Beberapa belas tahun yang lalu, waktu pertama sekali menginjak ke Tiongkok, 
Beijing waktu itu, banyak hal terasa berbeda, dan khususnya tentang 
kelenteng, terasa benar perbedaan, kelenteng di Tiongkok dan di Indonesia.
Setelah mengamati kelenteng di Tiongkok utara, di selatan, timur, barat dan 
tengah, dan mencoba mendalami sejarah, baru kemudian terasa benang merahnya.

Tentu saja tulisan ini dibuat oleh seorang awam, bukan untuk diperdebatkan, 
tetapi mungkin pengamatannya bisa digunakan untuk menambah masukan. Tetapi 
tetap lah perlu juga di catat, bisa jadi pengamatan yang dituliskan disini 
tidak cukup banyak untuk mewakili pembentukan satu pendapat.

Sebenarnya yang disebut dengan kelenteng di tulisan ini, ada bermacam macam 
aslinya , ada yang di sebut miao, si, guan, ting dllsb. Tetapi untuk 
memudahkan semuanya di sebut kelenteng, karena yang di Indonesia (dalam 
bahasa Indonesia atau bahasa lokal populer) semuanya di sebut kelenteng. 
Walaupun sebenarnya dari sebutan aslinya sudah menunjukkan paling tidak 
sedikit perbedaan. Agar tidak larut dalam masalah perbedaan penyebutan nya, 
maka semua disebut kelenteng.

Jadi kelenteng dalam hal ini lebih merujuk kepada semua bangunan yang 
digunakan orang Tionghua untuk melakukan kegiatan keagamaan atau 
kepercayaannya diluar dari agama yang datang dari barat seperti kristen, 
katolik dan islam.

Di Beijing ada kelenteng Budha, ada kelenteng Tao, tetapi sedikit susah 
untuk mencari kelenteng Khong Hu Cu. Di Qu Fu, kota kelahiran Khong Hu Cu, 
di samping rumah Khong Hu Cu ada sebuah kelenteng yang dipersembahkan untuk 
menghormati Khong Hu Cu.

Di Tiongkok sebelah utara, baik di Hebei, Shanxi, Shaanxi, Gansu, XinJiang, 
LiaoNing, kebanyakan terdapat pemisahan yang jelas kelenteng Budha dan 
kelenteng Tao.  Mungkin hanya ada satu pengecualian yang teramati di 
Xuankongsi, kelenteng yang termasyhur karena tergantung di tebing di Hunyuan 
dekat Datong, Shanxi.

Situasi pemisahan yang jelas antara kelenteng Budha dan kelenteng tao juga 
masih terlihat dengan jelas sampai di Tiongkok tengah, seperti di Shanghai, 
Jiangsu, Jiangxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui dan Sichuan.
Juga di zhejiang, kecuali di Tiantaishan, yang dikatakan tempat lahir Zen, 
dimana ajaran Budha dan Tao bersinggungan, dalam banyak hal menyatu  dan 
membentuk zen.

Sebenarnya di luar kelenteng Tao dan dan kelenteng Budha, ada lagi kelenteng 
dengan obyek pemujaan leluhur. Kelenteng seperti ini mempunyai obyek 
pemujaaan dengan tokoh tokoh yang terkait dengan sejarah Tiongkok, seperti 
KwanKong, dan kebanyakan memang kelenteng ini mempunyai obyek pemujaan Kwan 
Kong. Tentu saja obyek pemujaan nya tidak hanya terbatas Kwan Kong saja, 
bisa juga leluhur satu kelompok atau satu she tertentu atau figur bersejarah 
yang mempunyai jasa tertentu. Atau bisa juga dengan obyek ritual tunggal 
seperti Kwan Im saja. Walaupun Kwan Im adalah obyek ritual Budha, tetapi 
agaknya menempati tempat khusus di kalangan orang Tionghua. Karena situasi 
yang banyak tertinggal justru kelenteng yang Kwan Kong ini.

Entah berapa banyak kelenteng yang dihancurkan pada waktu revolusi 
kebudayaan dulu. Ada yang mengatakan yang banyak hancur justru type 
kelenteng yang ketiga, kelenteng pemujaan leluhur itulah. Kelenteng pemujaan 
leluhur biasanya lebih kecil, populasinya lebih banyak dan tersebar di 
lingkungan perumahan penduduk.  Kalau kelenteng kelenteng yang lebih besar 
masih terselamatkan sampai sekarang, kelenteng kelenteng pemujaan leluhur 
yang kecil kecil ini sudah hilang tanpa bekas. Apa lagi dengan derap 
pembangunan yang sangat cepat seperti di alami beberapa tahun terakhir. Yang 
tersisa adalah apartemen2 dan bangunan gedung berlantai banyak seperti di 
kota besar di Amerika sana, atau kota besar dunia lainnya.

Di Hokkian (Fujian) khususnya, yang teramati di Quanzhou barulah ada 
kelenteng dengan setting seperti kelenteng di Indonesia, dengan obyek 
ritual, baik dari Budha, Tao maupun leluhur. Di Fujian relatif masih banyak 
kelenteng pemujaan leluhur terutama yang berkaitan dengan she tertentu. 
Agaknya (mungkin) karena banyak orang Tionghua perantauan yang berasal dari 
daerah Hokkian turut menyelamatkan banyak kelenteng itu dari revolusi 
kebudayaan dulu

Keadaan kelenteng di Tiongkok yang demikian agaknya sejalan dengan sejarah 
itu sendiri. Agama Budha memasuki Tiongkok pada abad ke 3 atau 4, dimulai 
dengan jelas pada saat dinasti Wei utara, yang ibukotanya berada di Datong, 
Shanxi sekarang. Dari Utara merembes ke selatan. Bahkan pada saat Kwan Kong 
hidup (pada jaman Sam Kok) Budha belum masuk dan belum menjadi agama 
kebanyakan rakyat Tiongkok waktu itu.

Pada waktu Khong Hu Cu lahir kurang lebih abad 6 sebelum masehi, Khong Hu Cu 
tidak lahir di masyarakat yang belum bertatanan atau belum mempunyai ritual. 
Walaupun pada saat itu (periode ini) kemudian disebut Warring States (Spring 
and Autumn, CunCiu), masyarakat sudah mempunyai tatanan yang rapi dan ritual 
yang sudah dijalankan, bahkan beberapa ratus tahun sebelumnya. Lo Cu 
(Laotze) pun diduga lahir di sekitar abad abad ini juga. Baik Khong Hu Cu 
maupun Lo Tju (Laotze) lahir pada masyarakat seperti ini yang sudah 
mempunyai tatanan dan kehidupan ritual.

Ada yang mengatakan bahwa Khong Hu Cu dapat menangkap esensi tatanan 
masyarakat Tionghua waktu itu, memuliakan dan kemudian mengkodifikasikan 
menjadi ajarannya yang termashur. Sedang Lo Cu dikatakan menangkap esensi 
kejiwaan masyarakat Tionghua waktu itu, merenungkan dan menuangkan menjadi 
konsep Tao dan menuliskannya menjadi Tao Te King. Pendapat ini lebih untuk 
menunjukkan bahwa baik Khong Hu Cu maupun Lo Cu, tidak menciptakan ajarannya 
dari nol atau scratched sama sekali, tetapi memang itu adalah esensi dari 
apa yang sudah berkembang di masyarakat.

Popularitas ajaran Khong Hu Cu maupun Lo Cu seakan silih berganti, terutama 
setelah kemudian mulai masuk ke sistim pemerintahan, dimulai dengan 
penerapan banyak prinsip Khong Hu Cu di dinasti Han. Banyak juga yang 
kemudian mengatakan bahwa karena baik Khong Hu Cu maupun Lo Cu mengambil 
esensi ajarannya dari masyrakat Tionghua sendiri, dengan ajaran mereka 
adalah apa yang kemudian 'embedded' (tertanam) di 'way of life' (gaya hidup) 
masyarakat Tionghua itu sendiri

Persinggungan dengan agama lain (masuknya agama Budha) akhirnya juga membawa 
perkembangan yang lain. Agaknya perkembangan ajaran Khong Hu Cu, Lo Cu 
maupun Budha bisa jadi mempunyai kadar yang berbeda dari satu tempat ke 
tempat yang lain. Belum lagi di tambah dengan popularitas satu ajaran dari 
masa ke masa juga berubah.

Ketika tiba di Indonesia, kelenteng dibawa oleh masyarakat Tionghua dan 
terbentuk tidak dalam satu generasi saja. Sehingga kelenteng di Indonesia 
atau di Asia Tenggara lainnya agaknya merupakan bentukan dari masyarakat 
yang walaupun sama sama Tionghua, bisa jadi cukup heterogen juga. Katakan 
misalnya kelenteng X di satu tempat, karena umurnya misalnya sudah lebih 700 
tahun, masyarakat Tionghua pendukungnya bisa jadi sedikit berbeda pada saat 
didirikan dan setelah 200 tahun kemudian misalnya dan juga dengan masyarakat 
yang sekarang. Mungkin karena inilah kelenteng kelenteng di Indonesia justru 
tidak menampakkan perbedaan obyek ritual separti yang jelas kelihatan di 
kelenteng Tiongkok.


Salam,

Harry Alim




Kirim email ke