Saya pribadi sih enggak percaya ada hubungannya CIA dengan ketentuan
adanya SBKRI di Indonesia. 
Kalau hubungannya dengan politik luar negri dengan RRC taon 40-50 an,
nah saya YAKIN ada, heheheh. 

Dan saya masih tidak yakin penghapusan SBKRI akan bisa dilaksanakan. Dan
masih curiga janji penghapusan ini apa bukan angin surga saja? 

Selain "sejarahnya" nongol itu surat, diberati pula urusan 'politik luar
negri' termasuk diantaranya yang mengatur hak dan kewajiban negara
terhadap warganegaranya. 

Jadi harus jelas itu dibedakan mana yang warganegaranya, yang merupakan
tanggung jawabnya dan mana yang bukan. 

Sudah 7 turunan tinggal di Indonesia pun, berhubung Indonesia masih pake
aturan ius sanguinis (CMIIW) kalau bapaknya masih terhitung asing,
gimana anaknya bisa terhitung WNI? 
Kecuali kalau itu aturan diganti jadi Ius Soli, maka tinggal tunjukkin
surat lahir, dianggaplah WNI. 
(Tapi kalau jadi Ius Soli, kalu bapaknya WNI tapi anaknya lahir di
singapur yang nganut ius sanguinis, anaknya jadi stateless donk? ) 

Waktu saya lahir, papa saya masih status asing, maka waktu nenek saya
bikin surat SKKRI, dan papa saya dapat SBKRI, saya juga urus surat
SKKRI!!! 
Kyahaha, kalu yang ngga ngerti bisa pusing gimana bapaknya dapat SBKRI
anaknya malah dapat SKKRI. 
Sebaliknya adik saya lahir waktu papa dan mama sudah punya SBKRI, maka
adik saya tidak perlu punya itu surat, cukup pake surat SBKRI papa-mama
aja kalau ada yang tanya. 

Aturan manapun yang dianut, Ius Sanguinis atau Ius Soli, tetap aja akan
ada yang kurang suka, yang merasa jadi korban, yang merasa direpotkan,
yang merasa tidak puas. 
Jadi mendingan ambil aturan mana aja yang lebih GAMPANG buat
administrasi negara deh.

Apakah aturan SBKRI itu diskriminatif? Sekarang saya tidak begitu yakin
lagi.

(Dua tahun yang lalu sih masih yakin seyakin-yakinnya, heheheh, sekarang
setelah uthak- athik kok malah luntur itu keyakinan yah?. Btw, ada yang
tahu itu UU no 62 tahun 1958 bunyinya apa? Hehehe)


-----Original Message-----
From: Lucas Ony [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Sunday, March 12, 2006 10:34 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru


Mudah2an ada rencana penghapusan peraturan buatan CIA dalam UU No 62
Tahun 
1958 ini...
Saya sudah bosan dengar kata SBKRI... kalau orang yang baru datang dari
luar 
negri lalu ganti warga negara di sini, masih cengli pakai SBKRI, tapi
kalau 
yang sudah 7 turunan tinggal di sini apa perlu lagi ya pakai peraturan 
buatan CIA ini?

<skip>

Kind regards,
Ony


----- Original Message ----- 
From: HKSIS
To: HKSIS-Group
Sent: Sunday, March 12, 2006 8:34 AM
Subject: [budaya_tionghua] Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru


 
http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2006031200514906
                  Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru




            SALAH satu tujuan negara didirikan adalah untuk melindungi 
warganya. Selain itu, juga memberikan kemudahan sehingga hak-hak warga
dapat 
dipenuhi tanpa pandang bulu.

            Namun, maksud yang indah-indah dalam filosofi berdirinya
negara 
itu tidak selamanya mulus dalam praktiknya. Bahkan negara justru menjadi

bengis dan menebar teror kepada warganya. Teror itu menjelma dalam
berbagai 
bentuk, baik langsung melalui aparaturnya maupun lewat perangkat aturan
dan 
undang-undang yang diskriminatif.

            Itulah yang menimpa kita, bangsa Indonesia, selama beberapa 
dasawarsa. Negara mengerangkeng hak-hak sipil warga. Akibatnya, sebagian

warga takut dan terkekang. Salah satu aturan yang membuat takut itu
adalah 
UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.

            Dengan UU itu, negara menebarkan ketakutan bagi etnik
tertentu. 
UU yang seharusnya dibuat dengan semangat melindungi kepentingan warga 
negara itu justru merampas hak warga dan meneror mereka.

            Etnik Tionghoa, contohnya, hingga kini masih menjadi warga
kelas 
dua, bahkan baru menjadi setengah warga negara Indonesia (WNI). Warga
etnik 
Tionghoa yang lahir dan menghirup udara pertama kali di Indonesia,
dengan 
landasan UU itu, tetap dianggap sebagai WNI keturunan. Karena keturunan,

mereka harus memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia 
(SBKRI).

            Jelas, aturan itu tidak hanya diskriminatif, tapi juga
menjadi 
alat pemerasan terhadap etnik Tionghoa. Bahkan, aturan itu telah memakan

korban manusia-manusia cemerlang pengharum bangsa.

            Sebutlah sejumlah pebulu tangkis yang telah mengharumkan
nama 
Indonesia di pentas dunia seperti Susy Susanti, Hendrawan, dan Alan 
Budikusuma yang begitu sulit mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Padahal, 
mereka lahir dan besar di Tanah Air, bahkan telah berjasa mengibarkan
Merah 
Putih. Kesulitan serupa dialami ratusan ribu, bahkan jutaan etnik
Tionghoa 
lainnya.

            Semua perlakuan diskriminatif harus dihapus dari Bumi
Pertiwi. 
UU Kewarganegaraan yang lama harus segera diganti. Untuk itulah, DPR
sedang 
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan yang diharapkan 
memberikan jawaban revolusioner.

            Misalnya, dengan tegas-tegas menyebut semua warga negara 
keturunan, siapa pun dan dari etnik apa pun, apakah Tionghoa, Arab,
India, 
dan lain-lain yang lahir di Indonesia, semua dianggap Indonesia asli.
Mereka 
adalah WNI.

            Sebuah undang-undang yang menjunjung tinggi persamaan hak
warga 
negara, dan memberikan kemudahan kepada warga negara, sebentar lagi 
dihasilkan DPR. Itulah UU Kewarganegaraan yang turut menunjukkan bangsa
ini 
bangsa beradab.




.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke