----- Original Message ----- 
From: idakhouw
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, March 28, 2007 6:10 AM
Subject: [budaya_tionghua] Re: NEW: STUDY TOUR TAIWAN 2007, perincian biaya
& schedule

> Saya memang sangat kaget membaca info bhw PEMERINTAH Taiwan
> memberlakukan kebijakan beasiswa berbasis ras seperti itu.
> Saya sempat berpikir, masa' iya sih pemerintah Taiwan
> tidak diperlengkapi dengan penasihat dari kalangan kaum cendekia
> bidang ilmu2 sosial, sampai2 bisa menelurkan kebijakan
> absurd demikian

Seperti saya katakan dalam posting sebelum ini, pemerintah Taiwan tidak
bodoh, dan hanya soal waktu sampai mereka menyadari kesalahannya dan
memperbaiki political scheme-nya.

- - - - - - - - - - -

> Kaget kedua ketika menyaksikan sejumlah milisers
> bersikap standar-ganda yang akut:
> diskriminasi terhadap kelompok sendiri harus dilawan,
> diskriminasi terhadap kelompok lain dicari2 pembenarannya

Tidak terlalu mengagetkan kalau disadari adanya ketertekanan akibat
diskriminasi bertahun-tahun pada saudara-saudara Tionghoa Indonesia
selama ini.

Tetapi sebetulnya saya sampai panjang lebar mempersoalkan kebijakan
Taiwan juga bukan karena kepentingan pribadi.
Sebagai non-Tionghoa yang kebetulan tidak berminat belajar bahasa
Tionghoa,saya tidak dirugikan samasekali oleh kebijakan pemerintah Taiwan 
itu.

Namun yang saya kuatirkan adalah dampat negatifnya bagi saudara-
saudara saya Tionghoa Indonesia dari kebijakan Taiwan yang
memperlakukan Tionghoa Indonesia sebagai subyek politiknya!

Ketika 50 tahun yang lalu RRT menerapkan kebijakan serupa berupa
penganggapan bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah juga Tionghoa
RRT, hal itu telah mengakibat penderitaan luarbiasa bagi kaum Tionghoa
Indonesia.
Mereka langsung dianggap sebagai antek negara asing, dalam hal ini RRT
(suatu hal yang wajar, ketika Amerika berperang dengan Jepang, tanpa
pilih bulu orang Jepang warganegara Amerika {Nisei} juga dicurigai
sebagai antek Jepang, dan dimasukkan ke kamp interniran).
Saat itu Tionghoa Indonesia langsung disuruh memilih, setia pada RI atau
pada RRT.
Yang pilih RI, digusur dari pedesaan dan kota-kota kecil (melihat teori
Ketua Mao, pemerintah Indonesia takut kalau antek RRT tinggal di
pedesaan), sehingga harus hidup berdesakan dan berkumuhan di kota besar.
Yang pilih RRT, langsung diusir ke RRT, negara miskin yang kelebihan
penduduk, sehingga imigran Tionghoa Indonesia itu menderita luarbiasa di
sana, sampai sekarang, sambil menimbulkan beban luarbiasa berat juga
pada RRT sendiri, yang jaman itu negara miskin.
Di dalam masyarakat secara pukulrata orang Tionghoa Indonesia lantas
dicurigai. Saya masih ingat teman-teman Tionghoa saya ditanyai:
"Andaikata RRT, karena satu dan lain hal, menyerbu ke Indonesia, kamu
akan berperang di pihak mana?".
Namun, seperti saya katakan, RRT dengan pandai mengambil pelajaran
dari debacle-nya itu, dan sekarang jauh lebih lihay dalam berdiplomasi
antar bangsa.

Karena itu, pemuda-pemudi Tionghoa Indonesia yang nanti akan terpilih
pergi ke Taiwan berdasarkan syarat seleksi yang diskriminatif itu, dan lalu
merasa senang bisa berwisata sambil belajar bahasa Tionghoa ke Taiwan
dengan biaya yang disubsidi, sebetulnya akan masuk dalam situasi yang
sangat berbahaya, dapat mengulang apa yang dialami kakek-neneknya di
tahun 1950-an!
Mereka akan dipertanyakan apakah merasa bangsa Indonesia atau bangsa
Taiwan (bukan bangsa Tionghoa lho, cuma bangsa Taiwan!). Mereka
akan dianggap agen-agen (kolone kelima) negara asing.
Dan lalu desakan untuk melakukan tindakan diskriminatif balasan akan
ditimbulkan oleh golongan extrem di Indonesia, dengan penerapannya
secara pukulrata pada semua orang Tionghoa Indonesia.

Tetapi saya yakin, Taiwan, yang sebetulnya pemerintahnya dalam banyak
kasus menunjukkan lebih pintar dari RRT,  tentu juga akan segera
menyadari kebodohannya, dan melakukan langkah-langkah korektif.

- - - - - - - - - - -

> saya ingin sedikit meluruskan menyangkut tema Belanda dan Kristen
> (seperti sudah dijadikan PERANDAIAN yg kacau itu),

Kalau ini, mohon maaf, barangkali saya yang salah mengambil perandaian,
Ida-kouwnio.
Tetapi sebetulnya saya hanya mengembangkan perandaian yang dipakai
JS-heng.
Karena kelihatannya koq 'susah banget' JS-heng bisa mengerti bahwa
tindakan Taiwan itu diskriminatif.

Sebetulnya saya hanya sembarang (acak, random) saja mengambil
perandaian Kristen dan Belanda. Dan memang itu tidak harus pemerintah
Belanda, bisa saja yayasan Kristen Belanda, maka saya pakai istilah "pihak 
Belanda".

Yang ingin saya contohkan adalah kalau Belanda membantu sesuatu yang
menjadi spesialisasinya, apakah itu pelajaran agama Kristen (bukan
Hindu), ataukah itu bantuan roti (bukan nasi) boleh-boleh saja.
Begitu pula secara analogis, Taiwan membantu dengan pengajaran bah.
Tionghoa (bukan bah. Inggris), juga boleh-boleh saja.

Tetapi kalau bantuan pelajaran agama Kristen atau roti atau uang untuk
korban gempa dari Belanda itu, pemberiannya disertai syarat hanya boleh
diterima orang Indonesia keturunan Belanda (orang Indo-Belanda, seperti
Mama Loren itu, misalnya), nah itu namanya diskriminatif.

Dan kalau bantuan pelajaran bah. Tionghoa untuk bangsa Indonesia,
pemberiannya disertai syarat hanya boleh diterima orang Indonesia
kelompok tertentu (dalam hal ini, suku Tionghoa saja), nah itu namanya 
diskriminatif.

Wasalam.

Reply via email to