----- Original Message ----- From: Saafroedin BAHAR To: HKSIS Cc: Sent: Thursday, March 30, 2006 7:05 PM Subject: Re: Fw: Danar Re: Identitas Politik Tionghoa, Masalah Nation-building.
Saya tertarik dengan masalah yang sudah lama dihadapi oleh saudara-saudara keturunan Tionghoa, yang bagaimanapun berusaha untuk 'menjadi Indonesia' hampir selalu dicurigai karena satu dan lain hal. Walau saya tidak begitu banyak mempunyai kenalan keturunan Tionghoa, mereka yang saya kenal tidak banyak berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Umumnya mereka baik. Saya sendiri adalah keturunan Minangkabau, yang sekarang menjadi salah seorang komisioner pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Saya bisa merasakan betapa tidak enaknya secara terus menerus dialienasikan oleh bangsa dan negara tempat kita dilahirkan dan menjadi besar, hanya karena secara alami kita termasuk ras atau etnis yang berbeda dari etnik-etnik lainnya di Indonesia. Tetapi, bukankah semua orang Indonesia itu berbeda satu sama lainnya ? Menurut Sensus tahun 2000 ada 1.072 etnik di Indonesia, hanya sekitar 15 etnik yang beranggotakan di atas 1 juta jiwa. Jadi sebagian terbesar orang Indonesia ini termasuk dalam etnik minoritas, termasuk etnik asal saya Minangkabau. Saya juga merasa tidak adil, jika demikian banyak warga Tionghoa harus memikul tanggung jawab terhadap avonturisme ekonomi sekutar 200 orang kaya keturunan Tionghoa yang berkolusi dengan beberapa orang tokoh elite pribumi, yang telah menyebabkan keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, menurut pandangan saya, salah satu tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana mengembangkan suatu kondisi yang kondusif yang menyebabkan 1.072 etnik yang berbeda-beda itu merasa menjadi bagian dari suatu bangsa yang sama. Pada dasarnya masalah ini adalah masalah 'nation-building'. Jawaban terhadap masalah ini jelas tidaklah mudah. Suku Bangsa Minangkabau -- misalnya -- yang merupakan salah satu suku bangsa yang paling awal dan mungkin paling gigih terlibat dalam upaya membangun bangsa dan negara Republik Indonesia ini, merasa demikian terpuruknya antara tahun 1958 sampai dengan tahun 1984, sehingga dalam kurun yang lebih dari tiga dasawarsa tersebut mereka berusaha menyembunyikan identitasnya, termasuk dengan tidak memakai nama-mama Minangkabau dan sebaliknya memberi nama-nama anaknya dengan nama-nama yang berbau Jawa. Faktor penyebabnya adalah karena represi berkelebihan yang dilakukan oleh oknum-oknum TNI di jajaran Kodam III/17 Agustus sewaktu menumpas pemberontakan PRRI tahun 1958-1961 dan setelahnya, yang nota bene selain dipengaruhi oleh faham etnosentrisme juga disusupi oleh pengaruh PKI, terhadap warga masyarakat Sumatera Barat. Saya tahu persis, karena antara tahun 1960-1976 saya menjadi perwira staf di Kodam tersebut. Saya mutasi keluar daerah Sumatera Darat pada tahun 1976 sebagai letnan kolonel. Pertanyaannya sekarang: siapakah di antara para pemimpin Indonesia masa kini, yang benar-benar faham dengan kompleksitas masalah 'nation-building' ini ? Siapakah di antara pemimpin Indonesia masa kini yang benar-benar faham dengan apa yang ada dalam lubuk hati orang Aceh, orang Papua, atau orang Riau, sebagai contoh dari tiga etnik yang ditengarai mengandung keinginan memisahkan dari dari Republik Indonesia karena demikian lama dipinggirkan oleh Republik ini atau oleh oknum-oknum penyelenggara negaranya? Lebih dari itu, ada pertanyaan saya lagi: siapakah di antara para pemimpin negara kita dewasa ini, terutama di lembaga legislatif dan di lembaga eksekutif, yang benar-benar berkualitas 'statesmen' -- negarawan -- yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa yang bisa dikatakan sebagai 'the sick man of Asia' ini ? Saya benar-benar tergugah oleh data statistik yang menunjukkan bahwa hampir 60% anggota DPR RI pada komisi-komisi yang 'basah' adalah para pedagang dan pengusaha, yang sudah barang tentu 'mindset'-nya berputar sekitar untung rugi. Artinya, hanya sedikit sekali di antara anggota DPR RI yang benar-benar pokitisi yang akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan konstituennya. Saya benar-benar terheran-heran melihat perilaku anggota DPR RI ini sebagai suatu keseluruhan, yang makin dikritik masyarakat karena menaikkan gajinya sendiri di saat rakyat banyak dihimpit oleh beban kenaikan harga, malah memberikan reaksi dengan semakin mernakkan gajinya itu ! Menurut penglihatan saya, masalahnya tidaklah sekedar masalah kualitas dan oreintasi oknum-oknum yang duduk dalam pemerintahan. Masalahnya jauh lebih dalam, yaitu masalah 'grand design' dari negara Republik Indonesia ini sendiri, yang 'kontrak politiknya' tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya dalam Pancasila. Persoalannya lagi, mengapa studi Pancasila ini kok tidak bisa berkembang, baik secara teoretikal maupun dalam aspek praksisnya? Apakah tidak mungkin bahwa pemahaman kita selama ini terhadap Pancasila tidaklah tepat, dan bahwa kita memerlukan apa yang dapat disebut sebagai suatu 'paradigma baru' terhadap Panvcasila itu, sehingga lebih dapat dioperasionalkan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara? Saya telah mencoba mengutak-atik masalah ini, dan telah mengajukan gagasan awal saya kepada Pusat Studi Pancasila di Universitas Gadkah Mada di Yogyakarta, alma mater saya, yang saya usullkan agar dikembangkan menjadi Pusat Studi Pancasiula dan Hak Asasi Manusia, sehingga bisa disangkutkan langsung dengan tema sentral dunia masa kini. Seperti kita ketahui, banyak masalah yang 'mampet' pada tingkat kebangsaan dan kenegaraan mendapatkan jalan keluarnya dalam demikian banyak instrumen hukum internasional hak asasi manusia. Termasuk masalah masyarakat hukum adat dan etnik minoritas, seperti etnik Tionghoa atau etnik Minangkabau sebagai contoh. Sapai di sini dahulu. Salam, Saafroedin Bahar [EMAIL PROTECTED] HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote: ----- Original Message ----- From: RM Danardono HADINOTO To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, March 30, 2006 6:11 AM Subject: [budaya_tionghua] Re: Identitas Politik Tionghoa Salah satu upaya utama mewujudkan identitas politik adalah mengambil posisi sosbudpol yang tegas dan gamblang, meninggalkan area abu abu: I am here, I am a part of the whole nation. Perjuangan terberat bangsa ini, adalah memanusiakan manusia, mewujudkan keadilan sosial serta menegakkan good governance. Sebagai bagian integral dari bangsa ini, saudara saudara Tionghoa juga dipanggil untuk mewujudkan cita cita ini. Karena itu keberpihakan pada kelompok terpinggirkan di negeri ini adalah tugas utama. Rudolf Wage Supratman menyimpul sebuah lagu, dengan kalimat yang jelas: "Berdiri menjadi pandu ibuku...." Akhir akhir ini Ibu Pertiwi lagi lagi terkoyak koyak dalam issu issue nasional yang membelah bangsa. Saudara saudara Tionghoa adalah satu dari banyak unsur bangsa ini, dan mempunyai peran yang signifikan dalam mengatasi masalah seperti itu. Dengan mengambil posisi yang tegas, posisi integratif membela ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi menanti sumbangsih putra putrinya... Salam Danardono --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "odeon_cafe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > IDENTITAS POLITIK > Oleh: Kenken > > Begitu panjang perjalanan Tionghoa untuk bebas dari prasangka. > Sebuah kisah tentang perjuangan tanpa tapal batas yang diketahui dan > tak mudah untuk diprediksi. Perjalanan yang penuh haru-biru dan lika- > liku, sebuah proses yang kadangkala membuat tubuh bergetar dan hati > bergentar. Tionghoa hidup dengan berbagai wacana principium > contradictionis seperti dipertajamnya dikotomi "pribumi-nonpri" yang > mengarah pada keterisolasian hingga seringkali membentuk perasaan > teralienasi. Tionghoa hampir tak pernah terbebas dari stigmatisasi > liar dan upaya stereotyping yang acapkali memojokkan sehingga rasa > tidak percaya diri yang dilematis diam-diam merambah jiwa kolektif > masyarakat Tionghoa. Kondisi ini menyebabkan Tionghoa seakan-akan > kehilangan "kontak" dengan komunitas masyarakat lainnya dan menjadi > golongan "asing" yang "tidak asing", meminjam istilah Pramoedya > Ananta Toer. > > Komunitas Tionghoa (sekalipun bukan golongan satu-satunya) mendapat > perlakuan minor dan diskriminatif serta menjadi target represi > sosial secara sengit dibawah cengkeraman struktur formal politik > Orde Baru. Di era Orde Baru dengan kebijakan coersif dan slogan- > slogan tentang pembangunan, nasib golongan Tionghoa tak kunjung > membaik. Sekalipun segelintir kecil elite Tionghoa mampu masuk ke > dalam lingkaran elite ekonomi nasional dengan iringan orkestrasi > desas-desus tentang adanya berbagai privilese dari penguasa Orde > Baru yang kemudian harus dibayar oleh Tionghoa (sebagai golongan) > dengan biaya sosial yang tinggi. Segala macam pengekangan yang > dilegalkan di atas kertas atau dalam perilaku oleh penguasa Orde > Baru mengubur (sekalipun tidak sampai mematikan) begitu banyak > potensi positif komunitas Tionghoa untuk berpartisipasi membangun > negara dan bangsa Indonesia. Pola "privilege semu di bidang ekonomi > dan pengekangan riil di bidang politik" ini menjadi pemicu > hibriditas prasangka rasial terhadap Tionghoa yang pada akhirnya > mempersulit posisi dan derap langkah golongan Tionghoa. > > Sedangkan, pola "kesetaraan dalam wacana tetapi pembedaan dalam > praktek" yang juga diadobsi oleh Orde Baru menyebabkan > phrase "Indonesia adalah milikku" menjadi sulit dipercaya pada saat > diucapkan dari mulut seorang Tionghoa. Memang benar bahwa > verbalisasi kecintaan terhadap bangsa dan negara itu hanya menjadi > abstraksi bahasa simbol pada saat praxis kecintaan itu tidak dapat > muncul dan dikenali secara kasat mata oleh publik. Sekalipun, > konkritisasi kecintaan terhadap negara dan bangsa Indonesia itu > menjadi sulit untuk diekspresikan dan tetap tinggal di dalam hati > tanpa suara pada saat golongan Tionghoa hidup di alam "serba-salah > dan serba-bersalah". Bertambah sulit pada saat parameter kecintaan > itu ditetapkan secara samar, kasar, kaku tetapi tidak konsisten dan > selalu harus sesuai dengan selera si pemberi nilai dengan beraneka > ragam syarat. > > Wacana Politik Identitas > > Saat ini, di tengah-tengah masa transisi ke arah modernisasi > kehidupan sosial-politik, terdapat ruang yang cukup untuk merajut > kembali dialog saling-mengenal antar seluruh komponen anak bangsa. > Suasana ini ditandai dengan kemunculan pola "politik identitas" > berbasis agama, ras, etnis dan gender. Sesuatu yang sebelumnya > dianggap tabboo untuk dibicarakan tetapi tetap hidup di dunia yang > tak tersentuh tangan besi formalisme rezim orde baru. > > Mulai dari peningkatan kesadaran gender sampai mencapai titik > kulminasi gerakan ekstremisme feministis, golongan homosexual yang > dapat mengekspresikan diri secara terbuka dengan berbagai organisasi > formal dan diakuinya eksistensi Konghucu sebagai agama resmi memberi > dorongan bagi agama-agama minoritas lain untuk mendapat pengakuan > yang sama. Ironisnya, perkembangan positif ini juga diiringi oleh > sejumlah sisi negatif seperti kebangkitan kelompok-kelompok militan > dengan semangat partial dan slogan-slogan bernuansa segregatif > dibentangkan secara terbuka. Sisi negatif ini membuat Indonesia > seakan-akan menjadi sebuah negeri dengan tingkat "brutalisme > demokrasi" yang tinggi. Semuanya bersuara dalam notasi politik > identitas yang sama. > > Politik identitas adalah sebuah wacana yang berangkat dari asumsi > bahwa realitas kehidupan manusia selalu diwarnai oleh adanya > perbedaan-perbedaan. Perbedaan antar-identitas itu melahirkan > gagasan diperlukannya gerakan politik identitas. Wacana politik > identitas hendak memperjuangkan kesetaraan status dari identitas- > identitas yang selama ini termarginalisasi dan tertindas oleh > hegemoni kekuasaan struktural dan dominasi identitas pusat. Wacana > politik identitas hendak memperlihatkan bahwa di balik realitas > utama yang menjadi narasi besar tersembunyi realitas-realitas kecil > dalam jumlah tak terhingga dengan derajat kesetaraan yang sama dan > kualitas keindahan yang patut diperjuangkan. > > Sekalipun demikian, artikulasi politik identitas berbasis agama, > etnis, ras dan gender ini ternyata mengelisahkan sejumlah pemikir > dan tokoh yang bahkan berasal dari lingkungan seni. Contohnya, > Pirous, seorang seniman kaligrafi keturunan Aceh dan beragama Islam, > yang menyatakan kegelisahannya pada saat akan digelar pameran `Seni > Islam Kontemporer Indonesia'. Kenneth George melihat gejala ini > sebagai dampak dari semakin menguatnya peran politik identitas dalam > kreasi objek karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat > multikultural yang dinilainya penuh dengan kontradiksi, ironi dan > kontestasi. > > Padahal, paham multikultralisme mengakui adanya perbedaan- perbedaan > di dalam identitas yang berbeda (intra cultural differentiations) > yang ada di dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kegelisahan > seorang Pirous dan opini miris terhadap konstelasi masyarakat > multikultural dapat diminimalisir dengan kejernihan pemahaman > mengenai motif "politik fundamentalisme" yang menunggangi wacana > multikulturalisme. > > Dengan kata lain, multikulturalisme harus selaras dengan (dan > berdiri di atas) nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, hak asasi > manusia dan penegakan hukum positif secara komprehensif. Tanpa > landasan mendasar semacam ini, slogan "multikulturalisme" dapat > dengan cepat berubah menjadi praksis monokulturalisme yang penuh > dengan praktek pemaksaan, pemberangusan dan anarkisme dengan kadar > represifitas tinggi oleh kelompok yang lebih dominan dalam rangka > mengukuhkan diri sebagai penentu identitas utama. > > IDENTITAS POLITIK vs POLITIK IDENTITAS > > Sebagai golongan etnis yang tampak "masih dipermasalahkan", ada > baiknya, Tionghoa tidak terjebak dan berputar-putar dalam labirin > permainan "politik identitas", apalagi terseret pada > pola "primordialisme politik". Revitalisasi ekspresi kultural dan > simbol-simbol etnisitas harus tidak menjadi sebuah komoditas politik > praktis dalam kontestasi perebutan kekuasaan struktural. > Dijadikannya etnisitas ke-Tionghoa-an sebagai instrument politik > akan memicu pembiasan diferensiasi antara partisipasi demokratis > seorang warga-negara berketurunan Tionghoa dalam kehidupan politik > dengan posisi komunitas etnis Tionghoa sebagai salah satu element > Bangsa Indonesia. Pembiasan ini mempermudah dilancarkannya "politik > prasangka" yang tidak perlu terhadap komunitas Tionghoa. > > Di samping fakta bahwa tidak ada hukum ilmiah yang mampu memastikan > bahwa seorang politisi, figure dan tokoh publik beretnis Tionghoa > memiliki agenda, platform dan orientasi yang akan menguntungkan > posisi golongan Tionghoa. Sekalipun, tentu saja akal sehat dan etika > akan membenarkan apabila seseorang memperjuangkan nasib golongan > dari mana ia berasal. Tak dapat dipungkiri bahwa seseorang dengan > latar belakang identitas entis Tionghoa tidak dapat dipisahkan > begitu saja dengan golongan Tionghoa. Secara alamiah (sekalipun > mungkin tidak ilmiah), publik akan terdorong untuk melakukan > stigmatisasi pragmatis bahwa seorang politisi beretnis Tionghoa > adalah wakil golongan Tionghoa secara politis (sekalipun tanpa > konsensus dan kesepakatan bersama). Seperti dalam kasus stigma > Tionghoa sebagai golongan "the have" hanya karena sekitar 170 orang > etnis Tionghoa masuk kategori konglomerat. Atau kasus stereotyping > bahwa Tionghoa itu perusak ekonomi Indonesia pada saat tertangkapnya > seorang koruptor kakap yang kebetulan beretnis Tionghoa. Sehingga > himbauan Siauw Tiong Djin bahwa ".para pemimpin golongan Tionghoa > harus senantiasa sadar bahwa tindak tanduknya bisa menimbulkan > persepsi umum pada golongan yang diwakilinya" menjadi sangat relevan > untuk diperhatikan dengan seksama. > > Perjuangan eksistensi budaya, status hukum, kesetaraan dan posisi > golongan Tionghoa dapat dilakukan dengan mengambil metode perjuangan > politik (sekalipun tidak mutlak). Perjuangan politik ini dapat > dilakukan tanpa harus jatuh pada pola gerakan "politik identitas" > secara eksesif. ". Tionghoa harus memiliki "identitas politik" yang > jelas, tepat dan efektif. "Identitas politik" ini merupakan > kristalisasi "tradisi politik" (mentalitas, cara pandang, budaya > politik) yang terbangun baik secara alamiah, tidak disadari atau > lewat serangkaian perjuangan sadar. Bagi saya, identitas politik ini > harus pekat dengan warna demokratis, humanitarian, cerdas, > egalitarian dan keadilan. > > Para tokoh Tionghoa saat ini, baik generasi senior dan generasi > muda, memiliki tugas untuk mencari format dan bentuk perjuangan yang > paling efektif untuk memperjuangkan perbaikan nasib golongan > Tionghoa di Indonesia sekaligus mencari format "identitas politik" > yang benar dan tepat. > .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links -------------------------------------------------------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC and save big. [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/