Pak Steve,

 

Wah benar juga tuh logikanya untuk yang miskin..... heheheh.  

 

Kalau musti potong tiang layar dan bawa turun patung dewi pelindungnya kedarat 
tentunya dipimpin oleh kapten kapalnya.  Kalu tidak didizinkan oleh kapten 
kapalm tentunya enga akan terjadi . Mungkinkah  alasan politik , siapa tahu ? 
pemberontakan Taiping, Serbuan  suku Manchu ke kota raja , musuh negara  
mungkin , dst.

( namanya juga berandai-andai  segala kemungkinan terbuka J)

 

 Kalau kapten kapal, kira –kira termasuk katagori klas ekonomi yang mana tuh ?? 
 Logikanya  tentunya yang mampu membangun kelenteng perdana adalah yang berduit 
. Kalau yang miskin memikirkan makan apapun hari-hari nya  agaknya sudah cukup 
pusing.

 

Saya pernah baca  suatu hasil penelitian, katanya para kapten kapal Chinese  
cukup dominan berperan bagi  pengendalian kapal-kapal  perdagangan di Asia 
tengara selama masa VOC.

Lengkap dengan angka-angka  barang yang dibawa kapal dst.....  mengherankan 
sekali arsip demikian tahan bertue-ratus  tahun, terpelihara dengan baik di 
negeri Belanda.  L(

 

Salam,

 

Sugiri.

 

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
Steve Haryono
Sent: Tuesday, July 08, 2008 9:27 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: Re: [budaya_tionghua] perahu-tiang layar-patung Makco.

 

 

Bung Sugiri,

 

Mereka yang memang berniat untuk imigrasi mencari kehidupan baru itu biasanya 
miskin dan tidak punya kapal. Juga tidak punya saham di kapalnya.

Mereka itu jadi penumpang kapal dagang itu. Jadi ya kapal nya balik lagi.

Jalan pemikiran kita sih, kalau orangnya sudah bisa punya kapal, mungkin tidak 
punya pikiran untuk berimigrasi ke tempat lain dimana kehidupan masa depan 
masih gelap.

 

Salam,

Steve Haryono

 

----- Original Message ----- 

From: ibcindon <mailto:[EMAIL PROTECTED]>  

To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 

Sent: Tuesday, July 08, 2008 4:19 PM

Subject: [budaya_tionghua] perahu-tiang layar-patung Makco.

 

Hallo teman-teman,

Kalau saya diizinkan bersepekulasi, ( berandai – andai )  kayanya mereka yang 
turun memindahkan patung Makco dan tiang kapal adalah para penetap. Imigran. 
Tanpa maksud untuk kembali lagi ke kampung asalnya.  

Para penetap berpindah dengan alasan untuk mencari kehidupan baru, alasan 
politik di Tiongkok, musibah di sana  misalnya kekeringan/kelaparan dst. Jadi 
tidak aneh akalu mereka bersikap kanibal pada perahunya. J)

Agaknya jangan dirancukan dengan  perahu yang bolak balik dalam rangka 
perdagangan. Berlayar dengan menunggu angin muson, berupa angin buritan. Setiap 
setengah tahun ??

Salam,

Sugiri.

From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
eddy witanto
Sent: Tuesday, July 08, 2008 1:14 PM
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re:Re: foto kelenteng Hok An Kiong

Menarik mengikuti perbincangan ini, tapi tampaknya ada hal yg agak mengganjal, 
yaitu kemungkinan salah persepsi bahwa itu memang bukan tiang kapal dalam arti 
sesungguhnya, artinya --seperti merujuk pada David Kwa dan Pak Loekito-- tiang 
kapal yang dipotong (atau diapakan lah) lalu dipasang di muka klenteng sebagai 
tiang bendera. Kalau ttg ini, memang sangat bisa diterima uraian David Kwa, 
kapal masih harus balik ke nanfang (southern China) lagi. Kalau tidak ada 
tiangnya, trus bagaimana bisa jalan?

Nah, saya kira ini makna simbolik. Jadi dua tiang di depan klenteng yg ada Mak 
Cou-nya itu (entah sebagai tuan rumah atau hanya pendamping) hanyalah simbol 
(kata ini saya tekankan) keberadaan Dewi Pelindung Samudera yang diasosiasikan 
dengan kapal, terlebih ketika patung Dewi ini dibawa ke nanyang oleh para 
imigran. Jadi --merujuk pada tesis Johannes Widodo-- ada keterkaitan antara 
pola perletakan patung di atas kapal (yaitu: ditahtakan di atas kapal) dengan 
desain tata ruang kapal itu sendiri. 

Pada nantinya, ketika tiang2 ini berubah fungsi, entah dijadikan tiang bendera 
ataupun apa, makna simbolik awalnya tetap terjaga.

Sintesa pemikiran ini baru dapat diterima apabila ada cukup bukti terhadap 
korelasi antara tiang "bendera" di suatu klenteng dengan kehadiran Mak Cou di 
situ, dengan premis: setiap ada patung Mak Cou di suatu klenteng, pasti ada 2 
tiang "bendera" di depan klenteng itu. Apabila saat ini, di suatu klenteng ada 
Mak Cou tetapi tidak ada 2 tiang, maka harus merujuk pada foto2 atau sketsa2 
lama tentang klenteng yang bersangkutan itu.

eddy

----------------------------------------------------------------------------------------------

David Kwa:
Menurut saya, tiang bendera tidak dibuat dari tiang kapal, tapi dari kayu 
gelondongan, seperti bahan untuk membuat bangunan Tionghoa lainnya, sebelum ada 
rumah batu, karena junk (kapal layar besar) yang membawa rombongan orang dan 
barang dari bandar Ciangciu/Zhangzhou 漳州 atau Coanciu/Quanzhou 泉州 di 
propinsi Hokkian/Fujian �建 ke berbagai bandar di Lamyang/Nanyang�洋 
(Nusantara) toh masih harus berlayar kembali ke Tiongkok membawa berbagai 
komoditas seperti rempah-rempah (lada, cengkeh, kapolaga, dan pala), garam, 
minyak kelapa, cula badak dan gading gajah, kayu cendana, madu dan malam, dll, 
setelah angin ke arah Tiongkok (angin tenggara?) berembus. Seperti kita 
ketahui, junk tidak mungkin berlayar kalau tidak ada tiangnya. Lagipula, kayu 
untuk bahan membuat tiang bendera kan berlimpah-ruah di hutan-hutan Nusantara 
waktu itu, jadi tidak usah mengorbankan tiang kapal―dan otomatis kapalnya 
juga―semata-mata untuk memenuhi persyaratan
membuat sepasang tiang bendera di muka kelenteng.

Pak Loekito: Apakah kira-kira itu tiang kapal yang diubah fungsi sebagai tiang 
bendera. Kejadian ini hanya berlaku untuk kelenteng-kelenteng awal. Gimana 
bung...

Sugiri:
> Saya pernah baca penelitiannya pak Johaness  Widodo, menurut beliau para
> pendatang biasanya turun dari kapal untuk bermukim, lalu membawa 2 buah
> tiang layar dari kapalnya, serta patung dewa Maconya untuk dihormati
> dikelenteng awal.  Tiangnya ditaruh dihalaman kelenteng mengikuti
> konfigurasi ketika posisi dikapal dulu.





 

Kirim email ke