Demikianlah, sebagian besar dari pada apa yang dinamakan iman, tak mungkin dicernakan oleh ratio, karena memang tidak rational. Bagi mereka yang mengimani sesuatu, mereka tak perlu, atau merasa tak perlu, melalui proses pemahaman via ratio, namun langsung loncat kedalam iman. Ini adalah keputusan tiap manusia secara individual.
Dari sisi falsafah, sebenarnya hanya ada dua jenis situasi: yang sesuai dengan ratio, dan yang tak sesuai dengan ratio. Kata "rational" adalah jelas definisinya, namun kata "supra- rational" adalah pengertian konditional (bagi mereka yang menerima istilah ini saja). Karena, secara falsafah, kata supra rational sebenarnya adalah bagian dari kelompok irrational atau a rational. Kata "supra" tak memberikan kejelasan ilmiah mengenai kondisi irrationalitas itu. Contoh: kenalan anda melihat sosok manusia yang sedang duduk dan tersenyum padanya. Selain kenalan anda, tak ada yang melihat sosok itu. Ini kasus yang sering dikisahkan orang. Nah, bagi mereka yang tak melihat sosok ini, pemunculan si sosok ini adalah irrational. walau kita ganti menjadi supra rational, beliau beliau yang tak melihat sosok ini tetap tak melihat sosok ini, dan kejadian ini bagi mereka tetap tak masuk akal alias a rational... salam budaya danardono --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Sdri.Theresa, > > Saya kira kita setuju dalam iman/kepercayaan ada banyak hal yang tidak dapat dipahami dengan ratio atau irrational (walaupun dalam hal iman kepercayaan saya lebih suka menyebutnya supra-rational). > > Sewaktu menyebut soal kepercayaan angka 13, saya jelas menulis, itu menurut pendapat saya, untuk menggambarkan poin2 saya antara perbedaan irrational dan supra-rational.Dan saya sudah tekankan perbedaan itu tipis sekali. Disinilah terbuka bagaimana seseorang menafsirkan. Seseorang berhak percaya, dan orang lain berhak untuk tidak percaya. Jika saya berpendapat kepercayaan angka 13 itu irrational itu adalah hak saya. Saya seperti saya tidak akan menggugat anda jika anda mau mengatakan soal pelangi bukan supra- rational. Saya pun tidak akan menggugat anda jika anda mengatakan kitab suci banyak mengandung hal2 yg irrational, walaupun saya tidak perlu harus setuju dengan anda. > > Salam, > Kheng Hong > > theresa_gong <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > kitab suci jg banyak mengandung hal2 yg irasional. > Lihat hukum Taurat yg melarang makan daging babi. > > Garis ukur yg anda sebut irrational dan rational dasarnya dari iman > yg menjurus ke buta. > > Jika suatu bangsa percaya angka 13 adalah angka sial, seperti bangsa > Babilonia dan jg Eropa yg percaya 13 angka sial, itu haknya mrk. > Kenapa mesti disebut irrational ? > Jika org Chinese 13 adalah angka hebat , angka jagoan krn Sun Jian > dan 12 anak buahnya berhasil lolos , kenapa mesti disebut > irrational ? > > Sama jg kalau dipikir pelangi adalah busur Allah yg ditaruh di > langit, jelas bukan supra rational tapi org jaman dahulu gak bisa > jelasin drmn asalnya pelangi. > > Kepercayaan kain kafan Turino jg jelas2 irrational krn science > membuktikan itu adalah hoax. > > Masalah rational dan irrational itu dari sudut mana km meliatnya. > > Bagi yg bisa bazhi , jelas bazhi rational tp bagi org yg tdk percaya > jelas irrational. > > Tdk semua yg ditulis dalam kitab2 suci agama manapun adalah hal2 yg > rational. > Inget itu jd gak kejebak fanatisme buta. > > Jadi inget cerita2 zen yg mematahkan belenggu fanatisme mrk. > > Tess > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong > <cankhenghong@> wrote: > > > > Raden Mas Danardono yg terhormat, > > > > Dalam upaya menghayati keimanan dan budaya, saya bagi menjadi 3 - > hal-hal yg irrational, rational dan supra-rational. Hal2 yg > irrational maksudnya saya adalah yg sifatnya tak bisa dijelaskan > dengan akal sehat dan penjelasan dari segi iman pun tidak ada. > Kedua, hal2 rational tentunya hal2 yg dapat dijelaskan dengan akal > sehat. Ketiga, hal2 yg supra-rational adalah hal2 yg keimanan, > dituliskan dalam Kitab Suci misalnya, tak bisa dijelaskan dengan > ratio manusia. Maka harus diterima melampaui akal manusia. Maka > hanya dapat diterima dengan iman. > > > > Dalam pandangan saya, saya contohkan, saya memandang kepercayaan > takut angka 13, masuk dalam kategori irrational dan kisah2 nabi2 yg > diangkat ke sorga masuk dalam kategori supra-rational. Memang harus > diakui benang merah sangat2 tipis. Disinilah akal sehat diperlukan > untuk membedakan mana kategori irrational dan mana kategori supra- > rational. > > > > Terima kasih dan senang dapat berdiskusi dengan Mas. > > > > Salam, > > Kheng Hong > > > > > > > > RM Danardono HADINOTO <rm_danardono@> wrote: > > mas, budaya tumbuh dalam paguyuban manusia, yang > bernasib sama, dan > > membangun budaya itu untuk menghadapi kehidupan, seperti aturan > > menikah, bertata ruang, menyiapkan panen dsb. Setahu saya, tak ada > > satu budayapun yang merupana produk ratio. Misalnya upacara "tedak > > siti" orang Jawa, dimana anak bayi pertama kali dilepas dari > > gendongan, dan boleh menyentuh tanah. dasar pembenarannya adalah a > > rational. Juga penghormatan Dewi Sri, si Dewi Padi, atau dewi > > Pratiwi si dewi tanah, tak ada setetespun unsur rational. > > Perhatikanlah upacara penganten disetiap suku di Indonesia, yang > > mengandung aturan ketat mengenai busana dan make up penganten, > yang > > penuh larangan atau perintah, tak ada satupun yang rational. > > > > Wanita Jawa yang berpesiar ke laut selatan, tak diperkenankan > > memakai busana berbaju hijau, karena ini warna kesayangan Nyi Loro > > Kidul. Rational? > > > > Perhatikanlah, ritual prosesi, apakah itu mengarak patung dari > > vihara, atau pusaka dari istana kerajaan Jawa, atau mengusung > patung > > bunda Maria di Spanyol, tak ada yang bertumpu pada pendasaran > > rational. > > > > Tetapi, ini tak berarti, budaya layak dibuang begitu saja, karena > > ini dibutuhkan oleh banyak komunitas. Dan, bagi banyak komunitas, > > terutama yang masih agraris, pra industrial, ratio bukanlah se- > gala > > galanya. > > > > Terimakasih atas tanggapan anda. > > > > Salam > > > > danardono > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong > > <cankhenghong@> wrote: > > > > > > Pak HADINOTO, > > > > > > Saya ada sedikit berbeda pendapat dengan bapak. Jika budaya > > bukan produk rasional manusia, lalu produk dari apa? Jika manusia > > tidak rational, seperti halnya binatang misalnya, apa bisa > > menghasilkan budaya? > > > > > > Salam, > > > Kheng Hong > > > > > > RM Danardono HADINOTO <rm_danardono@> wrote: > > > Mungkin sebagai benang merah dalam semua alur diskusi > > yang > > > mengangkat thema agama, kepercayaan ataupun budaya, tidak > > menyangkut- > > > pautkan istilah rational. Ratio bertengger pada tatanan yang > > sangat > > > jauh berbeda dengan dunia transendental ataupun budaya.. > > > > > > Budaya yang rational, apakah itu? ratio berdasar kepercayaan, > > lebih > > > ciloko... > > > > > > Salam budaya > > > > > > Danardono > > > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Can Kheng Hong > > > <cankhenghong@> wrote: > > > > > > > > Dear semua miliser, > > > > > > > > Topik ini memang muncul sewaktu saya menanggapi tulisan Dr.Han > > > Hwie-Song:renungan seorang senior. Namun karena beliau sudah > > > menghentikan pembahasannya, maka untuk menghormati beliau, saya > > > start dengan topik baru ini. > > > > > > > > Untuk Sdr.Peter Liem, ijinkan saya menanggapi pertanyaan > saudara > > > lewat topik ini. > > > > > > > > Gejala menghayati suatu iman/kepercayaan tanpa akal sehat, > > > sangat terasa di tanah air kita Indonesia. Sebagai contohnya > > adalah > > > maraknya tayangan film-film tentang hantu, dunia roh, mistik, > dll. > > > Dan ini gejala yg memprihatinkan. > > > > > > > > Sejarah Eropa pada abad pertengahan (sekitar abad ke-5 sampai > > > 15), penghayatan keimanan telah menindas akal budi dan > masyarakat > > > terpuruk kepada segala takhayul dan mistis. Tidak ada > perkembangan > > > yang berarti pada masa itu. Masa itu disebut Abad Kegelapan > (Dark > > > Ages). > > > > > > > > Penghayatan suatu iman ataupun budaya tanpa akal sehat, hanya > > > akan membawa penderitaan bagi manusia. Sebagai contoh: di > Tiongkok > > > dulunya ada kebiasaan wanita-wanita mengecilkan kaki (foot > > binding). > > > Kebiasaan ini menurut Wikipedia berlangsung sejak dinasti Tang > > (abad > > > ke-6) sampai abad ke-20. Kebiasaan (adat) ini telah membawa > > > penderitaan bagi banyak wanita Tiongkok, dengan kaki yg tidak > > > normal. > > > > > > > > Maka menurut saya setiap elemen budaya Tionghoa harus dihayati > > > dengan akal sehat (common sense). Tidak setiap elemen yang harus > > > dipertahankan mati-matian demi semata-mata tradisi. Yang > > terpenting > > > adalah bagaimana menggali nilai-nilai yang luhur dalam setiap > > elemen > > > budaya itu dan melestarikannya. > > > > > > > > Salam, > > > > Kheng Hong > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > --------------------------------- > > > > Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? > > > > Check outnew cars at Yahoo! Autos. > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > --------------------------------- > > > Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone > > who knows. > > > Yahoo! Answers - Check it out. > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > > > > > > > > > > > --------------------------------- > > You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck > > in the all-new Yahoo! Mail Beta. > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > > > > > --------------------------------- > Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, photos & more. > > [Non-text portions of this message have been removed] >