Walau perahu tidak berasa bergoyang, bahkan tidak terasa bergerak, karena 
lambat, toh tidur ada batasnya. Walau lelap, sehabis pikiran mengembara 
merenungkan dan mengagumi sejarah kota Souw Cioe, secepat lenyapnya NH3 
terakhir di otak, secepat itu pula terbangun.

Melongok ke jendela, langit menyisakan sedikit pekat malam, semburat fajar 
seperti bergegas menancapkan umbul umbul merah menyambut munculnya surya.. 
Mungkin diluar sana adakah suara ayam berkokok? Didalam jelas tidak, lebih 
suara menggeros pelan tiga orang.

Walau pelan, tepat jam tujuh perahu merapat di dermaga Hang Tjioe (Hangzhou), 
selesai sudah pengalaman slow boat dari Souw Cioe (Suzhou, lihat tulisan Xia 
You Su Hang).
Dan semua menuruni tangga berhamburan keluar, beberapa menuju ke tempat taksi. 
Kemana mereka pergi? Ke Hotel atau ke Xihu?

Susah untuk lupa Hang Cioe, begitu sering kota ini jadi setting cerita silat.  
Penyair memuja Hangzhou. Bai Juyi menulisnya 'yang paling ingat adalah 
Hangzhou' (baca Ingat Selatan Sungai, bait 2, Purnama Di Bukit Langit, hal 215, 
Zhou Fu Yuan, Gramedia), Ouyang Xiu juga mengatakan 'indahnya telaga barat 
dengan sampan dan dayung' (baca Telaga Barat, Purnama Di Bukit Langit, hal 216) 
atau Liu Sheng yang bertanya 'nyanyi dan tari telaga barat kapankah mengaso?' 
(baca Telaga Barat, Purnama Di Bukit Langit, hal 43). 

Hangciu, waktu itu disebut Lim-an adalah ibukota dinasti Song Selatan. Disebut 
Song Selatan, karena dinasti Song terpaksa lari dari kota Kayhong (Kaifeng), 
yang waktu itu disebut kota Bianzhou (Pianciu). Pianciu termasuk kaisarnya 
direbut oleh kerajaan Liao yang berkuasa di utara dengan ibukota di sekitar 
Da-tong (Thay-tong) sekarang. Seorang pangeran yang lari diangkat menjadi raja 
di HangCiu. Dan mulailah dinasti Song selatan yang menguasai Tiongkok hanya 
separo saja. Kembali Tiongkok terbelah dua dengan sungai Tiang Kang 
(Chang-jiang atau juga disebut Yang Tze jiang) sebagai pembatas. Kaifeng 
terletak kurang lebih 1000 km di sebelah utara Hangzhou. Dan inilah Hangciu dan 
See-ouw (Xihu) nya yang tersohor.

Susah untuk lupa apa yang dilakukan Kwe Ceng, Oey Yong dan Ang Cit Kong di tepi 
telaga Barat (Xi Hu). Bahkan sampai sekarangpun resep masakan Oey Yong 
dilestarikan dan masih disajikan di salah satu restoran di tepi Xi Hu. Cobalah 
menoleh, semua seperti Kwe Ceng dan Oey Yong disekitar meja. Nonanya pintar2 
dan si pemuda seperti kerbau dicocok hidungnya. Dan siapa yang jadi Ang Cit 
Kongnya? Sementara benar kata Ouyang Xiu, musik dan gelak tawa terdengar sayup 
dari sampan di telaga. Matahari jam sebelas pagi, memantul di telaga seperti 
sinar perak. Jangan datang ke restoran lewat jam dua belas, kalau tidak 
bersiaplah adu lidah dengan Oey Yong  - Oey Yong baru waktu mencari tempat 
duduk.

Chin Yung menciptakan karakter baru di dalam diri Kwe Ceng. Sekali ini, agaknya 
dia menganggap sudah cukup dengan karakter tokoh utama yang satu typikal, 
pemuda, tampan dan pintar. Ya itulah Tan Kee Lok, Ouw Hoei dan Wan Sin Cie. 
Ketiga tiganya mempunyai rejeki baik untuk menjadi tokoh nomor satu. Di dalam 
cerita Sia Tiauw Eng Hiong, Kwe Ceng tidak lagi sepintar tiga karakter 
pendahulunya. Walaupun tetap saja tampan, gagah dan punya sifat ksatria. Dapat 
dikatakan Sia Tiauw Eng Hiong jadi sangat menarik karena ini adalah kisah 
bagaimana Chin Yung menjadikan karakter yang tidak terlalu pintar, tetap 
menjadi nomor satu. Sungguhpun demikian Chin Yung merubah juga peran tokoh 
pemudinya, jika tadinya tokoh tokoh seperti putri harum di Sioe Kiam In Sioe 
Liok (Putri Harum dan Kaisar) menjadi semacam figur ideal seorang perempuan,  
sedang Biauw Yok Lan (Swat San Hoei Ho) kontras dengan Ouw Hoei dan melankoli 
di Hoei Ho Gwa Toan, bahkan tokoh pendamping Wan Sin Cie tidak memorable.

Oey Yong lain. Perannya di cerita Sia Tiauw Eng Hiong cukup seimbang dengan Kwe 
Ceng. Melulu ini saja, dari metamorfosa karakter utama, Chin Yung menempatkan 
dirinya sebagai pengarang cerita silat yang paling utama. Sedikit banyak ini 
juga mempengaruhi Liang Ie Shen, sehingga memunculkan karakternya semacam Kiem 
Sie Ie.

Xi Hu memang indah. Di musim semi, melihat Yang Lioe yang terjuntai bercumbu 
dengan air telaga sudah menggirangkan. Melihat sepasang bebek juga 
menyenangkan. Lebih mencengangkan, tidak hanya di air, didaratpun banyak 
pasangan muda mudi berendeng beradu pundak. Siapakah yang meniru siapa? Ah, 
atau semua ini wajar2 saja.

Banyak yang menarik untuk dikunjungi di sekitar danau, mulai dari beberapa 
kuil. Salah satu yang menarik adalah memorial hall untuk Gak Hoei. Segera 
pikiran melayang kembali ke masa silam. Hari hari lebih panjang waktu itu, dan 
di waktu Ceng beng, Tang ce atau Sin cia, di waktu rumah kakek menggelar meja 
sembahyang, banyak sekali makanan dan kue tersedia, tidak hanya makanan untuk 
seorang bocah yang sayang masih terlalu kecil perutnya, juga makanan untuk 
telinga dan pikiran.

Sungguh beruntung mempunyai toa-pek (paman tertua, kakak ayah) yang suka 
bercerita, sambil mengunyah kue 'ku' (kue favorit)berwarna merah dengan isi 
kacang hijau yang sudah diolah, duduk manis di sekitar meja sembahyang 
mendengar cerita mengalir. Tahun ini tentang Gak Hoei, tahun lalu tentang Sie 
Djien Koei, tahun yang lalu lagi tentang Sie Teng san. Waktu Sincia tahun 
kemarin Sie Djin Koei yang kuat mengangkat balok2 besar dan makannya banyak 
sekali, waktu ceng bengnya diulang lagi, toh tidak bosan mendengarnya. Beberapa 
keponakan ternganga, entah berapa kue yang tertelan, pindah ke perut perut 
kecil. Ketika sadar kue 'ku' di tangan sudah tertelan semua, larilah secepat 
kilat ke dapur mengambil lagi, sambil teriak, eh tunggu tunggu, ceritanya 
jangan dilanjut dulu.  Waktu kembali, dengan kue di tangan, dan mulut masih 
penuh gigitan, ceritanya ceritanya sampai dimana?

Nanti setelah lewat berapa bulan lagi, pada waktu sore setelah makan malam, dan 
duduk di beranda, tanyalah lagi ke ibu cerita yang sama.  Atau waktu di tempat 
tidur, disuruh memilih cerita, pilih episode yang paling senang. Gak Hoei cukup 
sering diceritakan, terutama episode Gak Hoei yang tidak mau pergi berperang 
karena merasa ibunya sudah tua dan di rumah sendirian. Tetapi sang ibu kemudian 
menyuruh Gak Hoei yang sedang berlutut membalik badan dan menulis di 
punggungnya 'Tjin Tiong Po Kok'.

Sungguh menyenangkan kemudian tahu Gak Hoei berhasil menang, menjadi jendral 
dan menang perang terus. Sungguh menyedihkan tahu Gak Hoei ditarik mundur dari 
medan perang dan akhirnya harus meninggal. Episode menyedihkan ini hampir tidak 
pernah atau jarang diceritakan. 

Berdiri di memorial hall ini, orang sekarang pun masih meludah melihat patung 
Cin-kwe, itu perdana menteri yang mencelakakan Gak Hoei.

Kemana lagi kaki harus diayunkan? Ke kuil2 sebelah atau ke sumur naga 
(lung-ching)? Perbukitan sebelah sana yang ditutupi pohon pohon teh yang 
menghasilkan teh lung-ching yang termashur? Atau ke sungai Qian-tang yang 
terkenal dengan gemuruh suara ombak pasangnya?

Ketika berjalan di kebun teh, susah untuk lupa kebun teh di gunung mas, susah 
juga untuk untuk segera lupa nasib Gak Hoei. Mengenang pahlawan yang cinta 
negara, kenapa banyak orang memilih mengkhianati negara? Banyak Cin-kwe lahir 
di negara mana saja.


salam,


harry alim


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke