Ulysee benar, bahwa baik asas ius sanguinis maupun ius soli adalah 
netral. Begitu juga dengan stelsel pasif maupun aktif. 

Tetapi permasalahannya adalah ketepatan asas dan sistem 
kewarganegaraan yang dipakai dengan kondisi sosio-kultur-politic 
negeri yang bersangkutan. Netralitas asas dan stelsel itu dapat 
hilang apabila dalam praktek di lapangan didasari oleh semangat 
diskriminatif dan rasis. 

BAPERKI yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan memperjuangkan asas ius 
soli dengan stelsel passif. Asas dan sistem ini juga didukung oleh 
keturunan Arab. 

Melihat rendahnya pengetahuan tentang hukum dan kewarganegaraan 
sebagian besar penduduk indonesia maka tampaknya ius soli dengan 
stelsel passif adalah asas dan sistem yang paling tepat untuk 
Indonesia. 

Blum lagi kalau melihat tidak terjangkaunya sosialisasi 
kewarganegaraan apabila memakai asas ius sanguinis dan stelsel 
aktif. 

Paling tidak, itulah pengalaman selama ini dengan menggunakan asas 
ius sanguinis dan stelsel passif yang menjiwai UU. No 62/1958. 

Saya mengucapkan selamat atas tambahan pengertian tentang SBKRI 
untuk ulysee. Ternyata pergaulan anda dengan konco-konco t-net telah 
mampu mengubah persepsi anda tentang diskriminasi terkait dengan 
kasus SBKRI dan tionghoa. 

Saya kutip butir pasal dari UU No.62/1958 yang menjadi payung hukum 
diterbitkannya SBKRI oleh Soeharto lewat berbagai inpres. 

Peraturan penutup UU No.62/1958 pasal IV berbunyi:

"barang siapa perlu membuktikan bahwa ia warga-negara Indonesia dan 
tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau 
memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh 
kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari 
tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warga-negara Republik 
Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa."

Dari bunyi pasal ini, tentu tidak ada yang tidak baik atau khusus 
diperuntukan bagi kalangan etnis tionghoa. tetapi lihat aturan 
pelaksana dibawahnya spt Peraturan Menteri Kehakiman No. JB3/4/12 
Maret 1978, tentang SBKRI. 

Eniwei, saya tidak akan memperdalam masalah hukum perundangan-
perundangan secara detail kali ini. Saya lebih mau berkutat pada 
politisasi SBKRI yang kamu anggap tidak diskriminatif itu. 

Kekacauan terjadi pada saat seseorang tidak memahami term SURAT 
BUKTI KEWARGANEGARAAN dan SBKRI yang selama ini ramai digugat. 

Sebuah surat Bukti Kewarganegaraan itu mutlak perlu dalam sistem 
ketata-negaraan sebuah negara. Tetapi SBKRI bagi Tionghoa itu adalah 
kebijakan diskriminasi yang berdampak sangat buruk dalam prakteknya. 
Implikasinya selain masalah materi juga psikologis. Orang tionghoa 
merasa dibedakan dari warga-negara lain. 

Surat bukti kewarganegaraan itu bisa akte lahir, KTP dll. Di 
berbagai negara surat bukti kewarganegaraan itu tidak seperti yang 
dialami oleh etnis tionghoa di Indonesia. 

Asas kewarganegaraan Indonesia hanya mengenal dua macam warga-negara 
yaitu WNI dan WNA. Kita juga tidak mengenal adanya stateless. Tetapi 
penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan yang dibatalkan secara 
sepihak oleh soeharto menghasilkan penduduk stateless di dalam 
Indonesia. Ironisnya, golongan stateless ini adalah golongan yang 
telah lahir dan menetap di Indonesia selama bergenerasi-generasi. 
Dan RUU Kewarganegaraan yang saat ini dibicarakan di parlement, 
salah 1 tujuannya, adalah menyelesaikan masalah stateless ini. 

Nah, yang dimaksud dengan SBKRI itu adalah 6 jenis formulir plus 
formulir C dan D untuk mereka-mereka yang pernah ikut pemilu 55 dan 
para pegawai negeri, militer dan mereka-mereka yang berjasa untuk 
negara. 

Lantas dibuatkanlah satu buku seperti passport oleh think tank CSIS 
dan direstui oleh soeharto. Dokumen ini kemudian dikenal sebagai 
SBKRI. Tetapi seluruhnya SBKRI itu ada 9 jenis dokumen 
kewarganegaraan. Khusus di jakarta, diperlukan formulir K1 untuk 
membuat KTP. 

Coba bandingkan dengan penduduk lain. Untuk mengurus segala 
keperluan dokument itu bukan hal yang mudah. Selalu ada praktek 
korupsi di lapangan. Itu yang selalu dikeluhkan oleh tionghoa 
miskin. 

Segini dulu, lanjutan pembahasan tentang SBKRI dan kebijakan Mao 
Zedong seperti yang selalu diungkap oleh si martin dari tnet yang 
selalu memakai penjelasan Yusril Izra Mahendra, saya lampirkan di 
posting tersendiri. 

Sub-Rosa II


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Saya pribadi sih enggak percaya ada hubungannya CIA dengan 
ketentuan
> adanya SBKRI di Indonesia. 
> Kalau hubungannya dengan politik luar negri dengan RRC taon 40-50 
an,
> nah saya YAKIN ada, heheheh. 
> 
> Dan saya masih tidak yakin penghapusan SBKRI akan bisa 
dilaksanakan. Dan
> masih curiga janji penghapusan ini apa bukan angin surga saja? 
> 
> Selain "sejarahnya" nongol itu surat, diberati pula 
urusan 'politik luar
> negri' termasuk diantaranya yang mengatur hak dan kewajiban negara
> terhadap warganegaranya. 
> 
> Jadi harus jelas itu dibedakan mana yang warganegaranya, yang 
merupakan
> tanggung jawabnya dan mana yang bukan. 
> 
> Sudah 7 turunan tinggal di Indonesia pun, berhubung Indonesia 
masih pake
> aturan ius sanguinis (CMIIW) kalau bapaknya masih terhitung asing,
> gimana anaknya bisa terhitung WNI? 
> Kecuali kalau itu aturan diganti jadi Ius Soli, maka tinggal 
tunjukkin
> surat lahir, dianggaplah WNI. 
> (Tapi kalau jadi Ius Soli, kalu bapaknya WNI tapi anaknya lahir di
> singapur yang nganut ius sanguinis, anaknya jadi stateless donk? ) 
> 
> Waktu saya lahir, papa saya masih status asing, maka waktu nenek 
saya
> bikin surat SKKRI, dan papa saya dapat SBKRI, saya juga urus surat
> SKKRI!!! 
> Kyahaha, kalu yang ngga ngerti bisa pusing gimana bapaknya dapat 
SBKRI
> anaknya malah dapat SKKRI. 
> Sebaliknya adik saya lahir waktu papa dan mama sudah punya SBKRI, 
maka
> adik saya tidak perlu punya itu surat, cukup pake surat SBKRI papa-
mama
> aja kalau ada yang tanya. 
> 
> Aturan manapun yang dianut, Ius Sanguinis atau Ius Soli, tetap aja 
akan
> ada yang kurang suka, yang merasa jadi korban, yang merasa 
direpotkan,
> yang merasa tidak puas. 
> Jadi mendingan ambil aturan mana aja yang lebih GAMPANG buat
> administrasi negara deh.
> 
> Apakah aturan SBKRI itu diskriminatif? Sekarang saya tidak begitu 
yakin
> lagi.
> 
> (Dua tahun yang lalu sih masih yakin seyakin-yakinnya, heheheh, 
sekarang
> setelah uthak- athik kok malah luntur itu keyakinan yah?. Btw, ada 
yang
> tahu itu UU no 62 tahun 1958 bunyinya apa? Hehehe)
> 
> 
> -----Original Message-----
> From: Lucas Ony [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
> Sent: Sunday, March 12, 2006 10:34 PM
> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Subject: Re: [budaya_tionghua] Menyongsong UU Kewarganegaraan yang 
Baru
> 
> 
> Mudah2an ada rencana penghapusan peraturan buatan CIA dalam UU No 
62
> Tahun 
> 1958 ini...
> Saya sudah bosan dengar kata SBKRI... kalau orang yang baru datang 
dari
> luar 
> negri lalu ganti warga negara di sini, masih cengli pakai SBKRI, 
tapi
> kalau 
> yang sudah 7 turunan tinggal di sini apa perlu lagi ya pakai 
peraturan 
> buatan CIA ini?
> 
> <skip>
> 
> Kind regards,
> Ony
> 
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: HKSIS
> To: HKSIS-Group
> Sent: Sunday, March 12, 2006 8:34 AM
> Subject: [budaya_tionghua] Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru
> 
> 
>  
> http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2006031200514906
>                   Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru
> 
> 
> 
> 
>             SALAH satu tujuan negara didirikan adalah untuk 
melindungi 
> warganya. Selain itu, juga memberikan kemudahan sehingga hak-hak 
warga
> dapat 
> dipenuhi tanpa pandang bulu.
> 
>             Namun, maksud yang indah-indah dalam filosofi 
berdirinya
> negara 
> itu tidak selamanya mulus dalam praktiknya. Bahkan negara justru 
menjadi
> 
> bengis dan menebar teror kepada warganya. Teror itu menjelma dalam
> berbagai 
> bentuk, baik langsung melalui aparaturnya maupun lewat perangkat 
aturan
> dan 
> undang-undang yang diskriminatif.
> 
>             Itulah yang menimpa kita, bangsa Indonesia, selama 
beberapa 
> dasawarsa. Negara mengerangkeng hak-hak sipil warga. Akibatnya, 
sebagian
> 
> warga takut dan terkekang. Salah satu aturan yang membuat takut itu
> adalah 
> UU No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
> 
>             Dengan UU itu, negara menebarkan ketakutan bagi etnik
> tertentu. 
> UU yang seharusnya dibuat dengan semangat melindungi kepentingan 
warga 
> negara itu justru merampas hak warga dan meneror mereka.
> 
>             Etnik Tionghoa, contohnya, hingga kini masih menjadi 
warga
> kelas 
> dua, bahkan baru menjadi setengah warga negara Indonesia (WNI). 
Warga
> etnik 
> Tionghoa yang lahir dan menghirup udara pertama kali di Indonesia,
> dengan 
> landasan UU itu, tetap dianggap sebagai WNI keturunan. Karena 
keturunan,
> 
> mereka harus memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik 
Indonesia 
> (SBKRI).
> 
>             Jelas, aturan itu tidak hanya diskriminatif, tapi juga
> menjadi 
> alat pemerasan terhadap etnik Tionghoa. Bahkan, aturan itu telah 
memakan
> 
> korban manusia-manusia cemerlang pengharum bangsa.
> 
>             Sebutlah sejumlah pebulu tangkis yang telah 
mengharumkan
> nama 
> Indonesia di pentas dunia seperti Susy Susanti, Hendrawan, dan 
Alan 
> Budikusuma yang begitu sulit mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
> Padahal, 
> mereka lahir dan besar di Tanah Air, bahkan telah berjasa 
mengibarkan
> Merah 
> Putih. Kesulitan serupa dialami ratusan ribu, bahkan jutaan etnik
> Tionghoa 
> lainnya.
> 
>             Semua perlakuan diskriminatif harus dihapus dari Bumi
> Pertiwi. 
> UU Kewarganegaraan yang lama harus segera diganti. Untuk itulah, 
DPR
> sedang 
> membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan yang 
diharapkan 
> memberikan jawaban revolusioner.
> 
>             Misalnya, dengan tegas-tegas menyebut semua warga 
negara 
> keturunan, siapa pun dan dari etnik apa pun, apakah Tionghoa, Arab,
> India, 
> dan lain-lain yang lahir di Indonesia, semua dianggap Indonesia 
asli.
> Mereka 
> adalah WNI.
> 
>             Sebuah undang-undang yang menjunjung tinggi persamaan 
hak
> warga 
> negara, dan memberikan kemudahan kepada warga negara, sebentar 
lagi 
> dihasilkan DPR. Itulah UU Kewarganegaraan yang turut menunjukkan 
bangsa
> ini 
> bangsa beradab.
>








.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke