Berhubungan dengan mencuatnya kembali pertanyaan Khonghucu filsafat atau agama maka saya meneruskan pemikiran umat Khonghucu dari milis tetangga sebagai masukan.
Hormat saya, Yongde http://asia.groups.yahoo.com/group/Junzigroup/message/286 --- In [EMAIL PROTECTED], Sugiaman Gonassis <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Khonghucu itu agama atau bukan ? Ini sebenarnya pertanyaan basi yang berulang-ulang tapi senantiasa muncul 'mengganggu' umat KHC. Sudah banyak pakar yang mengajukan pendapat mereka, dari pelbagai sudut pandang. Mungkin sampai berbuih mulut mereka, tetapi bagi sebagian orang yang mempunyai maksud tertentu senantiasa tidak digubris walaupun argumen itu sangat berdasar. Jika sekarang saya ikut nimbrung mengemukakan argumen itu juga tidak membuat masalah menjadi jernih. Ini karena pihak pro dan kontra menggunakan sudut pandang yang berbeda. Nah, karena yang kontra ini biasanya para pejabat yang berkuasa dan sering menafsirkan hukum semau mereka, mau tak mau kita juga harus menghadapinya dari sudut pandang mereka. Saya tidak akan mengajukan bukti baru melainkan akan menyanggah semua alasan para pejabat 'bebal' yang masih bersikeras mengatakan Khonghucu bukanlah agama (di Indonesia). Yang saya bahas dan bantah kebenarannya disini adalah Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BD/BA.01.2/453/2002 tentang Kajian Khonghucu. (Ini yang saya temukan di internet dan melihat tahunnya yakni 2002 mungkin ini versi yang terbaru. Jika anda sekalian ada yang lebih baru lagi, tolong saya diberitahu dan nanti akan kita bahas lagi). ==> yang berwarna merah adalah bunyi surat asli sedang yang hitam adalah sanggahan saya. Rabu, 20/11/2002 Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan kepada Menteri Agama RI Nomor: BD/BA.01.2/453/2002 tentang Kajian Khonghucu berisi antara lain: 1. Status Khonghucu a. Dalam laporan penelitian "Studi tentang Aplikasi UU Nomor 1 Tahun 1965 dan Penjelasannya"*) antara lain dinyatakan bahwa "masih belum jelasnya status Khonghucu disebabkan masih simpang siurnya penafsiran terhadap UU No. 1/PNPS/1965, khususnya pada "Penjelasan" pasal 1 yang berbunyi '......Agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius) ini' {alenea 1}. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, maka mereka mendapat jaminan seperti yang dinyatakan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mereka juga mendapat bantuan dan perlindungan (pasal 29 ayat 2 UUD 1945 alenea 2), 'Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, seperti: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoisme dilarang di Indone-sia. Mereka juga memperoleh jaminan pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya ini (alenea 3). Bagi umat Khonghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Khonghucu diakui Negara sebagai agama. Sedangkan bagi pemerintah, undang-undang Nomor: 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. ==> Bagi umat Khonghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Khonghucu diakui Negara sebagai agama. Bukankah memang benar demikian ? Pada jaman dahulu di sebuah negeri ada peraturan bahwa orang yang melintas perbatasan dengan menunggang kuda akan dikenai biaya masuk. Lalu ada seorang yang bernama Kongsun Lung karena tidak mau membayar biaya masuk lalu berdebat dengan penjaga perbatasan dan mengatakan bahwa "saya naik kuda putih dan kuda putih bukanlah kuda !" Kini di Indonesia, telah dilakukan sebuah penelitian oleh Ketua Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan yang mengembangkan dalil "Agama yang dipeluk tapi bukan agama !" (Ini pasti teori filosofis yang rumit sekali dan setara dengan dalil 'Kuda putih bukan kuda') Diatas sudah jelas disebutkan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan 'Agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius) ini'. Bukankah ini berarti Khonghucu adalah salah satu agama yang dipeluk penduduk Indonesia ? agama khan ? Apakah disini berlaku dalil 'kuda putih bukan kuda' ? Apakah kalimat ini harus diartikan 'Khonghucu adalah agama yang dipeluk tapi bukan agama' ? Lalu disebutkan pula pada alinea ke 2 bahwa 'Karena 6 macam agama ini adalah agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia...' Ini lebih jelas lagi bahwa disebutkan ada 6 macam agama. Apakah dengan dalil baru Balitbang Depag, maka kalimat ini harus diartikan '6 macam agama tapi bukan 6 agama' ? Saya yakin ketua Balitbang yang menyimpulkan seperti ini pastilah tidak sedang mabuk dan punya penjelasan yang logis untuk hal ini. Jika menurut beliau penjelasan filosofis ini mungkin terlalu canggih untuk orang awam seperti kita, setahu saya ada umat agama KHC yang bergelar Prof. Dr. Dr. Dr. (gelar Dr.-nya 3 kali) yang akan sanggup mencerna penjelasan dari dalil hebat ini. Sanggahan kedua : Dalam isi UU No. 1/PNPS/1965 , baik secara tersirat maupun tersurat jelas dikatakan bahwa Khonghucu adalah agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Agama lho ! Bukan aliran kepercayaan ! Dan lagi bukankah UU ini juga suatu bentuk produk hukum yang sah (yuridis formal) ? Jadi kalimat Bagi umat Khonghucu, undang-undang tersebut dijadikan sebagai dasar yuridis formal bahwa Khonghucu diakui Negara sebagai agama. Bukankah memang benar demikian ? Yang diminta umat KHC adalah konsistensi pemerintah dalam mengakui produk hukum yang mereka buat sendiri. Ini demi terjaminnya kepastian hukum karena negara NKRI adalah negara hukum ! ===> Balitbang menyebutkan : Sedangkan bagi pemerintah ...., undang-undang Nomor: 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama, tetapi merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Pemerintah disini harus diperjelas dulu. Jika digebyah-uyah 'Pokok Pemerintah' maka akan ada kesan bahwa Pemerintah RI ini plin-plan seperti halnya Ketua Balitbang Depag yang mengeluarkan dalil 'Agama yang dipeluk tapi bukan agama'. Undang-undang Nomor: 1/PNPS/1965 dalam produk jaman Presiden Ir. Soekarno dan setahu saya sampai beliau diganti, tidak ada penyangkalan terhadap eksistensi agama KHC. Pengganti beliau adalah Presiden Suharto yang kemudian menjadikan presiden sebelumnya sebagai 'tahanan rumah' sehingga tidak heran jika kebijakannya berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Saya yakin yang dimaksud pemerintah disini oleh Ketua Balitbang Depag pastilah Presiden Suharto dan bukannya Presiden Sukarno. Nah inilah ujian sesungguhnya, apakah negara ini adalah negara hukum atau kekuasaan presiden belaka. Mari kita lanjutkan pembahasannya dengan garis bawah bawah pemerintah disini adalah Presiden Suharto dan bukannya Presiden Sukarno (kecuali jika anda nekad menyebutkan bahwa Negara ini memang hendak menganut asas plin-plan). Kalimat 'undang-undang Nomor: 1/PNPS/1965 tersebut bukan merupakan pengakuan Negara terhadap eksistensi sesuatu agama' ini lebih aneh lagi. Yang membuat UU inikan pemerintah RI, memangnya MATAKIN, MUI, NU atau badan-badan lain bisa menghasilkan produk hukum dengan mengatasnamakan UU/PNPS ? Jadi jelas bahwa UU ini adalah produk pemerintah dan disana disebutkan bahwa 'agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah .. Khonghucu' dipertegas dengan kalimat 'hal ini dapat dibuktikan ...'. Kalimat-kalimat ini mengakui eksistensi (keberadaan ~ maaf kalau saya salah mengartikan kata eksistensi) dari agama KHC di Indonesia sehingga bisa dipeluk oleh penduduknya. Jika agama ini tidak eksis berarti tidak mungkin ada yang memeluknya ! Bantahan dari umat KHC (termasuk dari MATAKIN) juga merupakan bukti nyata bahwa agama KHC dan pemeluknya itu memang ada (eksis). Bagaimana mungkin Ketua Balitbang bisa menyimpulkan seperti ini ? Kesimpulan ini jauh lebih membingungkan daripada teori 'Kuda putih bukan kuda'. Produk hukum ini jelas-jelas menyebutkan adanya agama KHC yang dipeluk penduduk Indonesia tapi disimpulkan bahwa 'bukan pengakuan negara'. Untuk memikirkan hal ini saya jadi teringat film 'Mission Impossible' yang diawal cerita selalu disebutkan "Misi ini adalah rahasia dan jika anggota misi ini sampai tertangkap maka negara tidak akan mengakuinya'. Jadi Kesimpulan Ketua Balitbang ini mungkin kira-kira seperti ini : "Undang-Undang ini memang dikeluarkan pemerintah tapi jika perlu pemerintah boleh mengingkari produk yang dikeluarkan ini (seperti halnya misi dalam mission impossible)'. Kalimat 'merupakan peraturan mengenai tindak pidana terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama'. Anggaplah ini benar, tapi kata 'agama' ini jadi tidak jelas karena kerancuan dari kesimpulan sebelumnya. Mungkin bagi Balitbang Depag, kata '6 agama' ini harus diartikan sebagai 'Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Dan !' sebab KHC bukan agama (menurut Balitbang). Jadi agama ke enam di Indonesia adalah 'Dan' (sebab kata Khong Hu Cu mungkin kesalahan ketik yang tidak perlu diakui oleh pemerintah). Apakah begini artinya ? Kalo menurut saya, kata 'agama' dalam kalimat ini mengacu pada 6 agama itu dimana Khonghucu harus tercantum didalamnya sesuai dengan alinea 1 dan 2. Dan jika kesimpulan ini menyebutkan bahwa peraturan ini mengenai penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, maka Ketua Balitbang Depag yang terhormat ini adalah orang yang harus dikenai tuntutan pidana karena telah menodai salah satu dari 6 agama ini karena beliau jelas-jelas mengeluarkan dalil bahwa 'Khonghucu Bukan Agama' ! (Ini bukan saya yang mengatakan tapi Ketua Balitbang Depag sendiri yang menyimpulkan bahwa UU No I/PNPS/1965 ini tetap ada/berlaku) b. Presiden RI dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 menginstruksikan, antara lain: 1) Aliran Khonghucu bukanlah agama 2) Aliran Khonghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa. ==> Sekali lagi harus digarisbawahi bahwa Presiden RI disini adalah Presiden Suharto dan bukan Presiden Sukarno yang mengeluarkan UU No. I/PNPS/1965. Saya tidak tahu apakah seorang presiden itu harus taat hukum ataukah kebal hukum ? Bagaimana mungkin seorang Presiden mengeluarkan kebijakan yang berbeda dengan Undang-Undang ? Jika memang kedudukan Presiden lebih tinggi dari UU, mengapa ia tidak mencabut UU No I/PNPS/1965 lebih dulu baru mengeluarkan instruksi Presiden tahun 1979 ? Ataukah Presiden Suharto saat itu belum yakin akan pemikirannya sendiri sehingga tidak berani mencabut UU ini ? Karena ini tidak bisa dipastikan (karena yang bersangkutan sudah meninggal dunia dan jika masih hiduppun, belum tentu beliau mau mengaku), jadi mari kita telaah dari sudut lain : (Sesungguhnya saya ingin tahu apakah instruksi ini sudah diformalkan menjadi Inpres nomor sekian ataukah cuma 'petunjuk' bapak Presiden secara lisan. Sayang laporan dari Balitbang ini tidak menyebutkan nomor inpres yang 'melanggar hukum' ini) ==> 'Aliran Khonghucu bukanlah agama', apa yang dimaksud dengan 'aliran Khonghucu' ini ? Ajaran Nabi Kong Zi itu mengandung Universalitas sehingga penganut agama lainpun tidak bisa menemukan kesalahan didalamnya. Sebagai akibatnya, sejak jaman dahulu banyak filsuf dan juga tokoh agama lain yang 'menyitir' sabda-sabda Beliau dan lalu mengklaim bahwa Kong Zi mendukung aliran mereka. Awalnya di Tiongkok sejak jaman dinasti Jin sudah ada pembedaan antara penganut agama KHC dan agama Dao. Lalu seiring dengan masuknya agama Buddha ke Tiongkok, akhirnya pengaruh ajaran Kong Zi itu meresap begitu dalam sehingga agama Buddha dan Dao di Tiongkok tidak bisa melepaskan pengaruh ajaran Kong Zi. Karena itulah ada aliran Buddhisme Chan yang mengakui 'berpadunya' 3 agama KHC, Buddha dan Dao. Di Indonesia, Kwee Tek Hai karena menganggap (ini pandangan pribadi beliau) agama KHC saja kurang memenuhi hasratnya, maka ia mendirikan aliran Tridharma (KHC, Buddha dan Dao jadi satu). Karena Tridharma ini adalah aliran baru, maka dia tidak dianggap agama murni melainkan salah satu aliran daripada agama Buddha dibawah Walubi. Apakah ini yang dimaksud dengan 'aliran Khonghucu' oleh Presiden Suharto sehingga beliau ngotot memaksakan MATAKIN untuk menjadi 'bawahan' dari agama Buddha ? Lagi-lagi kita terbentur karena beliau ini sudah meninggal dunia tanpa sempat memberikan penjelasan akibat kebijakannya yang serba membingungkan yakni tidak mencabut UU diatasnya tapi membuat peraturan baru yang bertolak belakang. ==> Aliran Khonghucu dapat terus dipeluk oleh penganutnya. Justru inilah yang patut diselidiki apakah aliran Khonghucu beserta penganutnya ini benar-benar ada ataukah hanya ada dalam pikiran Presiden Suharto. Tidak ada produk hukum yang mengakui eksistensi aliran Khonghucu. Beda dengan Agama KHonghucu dengan pemeluknya yang jelas-jelas sudah 'dibuktikan' seperti dalam alinea ke dua UU no I/PNPS/1965. Apakah Balitbang Depag ini sudah meneliti keberadaan pemeluk aliran KHC ini, apakah aliran Khonghucu ini sama dengan agama Khonghucu ? ==> .... apabila tidak bertentangan dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa. Apakah agama KHC bertentangan dengan Pancasila dan pernah menuntut berdirinya negara Khonghucu yang lepas dari negara Kesatuan RI ? Tidak pernah ada bukti tentang itu bukan ? Saya cuma ingin tanya pada Ketua Balitbang Depag yang mengajukan inpres ini, apakah aturan kedua yakni bertentangan dengan Pancasila dan bertentangan dengan upaya penyatuan bangsa ini juga berlaku untuk agama lain ? Apa sangsinya bagi agama-agama lain jika melakukan hal itu ? Saya tidak berani menjawab hal ini, tapi ketua Balitbang Depag-lah yang harus menjawabnya. c. Keputusan Presiden Nomor: 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor: 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lahirnya Keppres ini menimbulkan pandangan dan pendapat khususnya warga keturunan Cina melalui MATAKIN bahwa dengan lahirnya Keppres tersebut, Khonghucu diakui sebagai agama dan berdasarkan Undang-undang HAM, mereka menuntut pengembalian hak-hak sipil umat Khonghucu yaitu: a. Pelaksanaan perkawinan secara Khonghucu b. Pencantuman agama Khonghucu pada kolom agama di KTP c. Pemberian pelajaran agama Khonghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Khonghucu. d. Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama. Bagi pemerintah, lahirnya Keppres tersebut tidak dapat dijadikan pedoman atau dasar yuridis formal bahwa Khonghucu diakui sebagai agama, sebab Inpres Nomor: 14 Tahun 1967 yang dicabut tersebut sedikitpun tidak menyinggung keberadaan Khonghucu sebagai agama, tetapi isi atau substansi Inpres tersebut menyatakan bahwa, perayaan/ pesta agama dan adat istiadat Cina untuk tidak dilakukan menyolok di depan umum. Dengan lahirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000, maka perayaan/pesta agama dan adat istiadat Cina sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara terbuka. Demikian pula penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional bukan berarti pengakuan Konghuchu sebagai agama, karena penetapan suatu hari libur tidak selalu berhubungan dengan hari besar keagamaan. ===> Pencabutan Inpres no 14/1967 memang tidak menyinggung keberadaan KHC sebagai agama. Lagian mengapa juga KHC tidak boleh menuntut pencantuman Agama KHC dalam KTP karena UU No I/PNPS/1965 tidak pernah dicabut, artinya UU itu tetap berlaku. Bantahan sebelumnya yang diuraikan diatas (secara logika) mementahkan semua kesimpulan Balitbang Depag yang menyebutkan KHC bukan agama (kecuali Balitbang mengeluarkan bantahan baru atau tetap bersikeras mematenkan dalil 'agama yang dipeluk bukan agama'). Jadi selama UU No I/PNPS/1965 belum dicabut, maka agama KHC sebagai salah satu dari 6 agama (yang eksistensinya) di Indonesia diakui dalam UU tsb berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dengan 5 agama yang lain (sesuai UUD 1945). Kecuali jika ada UU lain yang jelas-jelas mengakui bahwa Negara ini (atas usul Balitbang Depag) memberlakukan 'diskriminasi' khusus terhadap agama KHC sehingga pemeluknya tidak mempunyai hak yang sama dengan kelima agama yang lain. Perbedaan penafsiran Keppres ini telah diduga sebelumnya, sehingga Departemen Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor SJ/B.VII/HM.00/ 220/2000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Khonghucu. ===> Surat Edaran Nomor SJ/B.VII/HM.00/ 220/2000 tanggal 24 Januari 2000 yang isinya menyatakan bahwa lahirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 jangan sampai dipersepsikan atau dianggap sebagai pengakuan pemerintah terhadap agama Khonghucu. Ini benar karena pengakuan KHC sebagai agama tidak berdasarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000, melainkan berdasarkan UU No I/PNS/1965 dan undang-undang ini tidak pernah dicabut. (kecuali jika Depag juga menganut teori 'Agama yang dipeluk bukan agama') Dari uraian di atas nampak bahwa masih terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundangan yang berkaitan dengan Khonghucu, sehingga diperlukan sikap tegas pemerintah mengenai hal ini, misalnya dengan menindaklanjuti perintah Presiden dalam Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 (lihat No. 2). ===> Saran yang sangat ngawur ! Harusnya jika Depag memang berniat tidak mengakui agama KHC (karena alasan tertentu yang saya tidak tahu), seharusnya cabut dulu UU No I/PNPS/1965 dan bukannya menindaklanjuti kata-kata Presiden dalam Sidang Kabinet 27 Januari 1979 yang tidak dijelaskan disini apa bentuk formal dari produk hukumnya (Inpres atau Perpres nomor sekian) ! Inilah yang dinamakan sikap tegas dan Benar ! Sebenarnya ada poin 2 tentang Pencatatan Perkawinan bagi Umat Khonghucu. Ini tidak perlu diuraikan lebih lanjut karena terkait dengan poin satu yakni Status Khonghucu. Jika Depag tidak bisa memberikan bantahan yang lebih logis maka Khonghucu secara sah tetap agama dan poin ke 2 sudah pasti memenangkan umat KHC ! --------------------------------- Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! --- End forwarded message ---