Pa Danardono yth,

Ha ha ha, pa Danardono dapat dari mana? Itu kan makalah yang pernah 
saya bawakan dalam Festival Pecinan II (CMIIW) di FIB Universitas 
Indonesia. Tahunnya saya lupa, belum saya cek.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mas David yang baik, dalam thema akulturisasi berwujud Kebaya 
Encim 
> ini, saya temukan sebuah tulisan mengenai munculnya bentuk 
budaya " 
> Tionghoa-Betawi" atau "Betawi-Tionghoa". Mohon maaf, kalau tulisan 
> ini pernah digelar di milis ini. Selamat membaca.
> 
> Salam
> 
> Danardono
> 
> -------------
> 
> 
> Pengaruh Budaya Tionghoa dalam Budaya Betawi 
> 
> 
> Orang Tionghoa sudah lama sekali berada di Jakarta. Pada waktu 
> Belanda pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jayakarta di sana 
> sudah ada pemukiman Tionghoa di muara sungai Ciliwung. Ini 
> menunjukkan bahwa hubungan yang sangat baik antara etnik yang di 
> kemudian hari dikenal sebagai etnik Betawi dengan etnik Tionghoa 
> sudah berlangsung sangat lama, jauh sebelum datangnya bangsa-
bangsa 
> Barat ke Nusantara. 
> 
> Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari 
> propinsi Hokkian bagian selatan (Ban-lam). Yang dimaksud dengan 
> Hokkian selatan ialah wilayah sekitar Ciangciu (Zhangzhou), Emui 
> (Xiamen) dan Coanciu (Quanzhou) 
> 
> Maka dari itu secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam 
> budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan, bukan dari bagian 
lain 
> negeri Cina. Bahwasanya budaya Hokkian selatanlah yang sangat 
besar 
> pengaruhnya tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang 
sampai 
> sekarang masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian 
> telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.
> 
> Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di 
> Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, 
seperti 
> dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, 
> Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat-
> istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri juga 
seperti 
> orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama 
dengan 
> Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tida 
> bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga 
> belajar silat dari orang Tionghoa. Orang Betawi tida punya rasa 
takut 
> (alias pede?) disebabkan pengaruh orang Tionghoa.
> 
> Kalau di wilayah budaya Jawa, misalnya, etnik Tionghoa peranakan 
> sangat dipengaruhi budaya Jawa sehingga sejak dahulu tida sedikit 
di 
> antara mereka yang boleh dibilang pakar dalam kebudayaan Jawa: 
> gamelan Jawa, tari Jawa, wayang wong, dan lain-lain, maka menurut 
> pengamatan saya di Jakarta ini interaksi budaya—dalam arti saling 
> mempengaruhi—antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak 
> etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya 
> Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya 
> Tionghoa. Begitu dekatnya hubungan budaya antara kedua etnik ini, 
> sehingga seorang sobat saya dari etnik Betawi berseloroh, "Betawi 
ame 
> Cine ubungannye kaye gigi ame bibir aje."
> 
> Di bawah ini ada banyak istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa. 
> Istilah-istilah dalam dialek Hokkian selatan itu saya letakkan di 
> dalam kurung dan ditulis sesuai lafal aslinya menurut kamus.
> 
> Bahasa Betawi adalah bahasa yang sangat terbuka. Dalam bahasa 
Betawi 
> sangat banyak kita temukan kata-kata pinjaman (loanwords) dari 
bahasa 
> Tionghoa, utamanya dialek Hokkian selatan (Ban-lam gi). Kata-kata 
> dalam bahasa Betawi yang berasal dari dialek Hokkian selatan 
antara 
> lain adalah: kata ganti diri gua (goa) 'saya', dan lu (lu) 'kamu', 
> kata bilangan sederhana: gotun (gou-tun), ' lima perak (rupiah)', 
> captun (cap-tun) 'sepuluh rupiah', cepeh (cit-peh), 'seratus', 
gopeh 
> (gou-peh) 'lima ratus', ceceng (cit-cheng), 'seribu (rupiah),' 
goceng 
> (gou-cheng), lima ribu', ceban (cit-ban) 'sepuluh ribu', cetiau 
(cit-
> tiau) 'sejuta', liangsim (liang-sim), 'hati nurani' atau 'isi 
perut', 
> cabo (ca-bou) 'wanita pekerja seks', sue (soe), 'sial atau naas', 
> sue'an 'sialan', dan masih banyak lagi.
> 
> Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa langkan 
(lan-
> kan) 'balustrade'. Agar tampak indah dan tida kusam, pintu dan 
> jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun. Di dinding 
tergantung 
> loceng atau lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng 
(pang-
> keng) 'kamar tidur'. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko 
(kong-
> kou) 'mengobrol' terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan 
> kuaci (koa-ci). Ta'pang (tah-pang) 'balai-balai' atau 'dipan' 
dipakai 
> untuk rebah-rebahan sambil bersantai. 
> 
> Untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo 
(hang-
> lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo' 
(toh-
> pou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo-cheng) 'bulu 
ayam' 
> untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' 
> tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah 
disapu 
> ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka 
memakai 
> bakiak (bak-kiah) yang tahan air. 
> 
> Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah 
> bekend en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa 
atau 
> tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati 
sembari 
> minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), 
> tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu-
hi), 
> ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi 
dengan 
> culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku-
> koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas 
Betawi. 
> Selain Semarang, ternyata Jakarta juga punya penganan yang namanya 
> lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba 
makan 
> ngohiang (ngou-hiang) alias gohiong? Lantas siapa yang tida kenal 
> ikan cuwe (choe) dan nasi tim (tim)?
> 
> Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi 
Betawi. 
> Petasan (mercon, kata orang Jawa) salah satu contohnya. Di 
beberapa 
> daerah, suatu pernikahan gaya Betawi takkan lengkap kiranya tanpa 
> bunyi petasan renceng yang memekakkan telinga saat menyambut 
> penganten laki-laki.
> 
> Dalam rombongan ngarak penganten di unit kedua ada barisan remaja 
> pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat 
> panjang yang disebut toya. 
> 
> Pengaruh lain ialah dalam pakaian penganten perempuan Betawi yang 
> disebut putri Cina. Pada Festival Pecinan I di tahun lalu telah 
kita 
> lihat peragaan upacara perkawinan tradisi Tionghoa peranakan di 
> Tangerang. Bisa kita amati persamaan dan perbedaan antara pakaian 
> penganten perempuan Tionghoa dengan pakaian penganten Betawi yang 
> tentu sudah sering diperagakan. Pakaian penganten perempuan Betawi 
> yang disebut Putri Cina pada dasarnya sama saja dengan pakaian 
> penganten perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Baju penganten 
Putri 
> Cina itu terdiri dari: serangkaian Kembang Goyang dengan Burung 
Hong 
> serta penutup wajah penganten perempuan yang disebut Siangko (pat-
> sian khou), baju penganten berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan 
di 
> kanan, yang disebut baju Toaki (toa-ki), dan bawahan berupa rok 
lipit 
> yang disebut Kun (kun). Di bagian bahu dan dadanya penganten 
> perempuan memakai aksesori yang disebut Terate (in-kian). Seperti 
apa 
> pakaian penganten perempuan Tionghoa peranakan ini dapat dilihat 
> melalui foto sampul KSK edisi perdana Juni 2002 lalu.
> 
> Sama seperti orang Tionghoa, orang Betawi pun kalau kondangan 
lazim 
> memberikan angpau atau ampau, selain barang-barang lain, kepada 
tuan 
> atau nyonya rumah. Ampau (ang-pau) ialah bingkisan uang yang 
> dimasukkan ke dalam amplop khusus bergaris merah. 
> 
> Dalam pertemuan-pertemuan kaum Betawi, para lelaki biasanya 
> mengenakan baju tikim (tui-khim)—ada yang menyebutnya baju koko 
dan 
> sadariah—dengan padanan celana batik dan selendang yang 
dikalungkan 
> di dada. Celana pangsi (phang-si) berwarna hitam kebanyakan 
dipakai 
> oleh jago-jago/jawara-jawara. Ibu-ibu sering menggendong anak yang 
> masih kecil dengan cukin (chiu-kin). Untuk ikat pinggang dipakai 
> angkin (ang-kin). Anak-anak kecil doeloe suka mengenakan oto (io-
tou) 
> supaya tida mudah masuk angin.
> 
> Kalau kondangan banyak kaum perempuan yang memakai Kebaya Encim. 
> Kebaya ini merupakan pengaruh tida langsung orang Tionghoa 
peranakan 
> terhadap orang Betawi. Walau kebaya ini asalnya dari orang Indo, 
tapi 
> kemudian dimodifikasi dan diadaptasi oleh kaum perempuan Tionghoa 
> peranakan. Jika kebaya Indo hanya berwarna putih, maka kebaya 
> perempuan Tionghoa peranakan kemudian tida lagi berwarna putih, 
dan 
> lalu diberi sulaman (bordir) benang berwarna-warni. Bermacam motif 
> dekoratif disulamkan di sini. Mulai dari aneka flora, kupu-kupu, 
dan 
> burung bahkan sampai ke . . . raket tenis! Ujung kebaya yang pada 
> kebaya Indo rata dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday 
> inilah yang lantas menjadi ciri khas Kebaya Nyonya peranakan. 
Kebaya 
> yang kini disebut Kebaya Encim ini selanjutnya diadaptasi oleh 
kaum 
> perempuan Betawi.
> 
> Dalam bidang seni musik kontribusi orang Tionghoa, dalam hal ini 
> orang Tionghoa peranakan, yang tida kalah penting adalah musik 
khas 
> Jakarta yang disebut gambang kromong. Jenis musik ini memang musik 
> pembauran alias campuran, seperti dikatakan sendiri oleh Kwee Kek 
> Beng, seorang wartawan senior, ''Maoe dikata Tionghoa terlaloe 
> Indonesia, maoe dikata Indonesia terlaloe Tionghoa." 
> 
> Gambang kromong pada mulanya membawakan lagu-lagu instrumentalia 
dari 
> daerah Hokkian selatan (lagu pobin) dengan iringan gambang, 
kromong, 
> ningning, kecrek, kendang, goong, suling, dan beberapa instrumen 
> gesek Tionghoa. Instrumen gesek itu terdiri dari: sukong (su-kong) 
> yang besar dan bernada rendah, tehyan (the-hian) yang sedang, dan 
> kongahyan (kong-a-hian) yang paling kecil dan bernada tinggi. 
> 
> Lagu pobin merupakan lagu terawal gambang kromong, biasanya 
dimainkan 
> sebagai pembukaan suatu pertunjukan musik gambang kromong. 
Judulnya 
> masih dalam dialek Hokkian selatan. Judul lagu pobin yang masih 
dapat 
> sering diperdengarkan antara lain: Khong Ji Liok ('Kosong Dua 
Enam') 
> dan Peh Pan Thau ('Delapan Ketukan'). Laras (surupan) gambang 
kromong 
> adalah laras salendro yang juga khas Tionghoa, disebut Salendro 
Cina. 
> Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa 
> peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya. 
> 
> Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi 
> lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak 
wayang' 
> (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chioun-khek yang 
> artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil 
> menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk 
menari 
> bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder. 
> 
> Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong 
(ng-
> kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). 
Dari 
> ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas 
dipinjam 
> dari istilah kekerabatan Hokkian selatan. 
> 
> Demikianlah bahasan singkat saya tentang berbagai pengaruh budaya 
> Tionghoa dalam budaya Betawi yang berhasil saya telusuri. Pengaruh 
> yang sebenarnya juga berlaku timbal balik antara kedua etnik 
> tersebut. Pengaruh yang mencerminkan kebhinnekaan yang 
sesungguhnya 
> dalam budaya bangsa kita ini.
> 
> ---------------------------
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "david_kwa2003" 
> <david_kwa2003@> wrote:
> >
> > Pa Danardono yth,
> > 
> > Memang di Malaysia dan Singapura budaya Peranakan sudah sangat 
> > dikenal, perhatian pemerintah juga cukup besar, berbeda dengan 
di 
> > kita. Maka tak heran apabila kita bisa menemukan mulai Museum 
> Pusaka 
> > Baba-Nyonya di Malaka dan Museum Peradaban Asia di Singapura, 
> sampai 
> > rumah makan yang menyajikan kuliner Peranakan. Tentu pak 
Danardono 
> > bisa melihat sendiri, betapa di sana bangunan-bangunan tua 
> > peninggalan masa lalu dipelihara bagi generasi mendatang, bukan 
> > dihancurkan atas nama kepentingan bisnis, untuk dibangun 
apartemen 
> > di atasnya, seperti kasus Gedung Candra Naya (Sin Ming Hui) di 
> Jalan 
> > Gajah Mada 188!
> > 
> > Melalui museum kita bisa melihat dan mempelajari berbagai hasil 
> > budaya Peranakan. Kebaya Nyonya, yang di Indonesia diberi nama 
> > Kebaya Encim, salah satunya. Pada 2002 Almh. Datin Sri Endoon 
> > Mahmood sempat menulis "The Nyonya Kebaya: A Century od Straits 
> > Chinese Costume" yang cukup keren disain maupun cetakannya. Buku 
> > setebal 176 halaman yang ditulis isteri Perdana Menteri Malaysia 
> > Ahmad Badawi itu menunjukkan betapa besarnya pengakuan dan 
> perhatian 
> > pemerintah terhadap kostum kaum Peranakan di sana, yang nota 
bene 
> > berasal dari Jawa.
> > 
> > Saya sungguh menyayangkan, hasil budaya kaum Peranakan Indonesia 
> > masih kurang dikenal¯apalagi disayang¯di negeri sendiri. 
Padahal, 
> > apa yang secara umum disebut Tionghoa/Cina, pada hakekatnya 
adalah 
> > Peranakan, artinya tidak murni Tionghoa atau hanya dibuat di 
> > Indonesia, dari bahan baku lokal dan untuk konsumsi kaum 
Peranakan, 
> > yang berbeda selera setiap daerah. Contohnya, mebel (ranjang 
> > pengantin, lemari, meja sembahyang) Tionghoa. Ranjang pengantin 
> yang 
> > bertiang delapan (ranjang Banji) berikut lemari dan mejanya ala 
> > Peranakan Jakarta-Jawa Barat berbeda model dengan yang dari Jawa 
> > Tengah dan Jawa Timur.
> > 
> > Akibat kurang dikenalnya budaya Peranakan, sepengamatan saya, 
> > ternyata sudah banyak artefak kaum Peranakan di Jawa yang 
> > telah "lari" ke luar negeri, di antaranya batik Nyonya. 
> > Sebagaimana kita ketahui banyak dari batik Nyonya yang terhalus, 
> > yang pernah dihasilkan produsen batik Tionghoa Peranakan di 
> Cirebon, 
> > Pekalongan, Kudus, Lasem dan Tuban, tetap yang dipakai para 
Nyonya 
> > di kota-kota di Jawa. Batik-batik tersebut kini sangat disukai 
para 
> > kolektor di kedua negara jiran tersebut. Batik Nyonya terbukti 
> telah 
> > memperkaya khazanah perbatikan di Nusantara, khususnya Jawa.
> > 
> > Selain itu, saya juga melihat sebuah "kembang goyang" pengantin 
> > Peranakan yang dipamerkan di Museum Peradaban Asia di Jalan 
Armenia 
> > ternyata berasal dari wilayah Jabodetabek¯yang kurang-lebih 
> > mirip "kembang goyang" pengantin Betawi¯namun pada keterangan di 
> > bawahnya dikatakan berasal dari Palembang!
> > 
> > Kawasan Bukit Cina sebagai Pemakaman Tionghoa terbesar di luar 
> > Tiongkok tampaknya sangat menariik dikunjungi. Bahkan katanya di 
> > sana ada Sumur dan Bio Sam Po segala! 
> > 
> > Saya sering bertanya kepada diri sendiri, kapan ya di Indonesia 
ada 
> > rasa peduli terhadap budaya Peranakan dengan segala 
kontribusinya 
> > bagi budaya bangsa, dan tidak lagi terjadi penghancuran atas 
nama 
> > kepentingan bisnis.
> > 
> > Kiongchiu,
> > DK
> > 
> > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO" 
> > <rm_danardono@> wrote:
> > >
> > > Hallo suhu!
> > > 
> > > Menarik sekali. Saya kenal Lontong Capgomeh pertama kali di 
> sebuah 
> > > rumahmakan sekaligus museum Baba-Nonya di Malakka. Di sana 
> > dinamakan 
> > > budaya Baba-Nonya, bukan Baba-Nyonya. Mungkin mereka 
> campuradukkan 
> > > dari Dona (nona) dan Donha (nyonya).
> > > 
> > > Museum itu menarik sekali, karena menunjukkan percampuran 
budaya 
> > > Belanda, Portugis, Tionghoa dan Melayu.
> > > 
> > > Di kota Malakka ada kelompok yang merupakan keturunan 
Portugis, 
> > > mereka menggunakan dialek campuran Portugus-Melayu, bernama 
> > CRISTAO. 
> > > Orang Portugis sendiri di Portugal tak memahaminya satu 
katapun.
> > > 
> > > Di kota ini ada makam Tionghoa terbesar di luar Tiongkok, 
Bukit 
> > Cina. 
> > > Komplex makam ini sangat mengesankan. Terletak diatas bukit 
yang 
> > > cukup tinggi.
> > > 
> > > ----------------------------------------
> > > SEJARAH:Bukit China
> > > 
> > > 
> > > Bukit Cina merupakan bukit yang mana dikatakan adalah 
penempatan 
> > Cina 
> > > yang terawal di Melaka. Ia seluas 26 hektar, dan merupakan 
kubur 
> > Cina 
> > > yang terbesar di luar Negara Cina. Ia mengandungi lebih kurang 
> > 12,500 
> > > kubur dan banyak daripada batu nisan di situ dikatakan wujud 
> sejak 
> > > dari Dinasti Ming.
> > > 
> > > Pada pertengahan kurun ke-15, puteri Hang Li Po, cicit 
Maharaja 
> > Yong 
> > > Lo, Maharaja Cina Dinasti Ming, dihantar ke Melaka untuk 
> berkahwin 
> > > dengan Sultan Mansur Shah pada 1459 bagi mengukuhkan hubungan 
> > > diplomatik di antara Melaka dan Negara Cina. Baginda Puteri 
> > membawa 
> > > bersamanya rombongan pengiring seramai 500 orang. Bukit Cina, 
> > > merupakan hadiah daripada Sultan dan dijadikan tempat tinggal 
> > mereka 
> > > sehingga kejatuhan Melaka ke dalam tangan Portugis.
> > > 
> > > http://209.85.175.104/search?q=cache:HPvwX-
> > > VkfR0J:portal.melaka.gov.my/v1/view_article.php%3Fpageid%3D138%
> > > 26PHPSESSID%
> > > 
> > 
> 
3Dba7aae14feed47f6ae275e8ef87171a1+kuburan+bukit+cina&hl=id&ct=clnk&c
> > d
> > > =15&gl=id
> > > 
> > > -----------------------------
> > > 
> > > Salam budaya
> > > 
> > > Danardono
> > 
> > >
> >
>


Reply via email to