Sdr.Tantono, maaf saya kurang sepakat terhadap tulisan anda dibawah ini.
Sindhunata bisa berbuat seperti itu bukanlah atas nama pribadi tapi ia mewakili satu institusi. Perilaku Tionghoa totok yang anda alami itu mungkin adalah perilaku pribadi dan tidak mengatasnamakan suatu institusi misalnya paguyuban orang Hakka. Jika suatu institusi yang melecehkan status diri anda, maka institusi itu sewajarnya mengubah perilakunya bahkan jika dilakukan dalam skala luas, tentunya akan lebih baik jika meminta maaf. Pemberangusan budaya terkadang dituangkan dalam suatu surat keputusan yang dilakukan diam-diam dan juga terkadang dilakukan secara terang- terangan atas nama suatu institusi. Institusi itulah yang harus meminta maaf dan seandainya kita mau melihat sejak abad ke 16 hingga abad ke 20 ini berapa banyak surat yang diterbitkan oleh suatu lembaga yang mengatasnamakan the CREATOR untuk memberangus budaya Tionghoa ? Mungkin menyakitkan bagi sebagian orang, tapi itulah kenyataan yang terjadi dan selanjutnya langkah ke depan adalah memperbaiki semua kesalahan itu. Sebagai contoh adalah Vatican yang berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf, walau dalam pandangan saya masih ada banyak hal yang ditutupi seperti kasus Boxer. Tapi itu sudah merupakan langkah yang baik. Karena keberanian yang luar biasa adalah berani mengakui kesalahan bukan menutupi. Sama pula halnya seperti Harry Tjan Silalahi yang mengatakan dirinya likno, walau masih dalam lingkup kecil. Dan saya tidaklah berhak menjudge apakah Harry Tjan itu pura-pura atau benar- benar likno, karena hati orang siapa yang tahu. Atau juga ketika tahun 80an, father Beek mendatangi makam bung Karno dan menangisi tindakannya dahulu yang membuat banyak orang menjadi korban. Saya sendiri tidak tahu apakah tindakan yang pernah dilakukan father Bek itu, tapi kisahnya yang berani meminta maaf walau di makam bung Karno merupakan suatu kejutan dan memerlukan keberanian luar biasa. Seringkali saya menggunakan istilah guan-guan xiangwei atau para pejabat saling melindungi. Maksudnya adalah pejabat yang satu melindungi pejabat lainnya yang melakukan kesalahan. Apakah kita sadar kita itu sedang melakukan hal yang sama atau memang itu adalah kebiasaan kita ? Atau suatu bentuk ketakutan dalam diri kita bahwa kita adalah part dari hal yang memalukan itu ? Atau kita sedang melindungi teman kita walau ia salah ? Saya teringat satu sekolah yang berbasiskan ajaran Khong Hucu pada jaman dahulu itu mengajarkan ajaran budi pekerti dan juga mengajarkan semua agama yang dianut oleh murid-muridnya tanpa mengajarkan apa itu filsafat Konghucu kepada mereka. Bukankah ini mencerminkan suatu sikap dari filsafat Kong Hucu bahwa semua ajaran kesucian adalah sama ? Saya sempat tersenyum ketika UU SISDIKNAS dikumandangkan, ternyata puluhan tahun yang lampau sudah ada sekolah yang mencanangkan hal itu. Hormat saya, Xuan Tong --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Tantono Subagyo" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > *Xuan Tong Xiong, > Kita secara tidak sadar langsung menghakimi mereka yang > berpandangan lain atau berbudaya lain dengan sudut kacamata agama yang kita > anut. Kita tidak perduli apakah orang tersebut merasa bahagia dengan > tradisinya atau merasa suatu bentuk kenyamanan dari budayanya. > Kita dengan mudah memberi label sesat , iblis , anti Tuhan dan lain- lain. > Jika ada orang lain yang merasa hidup menjadi baik dengan budaya dan > tradisinya , silahkan saja kalau perlu kita membantunya agar > menjadi lebih baik lagi , bukan dengan mengubahnya menjadi bagian dari kita > apalagi menghakiminya. > * > Tantono : > Bila prinsip ini diterapkan dan difahami maka langkah indahnya. Dalam milis > ini hendaknya orang Kristen tidak mengata-ngatai yang KHC sebagai sesat atau > masuk neraka, sedang yang KHC juga tidak mengatakan bahwa yang Kristen harus > kembali asal ke agama nenek moyang. Demikian juga dengan penyamarataan, > kalau Sindhunata pernah melukai hati miliser yang berbudaya Tionghua > hendaknya kesalahan Sindhunata itu jangan kepada semua orang Tionghua > Katholik, atau bahkan sebagai "usaha sistematis" dari Sekolah Katholik untuk > mendapatkan murid, atau dari Gereja Katholik untuk mendapatkan umat. > Penyamarataan akan menyakitkan orang dan akan salah sasaran. Pada masa muda > saya, saya pernah benci kepada orang Tionghua "totok" akibat perlakuan > keluarga terhadap saya yang tidak berdarah "murni", akan tetapi saya kikis > perasaan itu karena saya tahu penyamarataan akan menyulitkan saya sendiri > dan tidak beralasan. Salam, Tantono >