Terimakasih pak Syariff! ternyata tak hanya NU yang sanggup melahirkan tokoh2 
berwawasan terbuka dan humanis!
 
Jika menjadi Atheis saja berhak, apalagi menjadi seorang yang tak beragama! 
harusnya tak menjadi masalah.
 
Saya jadi teringat saat dialog dng Arif Budiman tentang masuknya dia ke Islam 
(ini omongan di forum resmi lho, bukan gosip bisik2), pada intinya dia menyebut 
alasannya masuk islam karena disyartkan oleh orang tua Leyla -calon istrinya, 
demi cinta ya dia mengalah, dalam kenyatannya dia toh tak sepenuhnya sbg 
pemeluk islam yang  sejati. tapi memang dia tak berani terang2an dimuka umum 
mengumbar bahwa islamnya hanya islam KTP atau fomalitas!
 
Dari kasus di atas, saya menagkap sebuah ketak berdayaan yang tragis. Seorang 
Aeif yang berani vokal melawan tirani poliik, dng resiko dipenjara sekalipun, 
tapi tak berani melawan arus umum di negeri kita yang sebenarnya salah kaprah: 
bahwa suami istri harus se-agama, Arif tak berani terang2an menyatakan, bahwa 
agama bukan hal yang utama dalam hubungan antar manusia! 
 
Yang lebih ironis, istrinya Leyla pernah menyindir di kompas, bahwa banyak 
kalangan di universitas Satyawacana sering mempersoalkan islmnya Arief. 
Rupanya, Leyla sendiri sudah lupa, keluarganya juga pernah mempersoalkan 
ketidak islman arief kok! mungkin bukan Leyla pribadi yang mempersoalkan, tapi 
saat itu dia tak berdiri satu front dng arief untuk melawan kehendak orang 
tua! Apa dia masih punya hak menyindir orang lain? Arif pernah membela bahwa 
demi cinta dia mengalah, tapi mengapa demi cinta bukan agama yang mengalah?
 
Mungkin ada yang menilai ini adalah persoalan pribadi Arif, tak perlu kita ikut 
campur. Tapi karena Arief adalah seorang pemikir sekaligus aktivis, 
perjuanganya menjadi sorotan publik, ketakberdayaannya melawan tirani politik 
agama di Indonesia menjadi sebuah catatan getir.....
 
 
ZFy
 

--- On Thu, 9/18/08, HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: HKSIS <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Manusia Berhak Menjadi Ateis Sekalipun
To: "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Thursday, September 18, 2008, 2:21 AM








http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0809/ 17/pol02. html
Syafii Maarif 
Manusia Berhak Menjadi Ateis Sekalipun


JAKARTA– Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif tak bisa berbuka 
puasa dengan tenang. Ia harus menerima ucapan selamat yang terus mengalir dari 
para tamu yang memenuhi aula Gedung PP Muhammadiyah, Senin (15/9) sore itu. 
Laki-laki yang akrab dipanggil Buya itu baru saja menerima penghargaan 
Magsaysay Award dari The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Foundation 
(RMAF) untuk kategori Peace and International Understanding. Magsaysay 
sebelumnya juga pernah dianugerahkan kepada Mochtar Lubis, Soedjatmoko, 
Pramudya Ananta Toer Abdurrahman Wahid dan Dita Indah Sari. 
Namun pria kelahiran Sumbar itu justru menanggapi biasa saja penghargaan itu. 
“Sebenarnya saya tidak bisa menanggung beban pujian-pujian itu. Karena tidak 
sehebat itu. Tanya saja pada istri saya,” katanya. 
Ia malah mengharapkan penghargaan yang diterimanya itu dapat memberi inspirasi 
bagi kalangan muda untuk meneruskan perjuangan menegakkan demokrasi, 
inklusivitas dan pluralisme dengan serius. Baginya, pluralitas harus 
mendapatkan perhatian utama, karena bangsa Indonesia lahir dari banyaknya 
suku-suku yang bersatu. Masyarakat di dalam suku tersebut memiliki beragama 
kepercayaan yang hidup. Sehingga, pemaksaan atas nama satu keyakinan tertentu 
pada masyarakat tersebut tidak boleh dibiarkan karena bisa melahirkan 
perpecahan.. 
Bahkan, Sjafii juga menegaskan, di dunia ini, manusia diperbolehkan untuk tidak 
beragama ataupun menjadi ateis sekalipun. Asalkan, masing-masing pihak saling 
menghormati, tidak memiliki agenda tersembunyi ataupun saling menghancurkan 
satu sama lain. Pendapat tersebut didasarkan pada nilai-nilai toleransi yang 
terkandung dalam Kitab Suci Al – Quran. “Menurut saya, Al – Quran itu lebih 
toleransi dibandingkan dengan orang Islam,” katanya.
Ia mengakui, saat ia memutuskan untuk bicara masalah itu persoalannya tidak 
mudah. Ia menuai kemarahan yang hebat dari para ulama dan juga kaum 
intelektual. Bahkan, salah satu dari mereka sangat kecewa dan segera menanyakan 
posisi teologis Sjafii sebagai seorang muslim. Namun, setelah dijelaskan 
pandangannya, pihak-pihak yang marah tersebut hanya diam hingga sekarang. 
Menurutnya, beberapa ayat di dalam Al – Quran sangat jelas menegaskan tidak 
boleh adanya pemaksaan dalam beragama. Bahkan, katanya, nabi pun dilarang 
memaksa. “Jadi, kalau orang mau beriman mari beriman kalau tidak juga mari. 
Perkara nanti perkara di depan Tuhan itu urusan mereka. Tapi tidak ada kekuatan 
duniawi untuk memaksa orang atau pengadilan untuk membunuh atau menghukum orang 
yang tidak beriman. Itu pendapat saya,” paparnya. 
Ia melihat, kemarahan yang ditunjukkan kepadanya, kemungkinan besar karena 
terbatasnya pengetahuan mereka tentang pemahaman teologis ayat-ayat Quran 
terkait dengan kebebasan untuk berkehendak dan memilih. Dalam pandangannya, 
sesuai dengan Al-Quran, Tuhan sejatinya menawarkan kebebasan terhadap seluruh 
umat manusia untuk mempercayai ataupun tidak mempercayai, sedangkan resikonya 
merupakan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. 
“Dengan kata lain, seseorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang ateis 
ataupun orang yang ingkar terhadap agama tidak dapat dibawa ke pengadilan untuk 
menghadapi hukuman agama sebagaimana pandangan yang dianut muslim klasik,” 
katanya. 

Tak Boleh Monopoli
Ia juga menyadari, saat ini tidak banyak ulama yang mau membuka kembali Quran 
dan menempatkanya secara kontekstual. Sehingga, untuk masalah ini ke depan akan 
sangat tergantung pada kemampuan umat muslim untuk memberikan respon secara 
kreatif dalam menghadapi tantangan hari ini. Pasalnya, interpretasi teks 
keagamaan harus dilihat dalam kaca mata waktu saat itu. Karenanya, seorang ahli 
yang kaliberpun tidak punya hak untuk memonopoli kebenaran. 
Al – Quran, katanya, secara tegas melarang umat manusia secara buta menjadi 
pengikut para ulama. Bahkan, Al- Quran menegaskan membunuh seseorang artinya 
membunuh seluruh kemanusiaan. 
Dia melihat, kelompok militan dan radikal yang siap untuk mati umumnya 
mempertahankan fatwa-fatwa dari pandangan Islam klasik. Salah satu contohnya 
adalah peledakan bom di Bali dan JW Mariot. Terkadang, untuk kelompok seperti 
ini, membunuh orang lain yang berbeda secara ideologis dari pandangan agamanya 
dalam beberapa kasus sebenarnya justru demi kepentingan uang. Oleh karena itu, 
yang terjadi sebenarnya adalah penyalahgunaan agama untuk kepentingan dan 
tujuan rendah. 
“Secara adil tidak hanya orang muslim yang melakukan monopoli praktik bom bunuh 
diri. Beberapa pengikut agama lain juga sering melakukan hal yang sama. 
Ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh beberapa orang harus 
bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang salah tersebut,” imbuhnya. 
Namun, bagaimana itu dijalankan di Indonesia, ketika hukum negarapun ternyata 
masih mencantumkan pasal tentang penistaan agama? Ia pun menjawab dengan 
singkat, “Undang Undangnya harus diubah”. (tutut herlina) 














      

Kirim email ke