Zhou Xiong, Terima kasih atas usulnya. Hanyu Pinyin memang sudah dicantumkan, ejaan Indonesia lama (Hokkian ala cerita silat) sudah dicantumkan, lalu empat dialek utama di Asia Tenggara, yaitu Hokkian, Tiociu, Konghu dan Hakka juga dicantumkan, hanya ejaannya ejaan Indonesia dengan ditambah sedikit sana sini yang tak ada dalam bahasa Indonesianya, agar dapat dibaca tepat. Maksudnya agar semua orang Indonesia dapat membaca tepat nama maupun marganya. Mengenai ejaan Malaysia-Singapore yang kacau balau juga, saya tak punya data lengkap karena variasinya banyak, demikian juga ejaan Konghu di Hongkong saya tak mempunyai data lengkap. Misalnya saja di Singapore untuk marga Gouw Indonesia jadi Goh, Gor, Ngor dll, terlalu rumit untuk saya juga. Wade system sudah tak saya ikutkan karena saya anggap sudah obsolute, Hanyu Pinyin sudah diundang-undangkan dan diakui PBB, pendidikan Mandarin sudah intensif di seluruh dunia, penggunaan ejaan Wade hanya akan memperumit orang yang tak mengerti. Tapi biar bagaimana, akan saya rundingkan dulu dengan teman-teman. Terima kasih atas masukkannya. Salam Liang U
--- On Sun, 7/6/08, Fy Zhou <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Fy Zhou <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Nama Marga Liang To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Sunday, July 6, 2008, 5:04 AM Liang Xiong, sekedar usul, dalam buku, selain dicantumkan nama marga dalam aksara Tionghoa, mungkin bisa dicantumkan romanisasinya dalam hanyupinyin, sekalian romanisasinya dalam ejaan wadegill. juga padanannya di Singapore( Hokian dng ejaan Inggris), sekalian padanannya dalam cantonis yang populer di Hongkong. ZFy ----- Original Message ---- From: liang u <[EMAIL PROTECTED] com> To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Sent: Sunday, July 6, 2008 9:55:03 AM Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Nama Marga Liang Xuan Tong xiong, nin hao, Rikuh saya disebut qianbei oleh anda, meskipun tampaknya anda memang lebih muda dalam usia dari saya, tapi dalam pengetahuan ke-Tionghoaan anda adalah lebih dari saya, oleh karena itu sebaiknya lain kali panggil saya xiong saya dah. Mengenai buku, karena saya sudah tak menetap di Indonesia, juga tak tahu perkembangan di Indonesia (memang tahu dari berita, tapi mendengar tidak sebaik merasakan), maka semuanya sudah saya serahkan kepada sdr. King Hian. Di dalamnya kalau dilihat sekarang masih ada yang perlu diralat, misalnya junwang, saya tulis qunwang. Lalu cara baca sne secara umum, ada yang kurang tepat, artinya ternyata di Indonesia orang Hokkian banyak menggunakan Snui (Ciangciu peq), sedang di Singapore menggunakan Sng (Cuanciu peg). Dalam tulisan itu saya masih menonjolkan Sng. Sudah saya beritahu sdr. King Hian. Memang buku itu tujuan saya hanya untuk menambah pengetahuan orang Tionghoa Indonesia, terutama yang sudah tak dapat membaca huruf Tionghoa, agar tahu minimal mengenai sne-nya, bukan untuk mencari uang, sehingga untuk saya asal ada yang mau menerbitkan sudah puas. Itu semua sudah saya serahkan kepada sdr. King Hian. Jadi saya harap Xuan Tong bicara dengan King Hian, tidak perlu meminta persetujuan saya, kecuali kalau penerbit mau memotong isinya. Sebagian perubahan berdasarkan permintaan Gramedia juga sudah dikerjakan oleh sdr. King Hian. Terima kasih atas perhatian anda, memang menyesal sekali kita tak dapat bercakap-cakap ketika bertemu di Singapore. Saya sebetulnya sudah menunggu kedatangan anda, hanya mendadak Adrian mengatakan hanya bisa bertemu di station. Konsep buku ada dua, satu tentang sne yang cukup tebal meskipun ringkas, kedua tentang nama, yang cukup singkat, jadi tak tebal. Dalam nama saya tak mengerti peq-ji, jadi kalau perlu saya minta King Hian menambahkannya. Mengenai nama huruf yang saya pilih sudah meliputi kebanyakan yang dipergunakan orang di Indonesia, dan dalam cerita-cerita modern. Setelah akhir-akhir ini saya sering berkeliling ke pelosok-pelosok di Tiongkok , saya menemukan banyak huruf yang di Indonesia tak pernah dipakai nama, sedang di sana lazim. Din Tiongkok selatan, misalnya propinsi asal Huaqiao memang namanya (huruf yang dipergunakan) lebih mirip dengan yang dipergunakan di Indonesia, baik orang Han, maupun minoritas lain. Sedang di utara banyak menggunakan huruf yang jarang kita pergunakan untuk nama di Indonesia. Mengenai ejaan waktu itu sepakat dengan sdr. King Hian untuk memperbaiki ejaan Belanda yang tak dapat mencerminkan bunyi Hokkian sesungguhnya. Tapi ejaan Hokkian yang dibuat Xiamen University terlalu sulit untuk orang Indonesia, demikian juga ejaan di Taiwan. Jadi kita memperbaiki ejaan lama saja diganti ejaan baru dan menambahkan bunyi hidung yang tak ada dalam ejaan Belanda. Ternyata banyak memang salah sangka, orang Tionghoa sekarang menganggap snenya itu adalah tulisan baku, jadi berlaku secara internasional termasuk di Tiongkok. Muncullah orang yang sne Tjan mencari leluhurnya, dan semua orang menggelengkan kepala termasuk orang dari Tiongkok, Hongkong dan Singapore, "Tak ada sne itu" jawab mereka. Akubatnya si penanya jadi timbul tanda tanya, apakah betul saya ini orang Tionghoa? Koq di Tiongkok sendiri tak ada sne Tjan? Di milis juga kelihatan banyak yang ragu, hanya karena ejaan dengan basis bahasa Belanda beda dengan ejaan dengan basis bahasa Inggeris yang berlaku di Singapore, Malaysia dan Hongkong. Sne Lee di Singapore ternyata Lie di Indonesia, Teo di Singapore ternyata Thio di Indonesia, Gouw di Indonesia ternyata Goh atau Gor di Singapore. Oleh karena itu selain menyeragamkan ejaan yang cocok untuk Indonesia, kita ingin membekali orang Tionghoa Indonesia yang sudah tidak mengerti huruf Tionghoa dengan huruf Tionghoa bagi snenya, kalau mungkin dengan namanya. Sehingga kemanapun ia bertanya orang mengerti. Misalnya agar tahu sne Tjan tadi adalah 曾 Zeng. Dengan bertanya asal usul snenya dengan membawa huruf Mandarin itu, maka ia akan mendapat jawaban yang benar dan pasti. Salam dan terima kasih perhatian anda bagi tulisan kami. Liang U --- On Sat, 7/5/08, perfect_harmony2000 <perfect_harmony2000 @yahoo.com> wrote: From: perfect_harmony2000 <perfect_harmony2000 @yahoo.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: Nama Marga Liang To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Date: Saturday, July 5, 2008, 8:11 PM Liang laoqianbei, sebelumnya saya minta maaf, pada saat pertemuan pertama kita itu tidak pada saat yang tepat dan waktu yang luang. Mohon Liang qianbei memaafkan kesibukan wanbei. Liang qianbei, buku marga yang anda susun itu begitu berharga dan saya pribadi mengatakan buku marga yang anda susun sebenarnya jauh lebih lengkap daripada buku marga Tionghoa yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Saya pernah menanyakan kepada sdr.King Hian kendala apa yang menghambat penerbit tidak mau menerbitkan ? Apakah hanya masalah editing ? Jika masalah editing, saya minta ijin untuk membantu qianbei. Terimakasih atas perhatiannya. Hormat saya, Xuan Tong --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, liang u <[EMAIL PROTECTED] > wrote: > > 梁 > > Pada zaman dinasti Zhou (Ciu), dinasti ketiga dalam sejarah Tiongkok, pendiri dinasti kaisar Zhou Wuwang (Ciu Bu Ong) menggunakan sistem seperti negara federal zaman sekarang. Dinasti dibagi dalam banyak negara bagian yang disebut negara zhuhou Orang-orangnya yang berjasa diangkat sebagai kepala negara yaitu hou atau zhuhou. Para penerjemah cerita kuno dan cerita silat di Indonesia menterjemahkannya sebagai raja muda. > > Dinasti Zhou berdiri abad 11 sebelum Masehi, tapi kemudian sedikit-sedikit melorot, sampailah suatu ketika pemerintah pusat menjadi sangat lemah dan diganggu terus oleh kaum minoritas di utara.dan barat. Kaisar Xuanwang (Ciu Suan Ong) hanya berhasil mengatasi kesulitan negara untuk sementara atas jasanya pejabat yang bernama Qin Zhong (Cin Tiong). Tapi waktu kaisar berikutnya, negara melemah lagi, sampai akhirnya kaisar Zhou Pingwang (Ciu Ping Ong) terpaksa memindahkan ibukota ke sebelah timur untuk mencegah gangguan dari sebelah barat. > > Kaisai Zhou Pingwang mengangkat cucu Qin Zhong yang bernama Kang (Khang) menjadi rajamuda di suatu tempat di propinsi Shaanxi yang bernama Liangshan (di kota Hancheng sekarang). Di sanalah didirikan negara Liang. Pada akhir zaman dinasti Zhou negara zhuhou ini sudah tidak tunduk pada pemerintah pusat yang lemah dan saling serbu memperluas wilayah masing-masing, zaman ini disebut zaman Chunqiu. Pada saat itulah negara Liang dihancurkan negara Qin (Tjin). Negara Qin ini akhirnya berhasil mengalahkan seluruh lawannya termasuk menghancurkan dinasti Zhou yang sudah lemah, dan mendirikan kekaisaran baru yaitu dinasti Qin (Tjin) dengan Qin Shihuang (Tjin Se Ong) sebagai kaisarnya. > > Sebagaimana kebiasaan waktu itu, anak cucu keturunan raja Liang menggunakan Liang sebagai xing (sne, marga) nya. Jadi orang xing Liang, adalah keturunan Qin Zhong, sedang Qin Zhong adalah keturunan Bo Yi, Bo Yi adalah keturunan Huangdi (*Ui Te atau Kaisar Kuning) yang dianggap salah seorang leluhur orang Han. Orang Han selalu menganggap dirinya adalah keturuan Yan-Huang yaitu Yandi (Yan Te) dan Huangdi. (*Ui Te). > > Sne Liang mempunyai tambahan dari suku non Han yang terasimilasi dengan orang Han dan mengganti xingnya dari Balielan menjadi Liang juga. > > Karena Liang adalah xing yang besar (yang jumlah penduduknya banyak) maka pusat leluhurnya juga ada beberapa tempat. Pusat leluhur atau junwang adalah tempat di mana xing itu berkembang menjadi xing yang besar dan didirikan sebuah kelenteng leluhur yang biasanya digunakan untuk penghormatan leluhur dan menyimpan semua silsilah orang xing tsb di tempat tsb beserta keturunannya. Karena orang xing Liang ini akhirnya menyebar ke seluruh Tiongkok, tentu tak praktis kalau semua harus datang bersembahyang ke junwang asli yang ribuan km jauhnya, padahal lalu lintas zaman dulu sulit, karena itu bila di tempat yang baru mereka berkembang, maka didirikan junwang cabang. > > Hampir semua orang Tionghoa di Indonesia berasal dari Tiongkok selatan, terbanyak dari propinsi Fujian (orang Hokkian, Hokchnia, Hinhua, Hakka), propinsi Guangdong (orang Konghu, orang Tiociu, orang Hakka), Hainan (orang Hainan yang keturunan orang Hokkian juga) dan sedikit Hakka, Guangxi (orang Konghu, orang Hakka) dll. > > Pencarian leluhur pertama biasanya mencari junwang cabang di daerah yang disebut di atas, zaman sekarang orang tak cukup mencari di sana, setelah ketemu dicari lagi leluhurnya dari mana, orang Han di Tiongkok selatan semua berasal dari Tiongkok utara, dicarilah junwang yang asli. Misalnya orang xing Wang (Ong) berhasil menemukan junwang pusatnya di Taiyuan, ibu kota propinsi Shanxi di Tiongkok utara sekarang. > > Junwang cabang biasanya dapat dicari di kota kabupaten atau kota prefektorat di propinsi ybs. Zaman dulu orang selalu melapor kepada junwang pusat untuk dicatat silsilahnya, kebudayaan, buku dll yang bersangkutan dengan xing yang bersangkutan. > > Xing Liang adalah dalam Mandarin, dalam dialek Hokkian menjadi Nio, Tiociu tetap Liang, dalam dialek Hakka menjadi Liong, sedang dalam dialek Konghu adalah Leung. > > Junwang atau pusat leluhur xing Liang yang terutama ada tiga tempat: > > 1. Anding, terletak di perbatasan propinsi Gansu daerah Pingliang dan Daerah Otonomi Hui Ningxia kota Guyuan. > 2. Tianshui, propinsi Gansu > 3. Henan, dekat kota Luoyang. > > Mencari kelenteng leluhur untuk xing kecil tidak mudah, tapi untuk xing besar lebih mudah. Meskipun dalam sejarah nama tempat dapat berganti, dan kelenteng dapat hancur karena tak terawatt rusak karena bencana alam, perang dll, keturunannya biasanya membangun kembali. > > Untuk yang masih mempunyai meja leluhur, pada dinding di belakang meja leluhur ada sederet huruf. Di tengah adalah gambar. Deret kiri dan kanan vertikal lazimnya adalah pepatah atau petuah yang dibuat oleh leluhur dari xing tersebut yang berhasil dalam kehidupannya. Ini diperuntukkan sebagai petuah dalam menempuh kehidupan anak cucunya. Di bagian atas horizontal biasanya disebutkan mereka adalah dari junwang mana. Contohnya xing Liang ini dapat ditulis Tianshui Liangshi. Atau keluarga Liang turunan dari junwang Tianshui. Sayang sekarang yang menyimpan meja leluhur sudah tak banyak. Ada yang karena berganti agama, ada yang ketakutan dicap Cina jaman Orba. > > Junwang atau kampung halaman sering ditulis di atas batu nisan bongpay orang Tionghoa, jadi menelusur bongpay dapat dijadikan alat menelusur leluhur. > > Sebetulnya leluhur kita tetap berjasa dan tetap itu-itu juga meskipun kita sudah pindah agama. Tanpa leluhur tak akan ada kita. Tanpa jasa leluhur kita tak akan hidup. Jadi penghormatan kepada leluhur seharusnya tetap ada, meskipun caranya berbeda. Kalau penghormatan dan penghargaan kepada leluhur hilang, terjadilah krisis orang tua seperti di negara barat, banyak yang mati baru ketahuan setelah busuk, sebab tinggal sendirian, bahkan ada yang bunuh diri, karena menderita tak ada anak cucu yang merawat. > > Untuk mencari leluhur (xungen) dalam tahap pertama harus tahu berasal dari daerah mana, kabupaten apa? Misalnya kita xing Liang dari propinsi Fujian kabupaten Nan’an. Maka carilah ke kelenteng leluhur di situ. Kalau tak ada berarti orang xing Liang di situ tak banyak maka beberapa kabupaten bergabung menjadi satu di protektorat (keresidenan) . Di sana biasanya ada. Kalau anda orang Hakka dari kabupaten apa? Meixian, cari ke sanalah. > > Kalau mau mencari junwang asli atau pusat, dari Junwang cabang sana dapat dicari data lagi, dari mana asal usul keluarga xing Liang di sana. > > Untuk: Ria_Tan > angelulari_tan@ ... > > --- On Sat, 6/28/08, angelulari_tan <angelulari_ [EMAIL PROTECTED]> wrote: > > From: angelulari_tan <angelulari_ [EMAIL PROTECTED]> > Subject: [budaya_tionghua] Nama Marga Liang > To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com > Date: Saturday, June 28, 2008, 10:17 AM > > > > > > > Bpk Liang U yang terhormat, saya ingin menanyakan asal-usul marga > Liang, dan kata lain dari marga liang tersebut, saya membutuhkan itu > untuk memberi nama anak2 saya kelak, karena suami saya memiliki marga > Liang, sedangkan saya tidak terlalu familiar dengan marga Liang. > Atas perhatian dan bantuan Bapak saya ucapkan terimakasih > > Best regards > -Ria_Tan- >