Dalam tulisan Bondan Winarno "Meluruskan Sejarah", disinggung juga peranan 
Tionghoa dalam mempromosikan bahasa Indonesia yang selama ini tidak disinggung 
atau dilupakan dalam catatan sejarah Indonesia. Baik penulis-penulis yang etnis 
Tionghoa maupun dan terutama peranan koran, surat kabar yang diusahakan 
peranakan Tionghoa dalam bahasa Melayu-Tionghoa.

Rupanya ketika grup Pemuda berkumpul dalam Kongres Pemuda-II tahun 28 itu, para 
utusan yang tentunya intelektuil masih lebih suka menggunakan bahasa Belanda, 
dan, ... hanya Moh. Yamin, dari suku Minang yang menggunakan bahasa Melayu. 
Sayang tidak dijelaskan bagaimana pertimbangan dalam Kongkres Pemuda-II itu 
memutuskan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia.

Saya tidak berhasil menemukan tulisan yang menyatakan, bahwa bahasa Melayu 
ketika itu adalah bahasa yang digunakan sebagai bahasa antar pedagang anatara 
Malaya, Singapore, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Jadi, bahasa Melayu 
itulah yang sudah lebih populer digunakan dikawasan Nusantara dan Malaya oleh 
pedagang-pedagang yang saling menjual-belikan barang dagangannya. Sedang orang 
Jawa yang sekalipun dari jumlah merupakan moyoritas, tapi karena mempunyai 
tradisi menjauhi usaha dagang yang dianggapnya "penipu", jadi tidak berhasil 
merebut mayoritas dikalangan pedagang. Dengan demikian bahasa Jawa cukup hanya 
dikenal oleh orang Jawa saja, yang tidak mungkin dijadikan bahasa nasional yang 
harus dikuasai suku-suku lain. 

Salam,
ChanCT

----- Original Message ----- 
From: HKSIS 
Sent: Thursday, 23 September, 2004 20:52
Subject: Meluruskan Sejarah


SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------

Titik Pandang

Meluruskan Sejarah
 

Bondan Winarno 

SIAPA PUN yang sebentar lagi akan memimpin bangsa ini, saya hanya minta satu 
hal. Mari kita luruskan sejarah. 

Saya sendiri bukan ahli sejarah. Saya hanya tahu, ada banyak ketidakbenaran 
dalam sejarah yang sekarang diajarkan melalui sistem pendidikan kita. Bukankah 
ada pemeo yang mengatakan bahwa pena bisa lebih tajam daripada pedang? Sejarah 
memang selalu merupakan sebuah pertempuran tersendiri. 

Siapa pun rezim yang memegang kekuasaan, mereka selalu mempunyai versi 
sejarahnya masing-masing. Sampai hadir rezim lain yang membawa sejarahnya 
sendiri. Karena itu, setiap pergantian rezim selalu membuka peluang untuk 
mengubah sejarah - kalaupun bukan untuk meluruskannya. 

Salah satu sejarah "kecil" yang saya minta diluruskan adalah tentang peran kaum 
Tionghoa dalam kehidupan kebangsaan kita. Misalnya, mengapa sampai terjadi 
pembunuhan besar-besaran (massacre) terhadap kaum Tionghoa di Indonesia - 
setidak-tidaknya dua kali dalam era kolonial Hindia-Belanda, dan masih terjadi 
pula dalam masa kemerdekaan? Mengapa kejadian itu hanya disebut secara sambil 
lalu dalam pelajaran sejarah kita? Apakah karena yang terbunuh itu "hanyalah" 
orang-orang Tionghoa? 

Contoh yang lain adalah tentang peran kaum Tionghoa dalam menyebarluaskan agama 
Islam di Tanah Jawa. Kebetulan tahun depan akan diselenggarakan perayaan 600 
tahun muhibah Laksamana Cheng Ho. 

Berbagai catatan sejarah menyebut bahwa Cheng Ho melakukan public diplomacy 
dalam tujuh ekspedisinya ke negara-negara Asia dan Afrika -jadi, tidak hanya 
sekadar berdagang - dan membawa serta ulama-ulama Islam dalam lawatannya itu. 
Kalau hal ini benar, maka sejarah yang selama ini hanya menyebut para saudagar 
dari Gujarat sebagai pembawa syi'ar Islam haruslah dikoreksi. 

Telah beberapa kali, dalam berbagai kesempatan, saya mencoba meminta perhatian 
orang terhadap peran - kalau bukan keperintisan dan kepeloporan - kaum Tionghoa 
dalam mempromosikan bahasa Indonesia. 

u 

PADA Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tahun 1928, salah satu butir 
bahasan adalah tentang perlunya menetapkan bahasa Indonesia sebagai medium 
pendidikan. Ironisnya, pembicaraan berlangsung alot, karena ternyata para 
pemuda yang hadir pada kongres itu - notabene: semuanya pribumi - tidak banyak 
yang lancar berbahasa Indonesia. Kebanyakan pidato politik tentang kebangsaan 
justru disampaikan dalam bahasa Belanda. Hanya Mohamad Yamin yang ketika itu 
dianggap paling piawai dalam menggunakan bahasa Indonesia. 

Maka, lahirlah Sumpah Pemuda! Suatu kesadaran baru ditanamkan dalam jiwa bangsa 
Indonesia. Kesadaran tentang satunya tanah air, bangsa, dan bahasa - di tengah 
keragaman kesukuan yang ada. Sumpah Pemuda adalah antitesis terhadap politik 
divide et impera yang dijalankan penjajah. Anehnya, di masa kemerdekaan justru 
kita kembali lagi memakai politik segregasi dalam berbagai selubung. 

Tetapi, di kalangan etnis Tionghoa djadoel (djaman doeloe), ternyata bahasa 
Melayu justru sudah luas dipakai. Berbagai karya sastra pengarang etnis 
Tionghoa bertarikh akhir abad ke-19 sudah banyak yang memakai bahasa Indonesia. 

Sejak hilangnya huruf Arab dan aksara Jawi (huruf Arab gundul) digantikan oleh 
huruf Latin pada pertengahan abad ke-19, etnis Tionghoa di Indonesia justru 
menjadi pendahulu dalam penggunaan bahasa Melayu. Beberapa buku cerita 
berbahasa Melayu karangan para penulis Tionghoa mulai bermunculan. 

Demikian pula suratkabar berbahasa Melayu mulai dicetak di 
percetakan-percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, antara lain 
Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (1856), Soerat Chabar Betawi (1858), Selompret 
Melajoe (1860), dan Bintang Soerabaja (1860). 

Proliferasi kesastraan Melayu dan suratkabar dalam bahasa Melayu semakin mekar 
pada awal abad ke-20. Buku-buku cerita silat Tionghoa dalam bahasa Melayu yang 
diterbitkan langsung laris manis. Tetapi, banyak pula cerita roman yang ditulis 
sastrawan Tionghoa dengan nuansa lokal, seperti Boenga Roos dari Tjikembang, 
Dengen Doea Cent Djadi Kaja, Tjarita Njai Soemirah, Tjerita Tjan Yoe Hok atawa 
Satoe Badjingan Millioenair, dan banyak lagi. 

Di awal abad ke-20 itu terjadi pula proliferasi koran yang sebagian terbesar 
diselenggarakan oleh kaum Tionghoa. Beberapa jurnalis kawakan kita yang 
sekarang masih hidup bisa dirunut sejarahnya dari dua koran besar pada masa 
itu, Keng Po dan Sin Po. 

Pada masa gerakan kebangsaan, Sin Po yang nasionalis (berorientasi pada paham 
Dr Sun Yat Sen) bahkan menjadi penyemangat para nasionalis Indonesia meraih 
kemerdekaan sebagai bangsa berdaulat. Sin Po bahkan adalah surat kabar pertama 
yang memakai istilah Indonesia untuk menggantikan nomenklatur 
Nederlandsch-Indie atau Hindia-Olanda. 

Tetapi, mengapa dalam kitab-kitab yang dipakai sebagai bahan pengajaran di 
sekolah-sekolah kita saat ini peran etnis Tionghoa dalam kesastraan dan 
jurnalistik tidak pernah tersurat? Seolah-olah sastra dan pers Indonesia muncul 
begitu saja dari sebuah ruang hampa? 

u 

DALAM kaitan dengan keperintisan para penulis Tionghoa, saya baru saja selesai 
membaca sebuah buku yang diterbitkan ulang atas prakarsa Ben Anderson baru-baru 
ini. Buku itu berjudul Indonesia dalem Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri 
(baca: Cambuk Berduri, seterusnya TB). Buku itu aslinya terbit pada tahun 1947 
di Malang. Tentu saja, TB adalah nama samaran, seperti banyak dilakukan oleh 
para penulis perjuangan pada masa itu. 

Siapa Tjamboek Berdoeri itu? Pertanyaan itu menghantui Ben Anderson yang 
menemukan buku itu di tukang loak pada tahun 1963. Ia terkejut ketika membaca 
betapa kritisnya si TB itu. Ben bahkan menilai karya Tjamboek Berdoeri sebagai 
"jagoan prosa bahasa Melayu yang terhebat sesudah Pramoedya Ananta Toer". 
Anehnya, tak seorang pun mengetahui siapa sebenarnya penulis itu. 

Hampir 40 tahun, melalui sebuah penelitian yang pantang menyerah, akhirnya Ben 
Anderson menemukan bahwa TB adalah seorang yang bernama asli Kwee Thiam Tjing 
(KTT). Sayangnya, ketika "ditemukan", KTT sudah lama meninggal. Ia meninggal 
pada tahun 1974, tanpa seorang pun tahu bahwa seorang kolumnis besar telah 
tiada. Maklum, kecuali kepada keluarganya yang sangat dekat, KTT merahasiakan 
jatidiri si TB. 

TB yang lahir pada tahun 1900, mulai menulis kolom secara freelance pada 
sekitar tahun 1922. Ia kemudian sempat beberapa kali bekerja secara full time 
sebagai redaktur surat kabar, bahkan pernah pula menerbitkan koran sendiri 
dengan nama Pembrita Djember. Anehnya lagi, beberapa tahun sebelum kematiannya, 
ia sempat pula menjadi kolumnis di harian Indonesia Raya. 

Pertanyaan besarnya di sini adalah: mengapa seorang besar seperti KTT ini bisa 
lenyap begitu saja dari perhatian kita? Seolah-olah tak pernah ada dalam 
sejarah bangsa ini? 

Salah satu penyebabnya adalah karena KTT terlalu kritis. Ia bahkan sangat 
kritis terhadap kaumnya sendiri. Maka, demikianlah, paku yang mencuat harus 
diketok supaya tidak melukai orang. Dan, dengan demikian pula, nama KTT 
dilenyapkan dari sejarah. 

Alangkah ironisnya! * 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 23/9/04 
  ----- Original Message ----- 
  From: Akhmad Bukhari Saleh 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, April 12, 2006 12:15 AM
  Subject: Bahasa Melayu Tionghoa (Re: [budaya_tionghua] Re: Larangan 
Pencantuman Nama Marga di Akta Kelahiran Langgar HAM).........Paragraph 
terakhir Pak Ahmad)


  > ----- Original Message ----- 
  > From: Shinjai Hayashi 
  > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  > Sent: Tuesday, 11 April, 2006 09:26
  > Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Larangan Pencantuman Nama Marga di Akta 
Kelahiran Langgar HAM).........Paragraph terakhir Pak Ahmad

  > > Untuk promosi Bahasa Melayu, maka dibentuk Balai Pustaka,
  > > yang bertujuan untuk mempromosikan, menerbitkan buku2 Melayu. 
  > > Dengan demikian Bahasa Melayu kemudian dipakai secara lebih luas, 
  > > dan merupakan bahasa Nusantara pertama yang mendapat perlakuan
  > > secara modern.

  ------------------------------------------------------------------------

  ----- Original Message ----- 
  From: RM Danardono HADINOTO 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, 11 April, 2006 21:52
  Subject: [budaya_tionghua] Re: Larangan Pencantuman Nama Marga di Akta 
Kelahiran Langgar HAM).........Paragraph terakhir Pak Ahmad

  > Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak 
  > di percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, 
  > seperti Soerat Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang 
  > Soerabaja (1860). 
  > Di awal abad 20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, 
  > Sin Tit Po, dan Sin Po. 
  > Sin Po malah merupakan koran pertama yang memakai istilah 
  > Indonesia untuk mengganti "Nederlandsch-Indie" atau Hindia Belanda.
  >
  > Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut 
  > kemudian berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan 
  > berbagai berita perjuangan nasionalisme. 
  > 
  > Sin Tit Po, Matahari, dan Sin Po, misalnya, merupakan harian-harian 
  > yang giat menyampaikan aspirasi perjuangan kemerdekaan. 
  > Tulisan-tulisan para tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Tjipto 
  > Mangunkusumo kerap dimuat.

  ==================================

  Sementara analis berpendapat bahwa pendirian Balai Pustaka (BP), yang dengan 
kekuatan dan kewenangan penuh mempromosikan bahasa Melayu yang BERBEDA, adalah 
karena kecemasan gubernemen Hindia Belanda akan popularitas bahasa Melayu 
Tionghoa yang telah menjadi bahasa perjuangan!

  Seperti kita tahu bahasa Melayu yang dipromosikan BP itu berbeda dari bahasa 
yang dipakai rakyat sehari-hari. 
  Dan untuk mendiskreditkan bahasa yang umum dipakai rakyat, maka bahasa Melayu 
versi BP itu dinamai "Melayu Tinggi", sedangkan bahasa Melayu Tionghoa yang 
sudah luas dipakai di kalangan rakyat dinamainya "Melayu Rendah" atau "Melayu 
Pasar"!

  Bahasa Melayu Tinggi itu memang di-design lebih sulit daripada bahasa Melayu 
Tionghoa, tetapi penggunaannya digalakkan, bahkan dipaksakan, berlakunya pada 
semua dokumen resmi serta buku-buku terbitan BP. Dan buku-buku BP 
di-'gerojok'-kan ke masyarakat pada semua strata umur dan golongan.
  Dengan begitu, di-skenario-kan oleh pemerintah Hindia Belanda bahwa 
penyebar-luasan semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui media cetak 
berbahasa Melayu Tionghoa alias Melayu Pasar alias Melayu Rendah, tanpa terasa, 
akan terhambat.

  Wasalam.





  .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

  .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

  .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

  .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
  Yahoo! Groups Links



   




[Non-text portions of this message have been removed]





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke