Hantu SBKRI Telah Jauh Pergi

Semarang, CyberNews. Kisah yang dituturkan ''pasangan emas'' Indonesia, Alan 
Budikusuma-Susi Susanti, membuat Megawati Soekarnoputri--ketika itu Presiden 
RI--terhenyak. Bayangkan, pebulutangkis yang mengharumkan nama Indonesia pada 
Olimpiade Barcelona 1992 itu, harus melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan 
Republik Indonesia (SBKRI), ketika mengurus paspor. 

Ketika itu, Keharusan melampirkan SBKRI itu, sama artinya dengan meragukan 
keindonesiaan Alan-Susi, yang sudah tak terbilang kali mengharumkan nama 
Indonesia di ajang berskala internasional. Yang lebih mengenaskan, ketika 
dimintai SBKRI itu, mereka tengah mengurus paspor untuk berangkat ke Olimpiade 
Atlanta, Juli 2004. Mereka diundang International Olympic Committee (IOC) 
sebagai pembawa obor Olimpiade.

Tanpa ba-bi-bu, ketika itu Megawati pun memberikan penegasan, SBKRI tidak perlu 
dijadikan kewajiban dalam pengurusan dokumen apa pun. Untuk itu, masyarakat 
serta aparat pemerintahan tidak membeda-bedakan antara warga pribumi dan non 
pribumi. 

"Dengan KTP saja, itu sudah bisa menjadi semacam bukti seseorang jadi WNI 
sehingga SBKRI bukan merupakan kewajiban. Oleh karena itu, para menteri dan 
Dirjen Imigrasi diminta untuk mensosialisasikannya agar tidak terjadi lagi 
permasalahan serupa di kemudian hari," kata Megawati, ketika itu.

Presiden boleh berkata begitu, tapi di lapangan kenyataan berbicara lain. 
Hingga dua tahun terakhir, acapkali WNI suku Tionghoa, atau lebih populer 
dengan sebutan warga keturunan, memperoleh perlakuan diskriminatif dalam soal 
pengurusan dokumen kependudukan atau kewarganegaraan. 

Mereka selalu diminta melampirkan SBKRI, ketika mengurus paspor atau 
surat-surat lainnya. Satu hal yang tidak diminta, ketika WNI dari suku lain 
mengurus dokumen yang sama. Padahal, bagi seorang Tionghoa, mengurus SBKRI 
bukan perkara gampang.

Tak Lagi Sulit

Anggota DPRD Kota Semarang Kristanto membenarkan, beberapa tahun lalu, 
kesulitan pengurusan dokumen bagi warga Tionghoa memang terjadi. Tapi, dia 
menjamin, untuk sekarang dan pada masa-masa yang akan datang, kesulitan semacam 
itu tidak akan ada lagi.

''Paling tidak, untuk Kota Semarang. Saya sudah mengecek ke Kantor Imigrasi 
serta Dispenduk dan Capil, tidak ada lagi kewajiban untuk melampirkan SBKRI,'' 
kata anggota Dewan dari Fraksi Partai Golkar tersebut.

Penerbitan UU No 12 Tahun 2006 tetang Kewarganegaran dan UU No 23 tahun 2006 
tentang Administrasi Kependudukan, kata dia, merupakan pintu terbuka bagi 
hilangnya diskriminasi bagi warga Tionghoa. Dalam UU Kewarganegaraan diatur, 
hanya ada dua pembedaan, Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing 
(WNA).

''Siapa pun yang lahir di Indonesia, dan beribu bapak WNI, secara otomatis 
menjadi WNI. Tak peduli keturunan suku mana pun,'' kata Kristanto. 

Hanya saja, dia meminta, warga Tionghoa memahami, proses untuk itu tidak 
semudah membalik tangan. Sesudah UU Kependudukan dan UU Adminduk terbit, 
disusul PP No 37 Tahun 2007 Kependudukan, perlu peraturan daerah (Perda) di 
tingkat Kota sebagai aturan pelaksanaannya.

''Saat ini DPRD tengah menyiapkan raperda adminduk, yang sudah masuk pada 
pembahasan di tingkat Pansus,'' imbuhnya.

Terpisah, Ketua Pansus Raperda Adminduk Fris Dwi Yulianto membenarkan, pihaknya 
tengah membahas raperda adminduk, yang direncanakan bisa diparipurnakan 5 Maret 
mendatang. Semangat dalam raperda itu, antara lain, menghilangkan diskriminasi 
perlakuan bagi warga negara. 

''Termasuk di dalamnya, tak ada lagi perbedaan perlakuan pada WNI, baik 
keturunan Jawa, Arab, Tionghoa, maupun etnis lain,'' tandasnya. 

(Achiar M Permana, Fani Ayudea /CN09)


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to