Hoi. Sama bung.
 
Sungguh sulit untuk tidak tergoda menanggapi tulisan "Harry Alim" yang ini.
Saya akan berusaha merespon tulisan anda sehalus mungkin (jadi saya
ngga ada niat memulai sebuah flame email).
 
Secara pribadi, saya menganggap bahwa tulisan mang ucup itu adalah sebuah
"tambahan informasi" dan saya sedikit banyak setuju dengan bro ucup. Saya
menganggap tulisan bro ucup adalah sebuah "teguran" bagi saya untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti sebuah "cemeti/pecut rohani".
 
Saya kok tidak menemukan ada hal-hal yang bisa ditafsirkan sebagai
"penghakiman"
terhadap orang lain. Point2 yang anda tulis di email ini berlebihan
(overacting).
Atau mungkin anda adalah contoh orang yang percaya takhayul sehingga merasa
"kesenggol" dengan artikel bro Ucup itu? Hm...Hanya anda sendiri yang tahu.
 
Anda juga merujuk pada sebuah cerita didalam Injil Kristen yang menceritakan
bukti kasih Yesus terhadap setiap manusia, apapun profesinya. Tetapi, saya
memandang
bahwa contoh itu tidak relevan dalam hal ini dan saya malah percaya bahwa
contoh itu 
adalah "inappropriate". Mengapa demikian? Sebab didalam Injil, Tuhan dengan 
SANGAT JELAS menentang segala hal yang berbau takhayul dan MEMBENCINYA. 
Sayang sekali saya tidak bisa memberikan ayat-ayatnya karena nanti akan
dianggap 
melanggar etika di milis ini. Mengapa anda mengkonfrontasikan sebuah cerita 
yang indah didalam Injil dengan firman Tuhan sendiri?
 
Anda menulis "Seandainya saya seoarng katolik", berarti boleh saya tafsirkan
bahwa
anda bukan nasrani. Untuk itu, saya sarankan anda tidak menggunakan
cerita-cerita
didalam Injil (ataupun mengutipnya) secara sembarangan tanpa mengerti makna 
keseluruhan Injil tersebut.
 
Terima Kasih.
 
 
Just another my two cents...
 
======= 
 Sungguh sulit untuk tidak tergoda menanggapi tulisan Mang Ucup yang ini.

Mang Ucup menulis berangkat dengan premis bahwa takhyul sebagai sesuatu yang
irrasionil dan salah. Tentu saja sikap demikian adalah sikap yang
memojokkan, karena menganggap wilayah keyakinan sendiri sebagai yang benar.
Dan menganggap wilayah keyakinan orang lain yang tidak sama dengan keyakinan
dirinya adalah sesuatu yang salah. Sikap yang demikian inilah sebenarnya
yang melahirkan fundamentalisme. Sungguh sangat disayangkan untuk orang
sekaliber Mang Ucup.

Atau memang hanya demikian kaliber Mang Ucup. Tentu saja tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menyerang Mang Ucup pribadi, tetapi menyerang sikap Mang
Ucup yang demikian, tentu saja pilihan Mang Ucup yang demikian bukan sesuatu
yang salah, tetapi jika diuwarkan mengundang pengerasan pihak yang lain.

Susah untuk tidak teringat sikap orang saduki dan parisi yang menganggap
dirinya lebih bersih, lebih suci dari yang lain.
Salahkah mereka yang memilih untuk memiliki keyakinan yang lain itu? Kenapa
mereka harus dihakimi oleh seseorang.

Salahkah mereka yang memilih hari baik untuk pernikahan? Kenapa mereka harus
dianggap tidak rasional? Dan kalaupun itu benar irrasional kenapa yang
irrasional harus dianggap salah? Pertanyaan ini bisa disusun sepanjang
tulisan Mang Ucup.

Seandainya saya seoarng katolik, berhakkah saya menghakimi orang dengan
keyakinan lain? Seandainya saya seorang pendeta/pastor, berhakkah saya
menghakimi orang dengan keyakinan lain? Siapakah yang paling benar didunia
ini?

Tidak cukupkah contoh yang diberikan 'siapa yang merasa tidak mempunyai dosa
silahkan merajam yang pertama?' Tidak cukupkah contoh contoh yang diajarkan
dengan dasar kasih itu?

salam,

harry alim



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke