Menarik sekali membaca berita di bawah ini.
Mereka lahir di Indonesia, pergi menetap di RRT dan menjadi warga negara
sana, dan merasakan hidup sebagai orang Indonesia. Pergi ke kedutaan Besar
Indonesia untuk merayakan kemerdekaan dan menyumbangkan acara di sana.
Yang lebih menarik lagi, pemerintah Tiongkok tidak menuduh mereka mempunyai
loyalitas ganda.

Di Indonesia, bila ada warga Indonesia yang mengundang dutabesar RRT untuk
mengikuti acara yang diadakan saja, bisa dituduh mempunyai loyalitas ganda.

Apa ada yang tahu sebabnya?

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=18816


 Yinni Huaqiao, Warga Tiongkok Keturunan Indonesia Korban Diskriminasi
 *Lupakan Masa Lalu, Pilih Berkiprah agar Hidup Berarti*

Di Tiongkok ada ribuan warga Tionghoa kelahiran Indonesia. Sekitar 50 tahun
silam mereka adalah korban badai politik.

*DOAN WIDHIANDONO, Beijing*

*SORAK-SORAK* *bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita,
Indonesia merdeka!*

Lagu yang menggugah semangat kebangsaan itu meluncur dari bibir 15 kaum
sepuh, 9 pria dan 6 wanita, di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di
Beijing, kemarin. Nyanyian itu mereka kumandangkan setelah upacara
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kelompok itu menamakan diri Huaqiao Suroboyo. Dan, penampilan mereka memang
terasa sangat *njawani*. Yang wanita mengenakan selendang dan baju sejenis
kebaya encim, kebaya berenda tanpa *kutu baru* atau kain persegi penutup
dada. Rambut mereka disanggul modern atau *sanggul cepol*. Yang pria
berbatik dan berkopiah.

Orang-orang itu memang tak bisa melawan usia. Li Chui Shen, pemain gitar
akustik, tampak gemetaran tangannya. Anggota paduan suara lain pun kadang
terlihat gagap karena tak lagi mampu mengingat seluruh lirik lagu.

Namun, semangat masih tergambar pada penampilan mereka di siang gerimis itu.
Meski kadang lupa lirik, mereka terus bernyanyi. *Toh*, orang-orang yang
berada di halaman gedung di Jalan Dongzhimenwai Dajie, Distrik Chaoyang,
Beijing, itu juga ikut bernyanyi. Zheng Jian Xun, pemain akordion, memencet
tuts piano sambil menggoyang-goyangkan badan penuh semangat.

Sang pemain gitar listrik pun bermain atraktif. Gitar itu dipangku telentang
menghadap atas. Dia membunyikan gitar tersebut dengan *slider*, pipa besi
sebesar jari. Suaranya pun halus seperti alat musik Hawaii. Tak pelak,
penampilan mereka mengundang tepuk tangan penonton.

Meski bernama Huaqiao (Tionghoa perantauan) Suroboyo, tak semua orang itu
dari Surabaya. Misalnya, Li Chui Shen orang Semarang. ''Tapi, memang ada
beberapa yang dari Surabaya,'' kata seorang *huaqiao* yang mengenalkan diri
sebagai Tante Angke.

Tante Angke asli *arek* Sukun, Malang. Karena lahir di luar Tiongkok, dia
pun disebut *huaqiao*. Wanita berusia 59 tahun itu tiba di Tiongkok pada
1965, saat dia berumur 15 tahun. Karena itu, dia tak begitu mahir berbahasa
Indonesia. Bahasa Jawa Timuran lebih *jos*. Dia lebih bisa memanggil
*koen*yang akrab daripada Anda. ''
*Ngomong ngene luwih enak* (Berbicara begini lebih enak, Red)'' kata Tante
Angke.

Dia menjelaskan bahwa kepulangannya ke Tiongkok lantaran ingin sekolah.
''Saya akhirnya sekolah administrasi. Lalu, kerja di kantor wartawan. *Tapekno
ndak* (tapi tidak, Red) jadi wartawan,'' kata wanita berambut keriting itu.

Sejatinya, Tante Angke adalah salah seorang ''korban'' carut-marut politik
masa lalu. Sekitar 60 tahun lalu pemerintah Tiongkok punya kebijakan *ius
sanguinis*. Seluruh warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga
Tiongkok. Di Indonesia, hal itu memicu kewarganegaraan ganda. Sebab,
pemerintah RI sudah menetapkan bahwa yang lahir di Indonesia setelah
kemerdekaan adalah warga Indonesia. Warga Tionghoa pun disuruh memilih
kewarganegaraan.

Badai politik tanah air kian kencang menjelang era 1960-an. Kala itu,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Isinya,
larangan orang asing berdagang di tingkat eceran di kabupaten. Orang-orang
asing pun harus mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Mereka ditenggat hingga 1 Januari 1960.

Dalam pelaksanaannya, peraturan itu menjadi bias dan diskriminatif. Warga
Tionghoa yang hidup dari berdagang di kios-kios amat dirugikan. Hubungan
diplomatik RRT-Indonesia pun tegang. Pada Desember 1959, RRT menyeru agar
para *huaqiao* kembali ke ibu pertiwi. Gelombang eksodus pun dimulai.

''Sebagian besar kami pulang karena PP 10 itu,'' kata Chen Bing Wao, pria
kelahiran Makassar yang besar di Surabaya. Menurut dia, hubungan dua negara
kala itu begitu menegangkan. Sampai-sampai mereka yang ke Tiongkok harus
disumpah. ''Niat saya *kan* sekolah. Tapi, saat berangkat, saya disumpah
oleh imigrasi Indonesia bahwa sampai mati pun saya tidak boleh lagi kembali
ke Indonesia,'' ujar pria kelahiran 12 Januari 1941 itu.

Lantaran berniat sekolah, Chen Bing Wao yang akrab dipanggil Om Tan itu
tetap berangkat. ''Kami naik kapal laut. Jalannya enam hari. Sampai di sini
19 Oktober 1960,'' ujarnya.

Begitu sampai, Om Tan memilih menghapus masa lalunya sesaat. ''Saya sekolah
guru, kerja menjadi guru, sekarang sudah pensiun. Enak. Pensiunnya 2.000
yuan (sekitar Rp 2,2 juta, Red) tiap bulan,'' katanya.

Berkiprah di tanah leluhur, ujar dia, memang membuat hidup lebih berarti.
Namun, kerinduan akan kampung halaman di Indonesia kadang tetap menderanya.

Mau pulang ke Indonesia, dia teringat sumpahnya. Namun, hubungan
RRT-Indonesia yang terus membaik akhirnya ''memupus'' sumpah itu. Om Tan
sudah beberapa kali pulang ke Makassar.

Hubungan diplomatik RRT-Indonesia yang mesra juga dirasakan Chu Difa, pria
kelahiran Jogjakarta yang pulang ke Tiongkok pada 1959. Buktinya, setiap ada
peringatan 17 Agustus di KBRI mereka diundang dan datang. Bahkan, sesi foto
para *huaqiao* dengan duta besar pun dijadwal khusus. Selain itu, mereka
pasti diberi kesempatan tampil secara khusus pula.

''Masa lalu biar menjadi masa lalu. Tiongkok dan Indonesia sudah sangat
baik,'' katanya.

Selain itu, yang membuat mereka tak lagi mengenang masa lalu, saat terusir
dari tanah kelahiran, adalah status mereka yang resmi warga negara Tiongkok.
Mereka sudah punya status itu selama tiga generasi. Ya, para *yinni
huaqiao*(Tionghoa perantauan dari Indonesia) itu sudah memasuki
*di san dai* (generasi ketiga). Dan, menurut Chu Difa, dari ratusan ribu
warga Tionghoa yang ''pulang'' sekitar 50 tahun lalu, kini ada sekitar 2
ribu orang yang tinggal di Beijing.

Tiap tahun mereka bertemu, kangen-kangenan, atau latihan kesenian bersama.
''Soalnya ada yang hobinya sama,'' kata Su Yuan Hai, *arek* Embong Kenongo,
Surabaya.

Om Su -panggilan akrabnya- masih punya banyak saudara dan kawan di Surabaya.
Sudah tiga kali dia mengunjungi saudara-saudanya itu. ''Tapi, *rasane* beda
*ya*. *Ndak* *kerasan* seperti dulu. Surabaya panas sekali. Dulu *ndak*, *
lho*,'' ujar pria kelahiran 1934 itu.

Meski menjadi korban politik, para *huaqiao* itu selalu mengaku pulang untuk
sekolah. Misalnya, Profesor Xu Yong Zheo, pengajar di Capital University of
Medical Science. Pria kelahiran Lombok itu menamatkan SMA di Surabaya.
''Karena ingin sekolah dokter, saya pulang ke Tiongkok,'' kata pria yang
mengajar *physical anatomy* itu.

Di Tiongkok bisa jadi kiprah para *huaqiao* lebih berarti. Sebab, pemerintah
Tiongkok memang begitu memperhatikan mereka. Orang-orang itu punya
kesempatan menempuh pendidikan dan bekerja. Karena itu, mereka pun tak mau
menjadi orang-orang tanpa arti. Para *huaqiao* itu punya kelompok All-China
Federation of Returned Overseas Chinese. Dalam organisasi itu, mereka
menunjukkan kiprahnya. Menurut *China Radio International*, salah satu
sumbangsih para *huaqiao* itu adalah dana 830 juta yuan untuk
penyelenggaraan Olimpiade Beijing 2008.

Kini, meski sudah beranak-pinak di Tiongkok, para *huaqiao* tak bisa memupus
begitu saja ingatan terhadap tanah kelahiran mereka. Chu Difa, yang asli
Jogja, tetap menyebut Indonesia sebagai tanah airnya. Namun, dia menegaskan
sekali lagi bahwa dirinya begitu senang tinggal di Tiongkok.

Itu seperti lirik lagu yang dinyanyikan Huaqiao Suroboyo di akhir
penampilannya kemarin. *Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku
senang, la.. la.. la.. la....**(nw)*

Reply via email to