Lagi, Tionghoa vs Cina


Istilah "Tiongkok", "Tionghoa" atau "Cina" selalu menjadi polemik dalam 
percakapan sehari-hari maupun di media cetak. Walaupun sering sudah kita 
mengulasnya, namun ternyata masih banyak orang, khususnya kaum muda yang 
lahir dan dibesarkan pada zaman ORBA belum mengetahui apa dan dimana masalah 
sesungguhnya. Dibawah ini saya kembali mengajukan pendapat yang mungkin 
berguna sebagai bahan pertimbangan.


Sesungguhnyalah masalah penggunaan istilah "Tiongkok", "Tionghoa" atau 
"Cina" yang tidak juga berkesudahan ini, karena masalahnya berada ditangan 
Pemerintah, kesediaan Pemerintah yang berkuasa secara resmi mencabut 
keputusan Presidium Kabinet 25 Juli 1967.

1. Dalam pergaulan sehari-hari diantara massa, baik disekolah, ditempat 
kerja, dilapangan sepak-bola, ... biarlah kedua istilah itu, "Tiongkok", 
"Tionghoa" atau "Cina" itu berkembang sesuai dengan apa adanya. Tidak akan 
menjadi masalah. Dengan keyakinan mayoritas mutlak, baik yang Tionghoa 
maupun yang non-Tionghoa, pada saat menyebutkan "Tionghoa" menjadi "Cina", 
tidak bermaksud menghina, melecehkan yang Tionghoa, baik dahulu maupun 
sekarang ini.


Masalahnya perlu kita perhatikan, karena kita akan tetap berhadapan dengan 
segelintir orang berpandangan rasialis, yang dengki pada sementara pengusaha 
Tionghoa "berhasil", bernapsu menggantikan posisi Tionghoa dibidang Ekonomi 
dan yang dalam saat-saat tertentu, sengaja digunakan untuk menyulut api 
kemarahan atau meletupkan pertengkaran dengan menggunakan istilah "Cina" 
atau men"Cina-Cina"kan yang Tionghoa, dalam pengertian menghina dan 
melecehkan.

2. Mengingat perubahan penggunaan istilah "Tiongkok", "Tionghoa" menjadi 
"Cina" adalah hasil keputusan Presidium Kabinet pada tanggal 25 Juli 1967, 
yang mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat untuk menggunakan istilah 
"Cina" sebagai ganti istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa". Keputusan yang tidak 
bersahabat dan salah dari pemerintah terdahulu inilah yang harus dicabut!

Seminar Angkatan Darat ke-2 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966, 
Agustus 25 -- 31, wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan 
Seminar pada Suharto -- pimpinan Kabinet menyatakan, "Demi memulihkan dan 
keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar 
dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama 
menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk 
menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior, kami melaporkan 
pada yang mulia, keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah 
"Republik Rakyat Tjina" (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan "warganegara Tjina" 
(ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan "Republik Rakyat Tiongkok" dan 
warga-nya. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut 
adalah tepat." (Setelah penggunaan ejaan baru, Tjina berubah jadi Cina).


Bersamaan dengan itu, salah seorang peserta Seminar Letjen Soemitro, didepan 
pertemuan dengan wartawan mengumumkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai 
Neokolonialisme - salahsatu negara imperialis, yaitu Tjinkolim (Tjina 
Kolonialisme-imperialisme).

Jadi jelas, Pemerintah RI ketika itu, setelah Jenderal Soeharto berhasil 
merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden Soekarno, dan mengikuti 
politik Amerika yang anti-komunis dan anti-Tiongkok, meningkatkan aksi 
kemarahan rakyat untuk membasmi komunis dan sekaligus meningkatkan 
permusuhan pada Tiongkok. Sengaja menggantikan istilah "Tiongkok", 
"Tionghoa" menjadi "Cina" yang berkonotasi menghina dan melecehkan itu. Dan 
tidak segan-segan mengerahkan massa untuk menyerbu dan mengobrak-abrik 
kedutaan Besar RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan lebih lanjut pembekuan 
hubungan diplomatik kedua negara ditahun 1967 bulan Agustus.

Perubahan penggunaan istilah "Tiongkok", "Tionghoa" menjadi "Cina" terjadi 
reaksi cukup keras, seperti yang dilakukan Mochtar Lubis, seorang
wartawan dan penulis kawakan memuat tulisan di Harian "Kompas" 28 April
1967, menandaskan bahwa penggunaan istilah "Cina" setidaknya telah melukai 
perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Juga di Surat kabar "Sinar 
Harapan" tertanggal 3 Mei 1967 telah memuat surat seorang pembaca, 
Alexsander yang menyatakan: "Kami bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak 
seharusnya melukai perasaan suku bangsa lain, jadi sudah seharusnya 
menghentikan penggunaan istilah 'Cina'".

Pemerintah Orba pada saat pemulihan hubungan diplomatik tahun 1990, tetap 
saja ngotot menggunakan istilah "Cina", sedang pemerintah RRT yang
mengutamakan dan memperhatikan kepentingan persahabatan kedua rakyat dan 
dipulihkannya hubungan diplomatik, akhirnya terpaksa menerima untuk 
menggunakan "CHINA" sebagaimana sebutan dalam bahasa Inggris. Dengan 
ketegasan tidak bisa menerima penggunaan istilah "CINA" yang berkonotasi 
menghina itu.

Sebutan nama bagi satu negara sepenuhnya adalah hak rakyat dan pemerintah 
negara bersangkutan yang harus diterima dan dihormati oleh setiap bangsa dan 
negara bersahabat, tapi ternyata pemerintah RI pada saat Soeharto berkuasa, 
menampakkan diri tidak bersabat, yang ngotot mempertahankan sebutan "Cina". 
Kesalahan sikap yang tidak bersahabat dan tidak menghormati negara 
bersahabat hendaknya bisa segera dikoreksi dengan ketegasan dan kedewasaan 
Pemerintah sekarang.



Sementara itu bisa kita ikuti bersama, kenyataan sejak Gus Dur menjabat 
Presiden, kemudian pada saat Megaswati menjabat Presiden dan bahkan juga 
presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, pada saat 
pertemuan-pertemuan resmi dengan pemerintah RRT, sudah kembali menggunakan 
istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa", tidak lagi ngotot bertahan menggunakan 
"Cina". Sikap dari ketiga Presiden RI demikian itulah sikap yang tepat, 
sikap bersahabat dan berjiwa besar. Hanya saja hendaknya bisa dilanjutkan 
maju selangkah lagi dengan pencabutan Keputusan Presidium Kabinet 25 Juli 
1967 dan dengan demikian secara resmi kembali menggunakan istilah 
"Tiongkok", "Tionghoa" sesuai dengan kehendak rakyat dan pemerintah 
Tiongkok.


Keberanian dengan tegas menyatakan kesalahan sikap pemerintah terdahulu 
adalah satu sikap yang menunjukkan KEDEWASAAN satu bangsa, menunjukkan sikap 
pemerintah yang bijaksana dan bertanggungjawab.

3. "Terbiasa" menggunakan istilah "Cina" selama lebih 40 tahun ini, tidak 
bisa dijadikan alasan kuat untuk mempertahankan lebih lanjut penggunaan 
istilah "Cina". Cukup panjang istilah "Cina" secara resmi digunakan di 
Indonesia, "Terbiasa" sudah menggunakan sebutan "Cina", dan mungkin tidak 
lagi bermaksud merendahkan, melecehkan yang Tionghoa. Tapi ingat, 
pejuang-pejuang Kemerdekaan RI, dari Tjipto Mangunkusumo, Kihajar Dewantoro, 
Tjokroaminoto, Sutomo sampai Soekarno-Hatta justru untuk menghormati 
kemenangan Revolusi Nasionalis Tiongkok, 10 Oktober 1911, sudah menggunakan 
sebutan "Tiongkok" dan "Tionghoa". Dan sebutan "Tiongkok", "Tionghoa" itu 
sesuai dengan keinginan Rakyat dan Pemerintah yang bersangkutan. Jadi, sudah 
seharusnyalah kita semua kembali menggunakan sebutan "Tiongkok" untuk Negara 
dan sebutan "Tionghoa" untuk rakyat dan bahasanya.



Sama halnya dengan sebutan "Inlander" pada bangsa dan Rakyat Indonesia 
dimasa penjajahan Belanda, pejuang-pejuang Kemerdekaan tidak suka dan merasa 
di-"hina" dengan sebutan itu dan ingin disebut "Indonesia", bagaimana 
jadinya kalau ada Negara "sahabat" bertahan tetap saja menyebutkan 
 "Inlander" pada Rakyat dan Bangsa Indonesia, hanya karena terbiasa sudah 
digunakan ratusan tahun dan sekalipun "Inlander" berarti "Pribumi" yang 
tidak ada konotasi menghina?



Pada tanggal 13 Agustus 1939, HH. Thamrin mengajukan penggantian istilah 
"Inlander" dengan "Indonesier", dan Ned. Indie dengan "Indonesia". Mosi ini 
oleh pemerintah kolonial Belanda ditolak, dengan alasan penggantian istilah 
memerlukan perubahan UUD dan bisa menimbulkan kesan Indonesia mau lepas dari 
kerajaan Belanda.



Orang Indonesia merasa dihina apabila orang Belanda menyebut dirinya sebagai 
"Inlander", sekalipun arti-kata "Inlander" adalah "Pribumi" atau "anak 
negeri". Jadi, kalau kita bisa berpikir dengan tenang, dengan 
mempertimbangkan betul sebagai asas kemerdekaan bangsa, tentu tidak akan 
bisa membenarkan menghidupkan kembali penggunaan istilah dijaman penjajahan 
kolonial yang mengandung makna penghinaan terhadap segolongan bangsa lain, 
bahkan sekelompok penduduk tetap yang sudah hidup bersama ratusan tahun 
dinegeri ini.



Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang besar dan beradab didunia 
ini, hendaknya bisa menerima dan menghormati permintaan bangsa lain dalam 
menyebutkan nama Negara dan bangsanya. Berani mengakui kesalahan pemerintah 
terdahulu, mencabut keputusan Presidium Kabinet 25 Juli 1967 itu, dan 
kembali secara resmi menggunakan istilah "Tiongkok" untuk sebutan Negara, 
Republik Rakyat Tiongkok, dan menggunakan istilah "Tionghoa" untuk sebutan 
bangsa dan bahasa. Tidak lagi menggunakan sebutan "Cina" yang jelas 
mengandung konotasi menghina yang Tionghoa itu.


Catatan: Dewasa ini media cetak maupun online Jawa Pos pimpinan Dahlan 
Iskan, beberapa tahun terakhir ini secara konsisten sudah menggunakan 
istilah Tionghoa dan Tiongkok, tidak lagi menyebut Cina. Demikian pula 
Majalah Indonesia Media dan Indonesia Media Online, Sinergi, dan Suara Baru 
telah melakukan hal yang sama selama 7 tahun belakangan ini. Kami juga 
percaya masih banyak lagi media cetak lainnya yang sudah mengikuti hal ini 
sekarang.



Salam,

ChanCT


----- Original Message ----- 

From: elucenov
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Friday, 13 October, 2006 11:45
Subject: [budaya_tionghua] Re: istilah Tionghoa dan Cina..mana yang tepat 
untuk diapak...


Terimakasih untuk masukannya. Sejauh ini saya coba menyimpulkan bahwa
di Indonesia istilah Tionghoa lebih diterima daripada Cina untuk
merujuk pada masyarakat/sukubangsa/bangsa. Saya mencoba mengabaikan
istilah mana yang paling populer di mancanegara, karena buku kami
memang terbit di Indonesia.

Maafkan kalau saya masih  ingin mengkorfimasi sekali lagi beberapa
hal berikut:

[perlu jadi catatan: ulasan kami dibuku kebanyakan berbicara mengenai
konteks Tionghoa di Tiongkok nya sendiri, dan buku kami ditujukan
bagi siswa SMU umum di Indonesia. Jadi penting pula memikirkan
pemahaman orang masa kini mengenai istilah yang umum dan resmi
dipakai]

Mana yang paling tepat dan resmi istilah berikut:

Tiongkok atau Cina untuk menyebutkan Negara/tempat?
RRT (Republik Rakyat Tiongkok) atau RRC (Republik Rakyat Cina) yang
sebaiknya dipakai?

Bahasa Tionghoa atau bahasa Mandarin? Betulkah cuma ada satu bahasa
saja atau banyak bahasa yang berbeda-beda? atau hanyak dibedakan oleh
banyak dialek? Bahasa Mandarin setahu saya hanya salah satu di
antaranya?

Berkenaan dengan hasil karya (bahkan dari abad sebelu Masehi):
Kaligrafi, aksara, lukisan, dll? Dalam buku2 berbahasa Inggris semua
menggunakan istilah "China". Apakah seluruhnya bisa diganti menjadi
Tionghoa saja?



Saat ini saya berpendapat: memilih satu istilah seragam saja, istilah
yang dianggap tidak menghina: Tionghoa dan Tiongkok (RRT).  Namun itu
sebetulnya juga jadi terasa mengganjal, karena istilah CINA yg sudah
begitu populer seperti dengan sengaja diberangus [meski bisa dirujuk
di glosari atau catatan kaki saja]

Mohon pencerahannya lagi.

Salam terbaik,

Esther











--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "M Djoko Yuwono" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Merujuk tulisan Bp Dr Irawan di
> http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-cinationghoa1.htm,
> saya setuju untuk menggunakan istilah Tionghoa daripada Cina.
>
> Kami pun menggunakan kata Tionghoa untuk komunitas kami di YLKTI
> (Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia].
>
> Salam:
> m djoko yuwono
> http://ylkti.tripod.com
> www.yuwono.tk
>
>
>
>
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, lim kwet hian <akwet_2000@>
> wrote:
> >
> > Salam utk semua anggota millis,
> >
> >   Maaf sebelumnya bila saya keliru. Seingat dan setahu saya,
istilah
> 'cina' itu mulai terdengar penyebutannnya setelah kejadian g30s/pki
 ,
> sebelumnya jarang orang menyebut 'cina'.
> >   Memang benar penyebutan 'cina'  di Indonesia serasa kurang sreg
di
> telinga sampai saat ini bila dibandingkan dgn 'tionghoa', mungkin
beda
> dgn di Malaysia misalnya.
> >   Mungkin ada pendapat lainnya ?
> >
> >   Akwet.
> >
> > drirawan@ wrote:
> >           Salam kenal kembali Esther,
> >
> > Memang pertanyaan anda sudah lumrah adanya. Perlu diketahui,
orang yang
> > diidentifikasikan sebagai Chinese, atau Tionghoa, asalnya tidak
> pernah menamakan
> > dirinya Cina. Penamaan itu diduga hanya dibuat oleh orang lain
(non
> Tionghoa).
> > Saya rasa Bung Rinto (moderator) bisa jawab itu.
> > Berkenaan dengan komunikasi kami disini menggunakan bahasa
> Indonesia, maka
> > seyogyanya kita juga boleh meninjau salah satu sudut pandang
mengenai
> > kontroversial istilah ini dari sudut Indonesia. Untuk itu saya
> persilahkan anda
> > mengikuti artikel nya di www.indonesiamedia.com , anda scroll
sampai
> bawah dan akan
> > anda temukan tulisannya disana. (catatan: Bagi siapa saja yang
> berniat baik
> > untuk menambahkan tulisan tersebut guna membantu pemahaman
> menyeluruh bagi para
> > pembaca kami haturkan banyak terimakasih)
> >
> > salam,
> > Dr.Irawan.
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Get your email and more, right on the  new Yahoo.com
> >
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
>






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.


Yahoo! Groups Links





[Non-text portions of this message have been removed]




.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to