai merasa 
bahwa mereka "kurang Chinees", dan mendirikan sekolahan-sekolahan 
dan organisasi yang berideologi "Chinees" supaya bisa menjadi 
"Chinezen" yang "sempurna".

Lebih lagi tidak mengherankan bahwa di kalangan pribumi, khususnya 
bibit-bibit nasionalis, timbul reaksi terhadap gejala-gejala ini, dan 
bahwa reaksi mereka dalam banyak hal meniru contoh dari kelompok 
Tionghoa. Jelas sekali umpamanya bahwa Taman Siswo adalah 
sebagian tiruan sistim sekolahan Cino gaya baru yang diperintiskan 
oleh THHK. Dan suatu masyarakat yang begitu lama dibiasakan oleh 
gubermen untuk mengimajinasikan eksistensinya sekelompok 
"Chinezen" - yang sebenarnya 85 persen sudah banyak berasimilasi 
kepada kebudayaan pribumi - dengan gampang sekali merasa bahwa 
asimilasi itu sebenarnya cuman kedok; dan juga gampang tidak 
mengerti bahwa konglomerat "raja-raja" yang jahanam itu tidak 
berdasarkan "lihainya bangsa cino", tetapi adalah hasil kongkalikong 
antar semua sukubangsa tingkat atas. Dari situ timbul kemungkinan 
yang luas untuk huruhara dan hurahura rasialis yang memang mulai 
terjadi di Hindia Belanda pada taon 1919, hanya 80 taon yang lalu.

Rasialisme baru ini juga diperkuat oleh sesuatu, yang asalnya emang di 
sistim hukum tetapi menonjol khususnya dalam sensus. Dalam sensus, 
yang dibikin satu tahun setelah huruhara pertama, yaitu pada taon 1920, 
penduduk-penduduk Hindia dibagikan kedalam 3 kategori besar. 
Golongan pertama adalah "orang Eropa" (termasuk Jepang dan 
Yahudi). Golongan ketiga adalah Inlanders. Dan yang kedua, namanya 
memang aneh: Vreemde Oosterlingen, artinya kira-kira "Orang Asia 
Yang Asing". Dalam penggolongan ini yang menonjol pertama-tama 
ialah bahwa Belanda tidak menamakan diri Orang Eropa Yang Asing, 
alias Vreemde Westerlingen (mirip Westerling yah?). Yang kedua, 
ialah bahwa orang-orang cino peranakan dengan begitu secara resmi 
dikatakan oleh pemerintah sebagai Orang Asing.Padahal sebagean 
besar mereka sudah turun-temurun menjadi penghuni bumi manusia di 
Nusantara. Ini mendapat dampak yang mendalam, karena baek pribumi 
sendiri maupun sebagian kelompok Keturunan Tionghoa sendiri, 
dengan demikian lebih lagi dibiasakan untuk menganggap yang 
terakhir sebagai "orang asing". Beleid netralisasi sukses!Di situ kita 
juga bisa lihat dengan jelas bibit-bibit dari paradoks kontemporer 
dimana Warganegara Indonesia justeru berarti "orang Asia yang asing." 
Pernyataan si pimpinan PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia 
Amerika Serikat) di Wisconsin baru-baru ini, bahwa di kampusnya ada 
40 orang Indonesia, tetapi kalow termasuk "Cina" bisa sampai 200, 
mencerminkan sikap gendheng ini.

Walowpun demikian perlu ditegaskan bahwa sebagian penting dari 
pejuang pergerakan nasional hendak mengatasi alam pikiran ini. 
Pimpinan revolusi berusaha keras untuk mencegah aksi rasialis anti-
cino. Tokh warisan politik kolonial menjamin bahwa sedikit sekali 
"cino" pengen masuk badan perjuangan dan militer, dan lembaga-
lembaga ini condong untuk eksklusif terhadap "cino". Tapi sebaliknya 
selama zaman demokrasi liberal hampir semua partai politik besar 
punya tokoh yang "Chinees", dan tidak jarang ada yang bisa jadi 
menteri. Bung Karno kasih angin kepada BAPERKI yang punya 
ideologi, bahwa "cino" itu cuman salah satu suku bangsa laen di antara 
sekian macam sukubangsa di Nusantara - mirip posisi "sangley" di 
Filipina dulu.

Persetujuan Sunario-Chou En Lai pada pertengahan taon 1950an adalah 
usaha untuk mengkonsolidasikan kewarganegaraan mutlak sebagean 
besar kelompok "cino" di Nusantara. Anehnya, di antara semua partai 
politik yang besar, justru PKI lah yang unik. Setelah Tan Ling Djie 
diusir dari politbiro pada taon 1951, pimpinan Aidit cs berusaha untuk 
mengeliminir orang "cino" dari badan-badan PKI yang penting. 
Sehingga orang peranakan yang berhaluan kiri disuruh bermukim di 
ghetto Partindo. Tapi ini juga mungkin hanya terjadi karena di mantan 
kekaisaran Tiongkok sendiri setelah 1949 Partai Komunisnya Mao 
Zedong mulai bertahta. Jadi kalau PKI ada tokoh Peranakan bisa dikira 
sebagai boneka Peking.

Dengan latar belakang ini, tidak terlalu mengherankan kalow Orde 
Baru, yang dalam begitu banyak hal mirip Orde Kolonial, 
menghidupkan kembali aspek-aspek penting dari konstelasi politik, 
sosial dan kebudayaan zaman kolonial akhir. Alat keamanan - 50 taon 
setelah Indonesia merdeka - tetap 99 persen "bersih" dari warganegara 
yang "cino". Sistem konglomerat - raja-raja "cino" yang berlandaskan 
monopoli bikinan birokrasi dan akibat perlindungan politik khusus - 
menjadi-jadi. Sebaliknya orang "cino" dilarang bikin sekolah sendiri, 
atow punya pers sendiri, diajak berganti nama, disuruh asimilasikan diri 
supaya tidak menjadi Chinees lagi, tetapi sekaligus mereka 
didiskriminasikan di hampir seluruh bagean pekerjaan di luar dunia 
dagang: seolah-olah karena "sekali Cino tetap Cino untuk selamanya".

Sekali lagi semacam "pembancian" diterapkan sehingga orang-orang 
yang kena - ya bukan Chinees, ya bukan Indonesia. Kan enak dari 
sudut si penguasa yang suka divide et impera! Pembagian fungsi - 
ekonomi monopoli raja-raja Cino, politik monopoli raja-raja Pribumi 
akan menimbulkan dua akibat yang menguntungkan yang 
mengingatkan kita kembali ke Kongkalikong Candu abad ke-19. Di 
satu pihak, seperti diketahui, pimpinan negara tidak diancam oleh 
timbulnya konglomerat pribumi yang berambisi politik dan ada 
kekuatan massa di belakangnya (konglomerat Cino dari sudut politik 
tokh impoten.) Di laen pihak, pimpinan negara bisa juga 
memperlihatkan kepada masyarakat, bahwa selama Orde Baru tidak 
pernah ada menteri atow jenderal yang "cino", jadi kedaulatan rakyat 
tetap aman di tangan wakil-wakil asli dari masyarakat Inlander. Sistim 
kolonial Belanda menjadi sumber timbulnya huru-hara gelombang 
pertama di Indonesia.

Kemungkinan besar sistim Kolonial Pribumi bisa lama kelamaan 
menimbulkan gelombang kedua. Ini sangat berbahaya, dan bahaya ini 
tidak bisa dicegah kalau kita-kita ini tidak sadar tentang sejarah "si 
pendatang" baik di Filipina maupun di Indonesia. Kasus Filipina 
dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang dari keluarga besar 
Melayu bisa saja hidup tenteram dan saling membaur dengan orang-
orang dari Keluarga Besar Mongolian.Kita perlu menjunjung tinggi 
campuran. Karena itu, kagak ada salahnya, kite teriakkan: "Hidup 
Campuran!"

Tulisan ini semula cerita tutur kepada Mas Pipit Kartawidjaja di 
Itakapura, Amerika Sarekat, 27 Des 1995, kemudian dimuat di majalah 
Suara Demokrasi III/1996, Berlin. Lalu diperbaharui dan disampaikan 
di depan Seminar "Tionghoa dan Nasionalisme di Asia Tenggara", 
Surabaya, 13 Mar 2001.



Last Revised:Mar 01, 2006 



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke