Bu Ulysee dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan onde-onde.

Istilah onde-onde agak rancu sekarang, waktu saya kecil, yang
namanya onde-onde itu yang kayak moci. Ada yang kosong (warna 
bisa putih, merah dan ijo) bulatan kecil-kecil, paling diame-
ternya 20 mm. Yang isi persis kayak moci, bulat, gede 40-50 mm.
isinya biasanya paling kacang tanah tumbuk dikasih gula ajah.
Makannya pake kuah air gula + jahe sedikit sebagai aksen ajah.

Sekarang kalau anda ke pasar, onde-onde itu bulatan juga, ba-
hannya juga ketan, isinya kacang ijo tumbuk, manis, digoreng,
dan jangan lupa ama permukaan 'kulit'nya yang di'tempel'i wi-
jen satu-per-satu (ini guyon untuk bule ajah sih, jeh!).

Nah, kayaknya, dalam berbagai upacara adat Tionghua dulu, ka-
yaknya si onde-onde berkuah itu (warna merah dominan) biasa-
nya dijadikan satu alat upacara juga. Pengantenan misalnya,
ada upacara yang menggunakan onde-onde ini. Saya ndak tahu
apakah dalam upacara angkat anak (kwe-pang, istilahnya?) ju-
ga mengikutsertakan si onde-onde ini atau tidak. Barangkali
ada yang lebih mengerti dan mau berbagi dengan kita di sini?


Terima kasih buat Bu Ulysee atas keterangannya ttg adat ang-
kat mengangkat anak. Saya baru tahu tata cara dan latar be-
lakang-nya di milis kita ini.

Saya tertarik terutama dengan yang di'kias' karena ciong. Be-
ner itu bahwa si anak (kandung) lantas harus mengubah pang-
gilannya kepada orang tua kandung sendiri. Beberapa teman sa-
ya ada yang diperlakukan begitu, terutama yang kaya tentunya.
Sebab kalau orang kampung tak berharta, mana takut jatuh mis-
kin karena snio-nya ciong ama anak sendiri ya? :D)

Saya ndak tahu kenapa, kayaknya sih bukan masalah ciong ini,
tapi ema dan engkong saya, dipanggil ama anak-anaknya (mama
dan ie-ie, engku saya) dengan sebutan 'encek' untuk engkong
saya. Mereka memanggil 'ene' kepada ema saya. Ini mestinya
cuma panggilan orang kampung saja (leluhur mereka di daerah
Luragung, Kuningan, Jabar, di udik masuk lereng gunung). Bu-
kan karena ciong. Lha semuanya -6 anak manggil 'encek', jeh!

Dan, waktu itu, saya kira 'ene' = ema. Jadi kami, para cucu
memanggil kedua beliau dengan 'ene' dan 'encek'. Sesudah ka-
mi besar dan tahu sudah susah mengganti panggilan ini. Jadi,
kalau dirunut, kami ndak pernah punya ema dan engkong ya?

Padahal, kalau menurut adat yang ketat, kami, para cucu, su-
dah bener-bener 'bo ceng li' ndak tahu adat, memanggil gene-
rasi ke-tiga seolah kami ni generasi ke-2. Menyamakan diri
dengan generasi orangtua sendiri. Bisa dirotan abis-abisan!

Sehubungan dengan angkat anak cara pertama, yang masih satu
sne, mungkin ini satu sebabnya antara sesama satu sne tidak
boleh berkawin-mawin? Sebab, bisa terjadi nanti ada anak ang-
kat yang jatuh cinta kepada sepupunya (anak encek atau empe)
yang ternyata sebenarnya adalah saudara kandung sendiri? Bi-
sa incest tuh ya. 

Ya, namanya jodoh susah dibilang ya. Pan bisa ajah kejadian
tu anak ndak kenal karena jauh lokasinya, lalu kebetulan me-
reka sekolah di Amrik, kota sama, uni sama, fak sama. Lantas
saling jatuh cinta, ndak tahunya begitu pulang kampung, lan-
tas di-interview ama camer, tahunya kedua anak itu bersodara
kandung. Apalagi kalau jaman dulu, komunikasi belon musim pa-
ke internet, masih kudu ngirim kurir naek kuda ya? :D)

Begitu ajah sih ya, kira-kira.

Salam onde-onde pake kuah,
Ophoeng,
BSD City, Tangerang


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Gue sih kaga tahu apa yang dimaksud "sudut pandang budaya" dalam hal
mengangkat anak dan dengan status hukumnya. 
  
Yang gue tahu mah kisah dari 'kampung' aje, yang pernah diceritakan
nenek gue, dan yang pernah gue lihat. 
  
Ada dua sebab orang mengangkat anak, 
  
Satu, karena dia tidak punya keturunan 

Nah kalau kasusnya seperti ini, biasanya mengangkat anak dari keluarga
sendiri biasanya laki-laki, yang marganya sama, tapi lalu diasuh sama
orangtua angkatnya, dan si anak ini nanti memenuhi kewajiban (mengurus
orangtua) ya kepada orangtua angkatnya ini, bukan kepada orangtua
kandungnya. 

Kalau yang seperti ini sih kaga pake upacara macem-macem deh, 
gentleman agreement aje diantara ortu kandung dan ortu angkat aja, 
orang lain nggak perlu tahu, bahkan si anak sendiri seringkali enggak 
tahu. 

Sehubungan hak waris, dia berhak mewarisi dari ortu angkat, bukan dari
ortu kandung. 

Tapi biasanya juga yang angkat anak ini biasanya keadaan ekonominya
lebih baik dari ortu kandung, apalagi di kampung yang mana makan tuh
susah. Yang anak satu-satunya donk kebagian jatah makan lebih daripada
yang anaknya tujuh.  
  
Dua, karena urusan 'ciong' 

Tanggal lahir tertentu yang dianggap tidak cocok sama ortu kandungnya,
bisa menyebabkan sakit, mati atau bangkrut atau apalah yang sahibul
hikayat dibilang jelek, kemudian di "kias" dengan cara diangkat anak
oleh orang lain. 

Nah kalau yang ini upacaranya seru, pake acara merangkak di kolong 
meja makan, lalu menyuguhkan teh, pake sembayang depan altar leluhur, 
kepada langit dan bumi, lalu makan-makan, announcement sama keluarga 
dan kerabat dekat bahwa si A sekarang jadi anaknya si C dan bukan 
anaknya si B. 

Kalau yang begini nanti si anak tetap tinggal sama ortu kandungnya, 
tapi panggilannnya diganti, biasanya jadi panggil Asuk atau Acek atau 
Apak terhadap ayah sendiri. Yet nanti waktu ortu angkatnya meninggal, 
dia harus ikut 'tuaha' pakai baju belacu itu tuh. Tapi dia nggak 
punya hak waris dari ortu angkatnya (kecuali dikasih wasiat) dan 
tetap punya hak waris dari ortu kandungnya. 
  
Tiga, karena urusan 'mancing' anak

Tapi nggak pake segala sembayangan dan makan-makan. Hanya saja ortu 
yang nggak punya anak angkat anak - biasanya anak kerabat sendiri, 
untuk tinggal di rumahnya, panggil mama-papa sama ortu angkatnya, - 
hanya sementara aja- sampai si ortu angkat punya anak sendiri, nah 
lalu si anak angkat boleh tetap tinggal dirumah itu atau dikembalikan 
kepada ortu kandungnya terserah ortu angkatnya, tapi kalau pulang pun 
dengan dikasih kado - hantaran kayak sangjit - karena 
berhasil "mancing". 

Nah anak yang bisa "mancing" ini bisa dua-tiga kali mancing yang 
berarti nanti punya dua-tiga ortu angkat.  Kalau yang begini sih gak 
punya hak waris dan nggak wajib "tuaha" kalau ortu angkatnya 
meninggal. 
  
Gitu doank yang gue tau, sisanya, coba sepah sepuh yang ada di sini 
kali mau menambahkan. 

 

Kirim email ke