Apa sih yang dicintai negara ini selain korupsinya?, jadi tidak 
heran, untuk mendapatkan penghasilan sampingan, segala cara dipakai, 
SKBRI hanyalah satu diantara ribuan cara. Kuncinya ada ditangan 
pemerintah sendiri yang tidak tegas, keras dan kejam dalam 
menerapkan hukum

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Rupanya dalam praktek kehidupan nyata, masalah SBKRI tetap saja 
menghantui komunitas Tionghoa di Indonesia. Dalam kenyataan belum 
juga bisa berakhir, sekalipun secara HUKUM hak dan kewajiban 
Tionghoa sebagai warganegara Indonesia sudah diperlakukan sama. 
Mengapa? 
> 
> Saya sependapat dengan pengalaman bung Surya di Magelang. Masih 
adanya pejabat yang brengsek! Yang masih saja berusaha menggunakan 
SBKRI untuk mempersulit Tionghoa dalam pengurusan segala macam surat 
dan usaha, ... ujung-ujungnya menhendaki uang pelincir sebagai 
tambahan penghasilan yang memadai. 
> 
> Sungguh, pejabat-pejabat Pemerintah yang seharusnya pengabdi 
rakyat, selama ini banyak yang telah berubah menjadi pemeras rakyat, 
telah terbiasa menggunakan kekuasaan dan haknya berbuat sewenang-
wenang memperkaya diri dengan mempersulit rakyat banyak dengan tidak 
mempedulikan kehidupan mereka pekerja yang juga sudah kempas-kempis. 
Sangat tidak manusiawi. Betapa tidak, apa yang dilakukan pejabat-
pejabat itu ternyata tidak hanya pada pengusaha berduit, tapi 
sungguh tidak tanggung-tanggung, TKW (Tenaga Kerja Wanita) pahlawan 
devisa negeri ini, yang telah bekerja keras jauh dirantau dengan 
mengorbankan berpisah keluarga dikampung, juga menjadi sasaran 
pejabat-pejabat demikian ini untuk diperas habis-habisan ketika 
mereka pulang kampung. 
> 
> Nah, inilah tantangan berat Pemerintah yang berkuasa untuk 
membenahi aparat birokrasi, agar benar-benar menjadi aparat yang 
bersih, berfungsi baik dan benar-benar menjadi pengabdi rakyat, 
menjadi aparat yang berkemampuan membawa maju sejahtera seluruh 
warga lebih cepat lagi. Bukan tetap mempertahankan kebusukan moral 
pejabat-pejabat yang tidak manusiawi, yang hanya berusaha 
menggendutkan perut sendiri saja tanpa mempedulikan kesejahteraan 
rakyat banyak.
> 
> Salam,
> ChanCT
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: surya lesmana 
>   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
>   Sent: Tuesday, February 26, 2008 6:58 PM
>   Subject: Re: [budaya_tionghua] Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi
> 
> 
>   Semoga bukan hanya disemarang saja ! 
>     pengalaman saya,SBKRI tetap diminta oleh petugas yang 
dibawah ! katanya " itukan kata pemerintah pusat,dimagelang belum 
terima aturan tersebut ! " nah,siapa yang salah ?
>     Bagaimana warga suku Tionghoa bisa ikut membela negara kalau 
dipersulit begitu ! kalau sudah begitu dibilang tidak nasionalis ! 
yang tidak nasionalis tuh ya petugas2 brengsek itu ! (karena tidak 
punya SBKRI sebagai bukti bahwa mereka warga negara Indonesia) bukan 
cuma tidak nasionalis,mereka juga tidak beragama,tidak manusiawi 
(mungkin mereka bukan manusia ya ?)
> 
>   HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>             Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi
> 
>   Semarang, CyberNews. Kisah yang dituturkan ''pasangan emas'' 
Indonesia, Alan Budikusuma-Susi Susanti, membuat Megawati 
Soekarnoputri--ketika itu Presiden RI--terhenyak. Bayangkan, 
pebulutangkis yang mengharumkan nama Indonesia pada Olimpiade 
Barcelona 1992 itu, harus melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan 
Republik Indonesia (SBKRI), ketika mengurus paspor. 
> 
>   Ketika itu, Keharusan melampirkan SBKRI itu, sama artinya dengan 
meragukan keindonesiaan Alan-Susi, yang sudah tak terbilang kali 
mengharumkan nama Indonesia di ajang berskala internasional. Yang 
lebih mengenaskan, ketika dimintai SBKRI itu, mereka tengah mengurus 
paspor untuk berangkat ke Olimpiade Atlanta, Juli 2004. Mereka 
diundang International Olympic Committee (IOC) sebagai pembawa obor 
Olimpiade.
> 
>   Tanpa ba-bi-bu, ketika itu Megawati pun memberikan penegasan, 
SBKRI tidak perlu dijadikan kewajiban dalam pengurusan dokumen apa 
pun. Untuk itu, masyarakat serta aparat pemerintahan tidak membeda-
bedakan antara warga pribumi dan non pribumi. 
> 
>   "Dengan KTP saja, itu sudah bisa menjadi semacam bukti seseorang 
jadi WNI sehingga SBKRI bukan merupakan kewajiban. Oleh karena itu, 
para menteri dan Dirjen Imigrasi diminta untuk mensosialisasikannya 
agar tidak terjadi lagi permasalahan serupa di kemudian hari," kata 
Megawati, ketika itu.
> 
>   Presiden boleh berkata begitu, tapi di lapangan kenyataan 
berbicara lain. Hingga dua tahun terakhir, acapkali WNI suku 
Tionghoa, atau lebih populer dengan sebutan warga keturunan, 
memperoleh perlakuan diskriminatif dalam soal pengurusan dokumen 
kependudukan atau kewarganegaraan. 
> 
>   Mereka selalu diminta melampirkan SBKRI, ketika mengurus paspor 
atau surat-surat lainnya. Satu hal yang tidak diminta, ketika WNI 
dari suku lain mengurus dokumen yang sama. Padahal, bagi seorang 
Tionghoa, mengurus SBKRI bukan perkara gampang.
> 
>   Tak Lagi Sulit
> 
>   Anggota DPRD Kota Semarang Kristanto membenarkan, beberapa tahun 
lalu, kesulitan pengurusan dokumen bagi warga Tionghoa memang 
terjadi. Tapi, dia menjamin, untuk sekarang dan pada masa-masa yang 
akan datang, kesulitan semacam itu tidak akan ada lagi.
> 
>   ''Paling tidak, untuk Kota Semarang. Saya sudah mengecek ke 
Kantor Imigrasi serta Dispenduk dan Capil, tidak ada lagi kewajiban 
untuk melampirkan SBKRI,'' kata anggota Dewan dari Fraksi Partai 
Golkar tersebut.
> 
>   Penerbitan UU No 12 Tahun 2006 tetang Kewarganegaran dan UU No 
23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, kata dia, merupakan 
pintu terbuka bagi hilangnya diskriminasi bagi warga Tionghoa. Dalam 
UU Kewarganegaraan diatur, hanya ada dua pembedaan, Warga Negara 
Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA).
> 
>   ''Siapa pun yang lahir di Indonesia, dan beribu bapak WNI, 
secara otomatis menjadi WNI. Tak peduli keturunan suku mana pun,'' 
kata Kristanto. 
> 
>   Hanya saja, dia meminta, warga Tionghoa memahami, proses untuk 
itu tidak semudah membalik tangan. Sesudah UU Kependudukan dan UU 
Adminduk terbit, disusul PP No 37 Tahun 2007 Kependudukan, perlu 
peraturan daerah (Perda) di tingkat Kota sebagai aturan 
pelaksanaannya.
> 
>   ''Saat ini DPRD tengah menyiapkan raperda adminduk, yang sudah 
masuk pada pembahasan di tingkat Pansus,'' imbuhnya.
> 
>   Terpisah, Ketua Pansus Raperda Adminduk Fris Dwi Yulianto 
membenarkan, pihaknya tengah membahas raperda adminduk, yang 
direncanakan bisa diparipurnakan 5 Maret mendatang. Semangat dalam 
raperda itu, antara lain, menghilangkan diskriminasi perlakuan bagi 
warga negara. 
> 
>   ''Termasuk di dalamnya, tak ada lagi perbedaan perlakuan pada 
WNI, baik keturunan Jawa, Arab, Tionghoa, maupun etnis lain,'' 
tandasnya. 
> 
>   (Achiar M Permana, Fani Ayudea /CN09)
> 
>   [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
>                            
> 
>          
>   ---------------------------------
>   Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! 
Mobile.  Try it now.
> 
>   [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
>   .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
> 
>   .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.
> 
>   .: Pertanyaan? Ajukan di 
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
> 
>   .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua 
http://iccsg.wordpress.com :.
> 
>    
>   Yahoo! Groups Links
> 
> 
> 
> 
> 
>   -- 
>   No virus found in this incoming message.
>   Checked by AVG Free Edition. 
>   Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.21.0/1296 - Release Date: 
2008/2/24 ¤U¤È 12:19
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Reply via email to