http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=307121 Minggu, 07 Okt 2007, Catatan Perjalanan Melihat Gedung Opera Baru di Beijing
Lobi Utama Bisa Tampung Arus 5.000 Penonton ke Tiga Hall Gedung opera ini tanpa atap dan tanpa dinding. DAHLAN ISKAN, yang tengah menjalani recovery setelah transplantasi liver, melakukan perjalanan darat dari Tianjin untuk memenuhi undangan pembukaan gedung heboh itu. Berikut catatannya: MENJELANG genap dua bulan setelah transplantasi liver, saya sudah bisa melakukan perjalanan antarkota, yakni ke Beijing. Sejak pembangunan gedung opera itu dihebohkan, saya memang punya impian suatu saat melihat seperti apa sih hebatnya gedung tersebut. Tapi, saya tidak menyangka kalau keinginan itu bisa terwujud secepat ini. Saya pikir, paling cepat baru pertengahan tahun depan. Yakni, setelah gedung opera itu selesai dibangun dan dibuka untuk umum. Tiba-tiba saja saya menerima undangan untuk menghadiri percobaan pemakaian gedung tersebut Minggu malam lalu. Maka, saya minta izin Robert Lai untuk memenuhi undangan itu. Saya tahu, Robert, teman baik saya yang amat disiplin menjaga saya dari kecerobohan sebelum dan sesudah transplantasi, akan berat mengizinkannya. Tapi, saya punya dua alasan tepat. Pertama, seminggu sebelumnya toh saya sudah selamat menonton sepak bola di Stadion Olimpiade Tianjin untuk menyaksikan semifinal Piala Dunia Sepak Bola Wanita. Meski malam itu udara dingin dan angin cukup kencang, saya baik-baik saja. Malah dia yang terbatuk-batuk. Kedua, saya baru saja mengajukan protes keras kepadanya. "Tiga bulan lalu saya tidak boleh keluar rumah sakit dengan alasan udara panas sekali. Bisa kena flu. Bulan berikutnya, ketika panas sudah reda, saya tidak boleh keluar dengan alasan lagi musim angin. Bulan lalu saya tidak boleh keluar dengan alasan perbedaan suhu terendah dan tertinggi besar sekali -yang membuat orang mudah kena flu. Bulan ini pun dilarang keluar karena banyak hujan. Bulan depan pun pasti tidak boleh keluar karena udara mulai amat dingin. Dan dua bulan lagi ada alasan lebih kuat: salju mulai turun. Setiap bulan kok ada saja alasannya. Lalu kapan saya boleh keluar?" kata saya kepadanya. Senjata itu ternyata ampuh. Saya tidak mengemukakan alasan bahwa saya memang punya keinginan kuat untuk melihat gedung opera itu. "OK, tapi saya akan berangkat dulu, menyiapkan di mana harus istirahat, di mana harus makan, dan di mana tempat duduk Anda. Saya akan minta Anda duduk di VIP agar tidak terlalu banyak orang," katanya. Hati saya pun plong. Maka Minggu pukul 15.00 saya berangkat hanya dengan sopir. Robert sudah di Beijing, naik KA. Saya sebenarnya pilih naik kereta saja. Jarak Tianjin-Beijing cukup ditempuh dengan 1 jam 9 menit dengan kereta nonstop yang tidak pakai suara glek-glek glek-glek itu. Tapi, Robert mengkhawatirkan di kereta akan terlalu banyak penumpang, terutama di musim libur-emas (libur 8 hari untuk perayaan kemerdekaan 1 Oktober) seperti ini. Dengan mobil, jarak itu juga bisa ditempuh satu jam lewat jalan tol, tapi untuk masuk ke tol dan setelah meninggalkan tol, masing-masing perlu satu jam. Sehingga saya harus tiga jam berkendaraan ke Beijing. Tiba di Beijing sudah pukul 06.00, sudah tidak banyak waktu untuk istirahat dan makan. Apalagi, Jalan Chang An Jie (tempat Tian An Men, Istana Kota Terlarang, musoleum Mao Zedong, gedung DPR dan kantor kepresidenan, serta gedung opera itu berada) amat macet. Padahal, jalan itu terdiri atas 14 jalur! Setelah menjemput Robert di Beijing Hotel (saya kaget bahwa kini namanya Raffles Beijing Hotel), kami langsung ke gedung opera. Hujan rintik-rintik, tapi karena undangannya VIP, kami bisa parkir di bawah tanah. Terlihatlah bahwa lokasi parkir ini juga belum sepenuhnya selesai. Masih banyak sisa pembangunan yang belum dibersihkan. Dari tempat parkir, kami naik lif ke lobi utama. Lobi ini amat besar sehingga bisa menampung arus penonton maksimal 5.000 orang. Di lobi ini juga ada pintu masuk ke hall-hall pertunjukan. Tapi, saya harus naik eskalator dulu ke lobi lantai 2. Pintu masuk saya di lobi atas ini. Sebagian penonton masih naik eskalator lagi ke lobi lantai 3, karena pintu masuk kan di atas sana. Plafon hall-hall itu memang amat tinggi sehingga tempat duduk penonton ada yang di lantai dasar, ada yang di balkon tengah, dan ada yang di balkon atas. Di dalam gedung ini, memang terdapat tiga hall. Hall tengah untuk opera dengan kapasitas tempat duduk 2.416 kursi. Hall kanan untuk pertunjukan teater dengan 1.040 kursi. Sedang hall kiri untuk konser musik klasik dengan 2.017 kursi. Masing-masing hall dikitari lobi yang bisa untuk pameran lukisan, patung, atau parade keliling. Gedung ini tidak punya atap dan dinding, karena atapnya ya dindingnya, dindingnya ya atapnya. Bentuk gedung nan kemilau ini memang seperti lampion. Bahannya terbuat dari tetanium dan kaca berwarna hijau muda. Bangunan ini dari jauh seperti muncul dari permukaan air karena di depannya terdapat kolam air yang amat luas. Maklum, lokasi gedung opera ini seluas 3,5 ha! Garis tengah bangunan 212 x 144 meter. Sebelum masuk hall teater, saya pergi ke hall opera itu dan minta izin untuk melongok ke dalamnya. Sekadar ingin tahu bagaimana mewahnya hall opera ini. Saya juga melongok ke hall konser musik klasik. Baru saya masuk ke hall teater melihat pementasan "Kedai Kopi". Pertunjukan tiga jam ini, dari segi kualitas memang masih kalah dengan teaternya Butet Kartarajasa atau teater Koma-nya Riantiarno. Tapi, setidaknya saya bisa melihat bahwa hall ini amat menggiurkan seniman. Mirip teater di Broadway New York, atau Eastbank London atau St Petersburg Rusia -tiga gedung teater yang pernah saya masuki. Malam itu juga kami kembali ke Tianjin. Hujan kian lebat. Meski tengah malam, tidak bisa melaju kencang. Pukul 01.00 dini hari baru tiba di rumah sakit. Tapi, saya lega. Setidaknya, bisa mengukur kemampuan liver baru saya. *** [Non-text portions of this message have been removed]