Dokument semacam SBKRI dan SKKRI memang ada dibanyak negara, juga di Eropa. Bagi mereka yang secara naturalisasi menjadi warga negara salah satu negara Eropa, pertama tama diberikan Surat Ketetapan Kewarganegaraan.
Ini adalah surat penetapan sebagai warganegara (Verleihung der Staatsbuergerschaft). Setelah itu, automatis dikeluarkan Surat Bukti Kewarganegaraan, disini mungkin mirip SBKRI ya? Surat ini, Staatsbuergerschftsnachweis, yang di-bawa bawa kalau perlu ada pembuktian, misalnya membuat pasport atau ID lainnya. Nah, saudara saudara Tionghoa Indonesia, yang orangtuanya telah mendapatkan kewarganegaraan disini, HANYA mendapat Surat Bukti Kearganegaraan (SBKRI) itu, karena Surat Penetapan Kewarganegaraan hanya keluar SATU kali. Dipegang ortu. Disini, juga warga yang "asli" memerlukan Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI?). Tak perduli yang telah menjadi warga dizaman Napoleon dan sebelumnya, atau karena naturalisasi. Jadi SETIAP warga negara disini mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan. Kalau sudah punya pasport, maka Surat Sakti ini tak perlu lagi di-tenteng tenteng, cukup menunjukkan pasport sebagai bukti kewarganegaraan. Perpanjangan pasport, entah yang telah menjadi warga sejak Adam dan Eva maupun yang baru kemarin, dilakukan dalam 15 (limabelas) menit! Cukup membawa pasport yang lama dan surat ID kependudukan, yang membuktikan dia tinggal dijalan anu (semacam KTP kita) Surat kependudukan ini SELALU aktual, karena kita automatis mendapat surat baru, kalau pindah alamat. Alamat pindah, lalu pakai surat alamat yang lama tak ada lahhh. Pengeluaran surat ini (mirip KTP) adalah gratis, dan dicetak dimuka kita dalam waktu 15 menit!. Computer pemerintah yang online diseluruh negeri dan menjangkau data kepolisian, keimigrasian, dalam negeri dan pemerintah daerah, juga dikepolisian negara negara Eropa lain yang menjadi anggauta kelompok Schengen, LANGSUNG memunculkan data papsort si pemohon perpanjangan. Bila dia katakan semua OK, tekan PRINT, keluarlah sang pasport. kalau data kita tertera sebagai WANTED di negara Eropa anggauta Schengen, ha ha jangan harap pasport keluar. Kalau ada perubahan data, misalnya ganti nama, perkawuinan dsb, hanya diharuskan membawa bukti pergantian itu, berdasarkan Akta perkawinan atau Akta Kepednudukan pergantain nama yang dikeluarkan oleh catatan sipil. Pengadilan agama TAK dikenal dan tak diinginkan disini. Akta nikah yang dikeluarkan gereja karena pernikahan gereja boleh boleh saja di- tenteng tenteng, digantung dileher atau dipasang didinding, tapi tak ada dampak hukumnya. Yah, lain ladang lain belalang Salam Danardono --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "gsuryana" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Aku sebagai anak cina keturunan ( babeh sih termasuk singkek/totok ), surat > lahir diluar nikah alias ikut ibu, dan tetap saja punya SBKRI, baik untuk > sekolah, bikin paspor maupun pindah alamat/kota. > > SBKRI dan SKKRI bagi ornag yang bukan 'asli' sudah menjadi sama, sama dalam > hal sebagai salah satu bukti kewarganegaraan. > > Dan semua itu kembali ke tujuan awal diterbitkannya SBKRI, dimana siapa yang > tahu peraturan perijinan bagi masyarakat yang bukan 'asli', apakah proses > SKKRI dan SBKRI berbeda ? > Yang jelas SBKRI berlaku karena PP10 banyak yang ribet, dan yang ribet bukan > di pihak pemerintah, melainkan di pihak Tionghoa nya sendiri, dimana didalam > 1 keluarga bisa beda beda, ada yang punya SBKRI dan ada pula yang pulang ke > ThengSoa, setelah beberapa lama di sana, terus ngumpet ngumpet balik lagi ke > Indonesia. > ( aku pernah menulis ada teman sepermainanku dimasa kecil dan pergi ke > Thengsoa dimasa PP10, kemudian balik setelah sekian tahun, dan dia ngumpet > dirumah sekian tahun ( beneran ngumpet ), padahal orang tuanya sudah punya > SBKRI. > > Jadi masalah diskriminasi sewajarnya tidak di generalisir, karena situasi > dan kondisi Tionghoa di Indonesia memang semrawut. > Aku ingat di tahun 81-an di Hongkong paspor hijau sangat dicari, sampai > sampai ada warning agar berhati hati kehilangan paspor ( akhirnya aku simpen > di kedutaan dan aku hanya megang selembar bukti tanda terima ), ini > menandakan minatnya para Tionghoa untuk memiliki paspor Indonesia dan entah > untuk dipakai sebagai bukti WNI, entah untuk dipakai pergi ke negara lain. > > Eniwe SBKRI saat ini bisa dibilang sudah kena pasung sedemikian rupa, dan > apakah masih juga belum puas ?, bagaimana bila nanti Tionghoa Indonesia > malah diminta untuk membuat ulang SKKRI bagi yang tidak memiliki sepotong > surat kecuali KTP/KK ( untuk para cina pinggiran semodel cina Parung, > Tangerang dan di Bogor juga ), belum lagi Tionghoa yang diam di Kalbar, dan > Medan/Sumut. > > Tionghoa Indonesia seharusnya sudah bahagia, karena masih punya dan > dibolehkan kembali menjalankan budaya dan memakai bahasa Mandarin. > Singkawang yang bisa dibilang pecinan dengan mayoritas Tionghoa, Medan > jangan ditanya, dan di beberapa kota besar lainnya. > > Bila memang mau membantu Tionghoa Indonesia aku lebih suka melakukan > pendataan secara baik dan benar, mulai dari Tionghoa Totok, sampai ke cina > peranakan ( bila ini diaku sebagai Tionghoa juga seh ), karena dengan data > tersebut minimal memiliki bargaining power seperti halnya yang dilakukan > oleh Baperki. > Memang kendala akan datang dari banyak kelompok, semodel kelompok mantan > CSIS aku yakin tidak setuju, karena dengan adanya data tersebut bisa membuat > kaget siapapun. > ( terbukti Baperki sedemikian diseganinya, karena bisa masuk sampai ke > pelosok kecamatan, dan ini adalah suara bila untuk pemilu ), juga bakalan > kena hadang dari kelompok Gereja yang notabene sudah sukses meng 'kristen' > kan para Tenglang Indonesia. > > So SBKRI maupun SKKRI hanya secuil permasalah yang ada untuk Tionghoa > Indonesia, mengapa harus ngotot lagi ?, beda bila selama reformasi tidak ada > perubahan sama sekali, lha ini 2 kali sudah keluar inpres, masih kurang ?, > mengapa harus mengejar sesuatu dengan keharusan cepat beres, sedang masalah > lain jauh lebih banyak semodel RUU porografi, RUU usia MA, terlalu sayang > waktu yang tersedia hanya untuk ngotot lagi masalah SBKRI, silahkan data > siapa siapa saja tokoh yang masih ngoyo agar SBKRI benar benar dicabut dan > dilapangan dijalankan sesuai keharusan ( aku tulis tokoh tokoh, karena > Tionghoa Indonesia tidak pernah terlepas dari tokoh ). > > Tambahan informasi........istriku sewaktu menikah dengan ku statusnya asing, > karena oleh orangtuanya tidak di putih kan ( termasuk kakak dan adik ), > padahal orang tua WNI ( totok pula ), siapa yang salah sehingga anak²nya > menjadi WNA padahal lahir dan besar di Indonesia ?, padahal sebab musababnya > sederhana..........bisa balik kampung ( kan jadi egois gak puguh ), demikian > juga dengan beberapa sepupu ku, sampai untuk mengatasinya terpaksa kawin > mawin ( bagi yang perempuan ) dan yang Pria ikut pemutihan di tahun 80 an > ( tinggal di Jakarta ), hal ini dulu dilakukan karena diasumsikan takut > tidak diaku oleh RRT, sekarang salah satu sepupu sampai sumpah sumpah tidak > akan mau nginjek RRT karena merasa dihianati oleh RRT ( bisa dibayangkan dia > sangat pro Cungkuo sejak kecil sampai usia 45 an, dan baru sadar setelah > puluhan tahun bahwa pola pikirnya keliru. > ( Almarhum orang tuanya termasuk tokoh selain wartawan Antara juga seniornya > Adam Malik disaat itu ), jadi sedikitnya bisa di tarik kesimpulan bahwa > SBKRI diterbitkan oleh pemerintah karena banyak alasan dimana banyaknya > masyarakat Tionghoa Indonesia yang masih mimpi bisa bolak balik dan kiri > kanan diaku oleh kedua negara. ( jadinya ribet kan ) > > sur. > http://indolobby.blogspot.com > ----- Original Message ----- > From: "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]> > > Kang Sur yb, > > Nampaknya ada kesalahan penangkapan pengertian SBKRI, ... SBKRI yang > diributkan selama ini menghantui TIonghoa di Indonesia, adalah surat Bukti > Kewargaanegaraan RI yang diperuntukkan TIonghoa membuktikan dirinya WNI. > Tidak berlaku untuk Tionghoa yang semula sudah pilih/pertahankan > WN-Tiongkok, lalu berubah ingin menjadi WNI, bukan dapat SBKRI, tapi > melalui naturalisasi mendapatkan SKKRI, Surat Keterangan Kewarganegaraan RI. > > SBKRI dicetuskan, karena RI tidak lagi berasas ius Soli, mengakui tempat > lahir sebagai status kewarganegaraan sebagaimana UU No. 3/1946, merubahnya > jadi UU No.62/1958, berdasarkan darah keturunan. Tionghoa yang sekalipun > sudah belasan turunan di Indodnesia juga tidak diakui sebagai WNI, karena > turunan Tionghoa. Untuk menjadi WNI, dia harus tolak WN-Tiongkok dan > menyatakan setia pada RI didepan pengadilan negeri untuk dapatkan SBKRI. > > Bagi migran (baru) atau penyelundup baik dari TIongkok, Afrika, Pakistan > dsbnya, ... kalau pemerintah RI kemudian bersedia terima mereka menjadi WNI, > juga mestinya gunakan SKKRI, bukan SBKRI. > > Karena SBKRI yang diberlakukan bagi Tionghoa, sedang turunan asing lainnya, > Arab, India, Belanda, ... lainnya yang juga sudah turun-temurun hidup di > Indonesia tidak, praktek demikian ini bisa dikatakan diskriminasi terhadap > Tionghoa. Baswedan dan Amien Rais yang turunan Arab itu tidak usah punya > SBKRI untuk buktikan dirinya WNI. > > Lalu, kang Sur termasuk TIonghoa yang memiliki SBKRI, atau tidak? Karena > dalam kenyataan juga ada Tionghoa yang tidak memiliki SBKRI dan ternyata, > laju saja jalannya, baik dalam mengurus surat-surat, masuk sekolah sampai > bekerja dan berbisnis. Ini juga jangan disangkal. Kenyataan juga ada. > Sebaliknya, Tionghoa yang sudah berjasa mengarumkan nama negara RI, berhasil > merebut juara dunia badminton, tetap terganjal karena tidak miliki SBKRI. > Kalau bukan banyolan apa namanya, ini? Lalu kenapa masih juga ingin > beerkeras memberlakukan SBKRI? > > Salam, > ChanCT > > ----- Original Message ----- > From: gsuryana > ----- Original Message ----- > > Neng Uli yb, > Alasan keamanan negara, ... dan oleh karena perlu dikeluarkan SBKRI, > menurut saya juga satu alasan yang dibuat-buat. Coba pikirkan, demi keamanan > negara, lebih baik ngurusin WNI lebih banyak atau ngurusin WNA lebih banyak? > Orang ketika berhak dan diberi kebebasan memilih WNI atau WNA, yang jadi > masalah yang satu stelsel pasif, akan lebih banyak TIonghoa jadi WNI. Sedang > yang lain stelsel aktif, akan lebih banyak Tionghoa jadi asing atau > stateless, karena mereka tidak ambil pusing dengan keharusan memilih untuk > miliki SBKRI. > > Kalau yang stelsel pasif sesuai dengan UU No.3/1946, semua Tionghoa yang > lahir di Indonesia serempak menjadi Bangsa Indodnesia, kecuali mereka yang > menolak dengan gunakan hak repudiatie 2 X 2 tahun yang diberikan. Dan > masalah kaewarganegaraan RI sudah dinyatakan selesai di tahun 50. Bagi > mereka yang oleh bung Martin sekalipun dikatakan buuaaanyak yang ingin jadi > WNA, ya bisa gunakanlah hak repudiatie itu untuk tetap jadi WNA. Dengan > stelsel pasif demikian ini, tentu sangat memudahkan bagi admin pemerintah > ketika itu yang masih terbelakang. > > Sebaliknya, setelah dirubah jadi stelsel aktif, TIonghoa baru menjadi > WNI setelah menolak WN-Tiongkok dan sumpah setia pada RI didepan pengadilan, > ... akan membuat lebih buuuaaaanyaaak Tionghoa seketika jadi asing atau > diperlakukan stateless. Yang menjadi WNA tetap juga harus melapor dan > dapatkan STDM (Surat Tanda Melapor Diri, pertahankan WN-Tiongkok), sedang > bagi yang mau jadi WNI jadi lebih repot, harus lebih dahulu menolak > WN-Tiongkok dan sumpah setia pada RI didepan Pengadilan Negeri untuk > dapatkan SBKRI. Dan, ... kenyataan selama 1/2 abad ini telah menghantui > banyak TIonghoa, sekalipun sudah 3 X tidak diberlakukan tetap saja Tionghoa > dirongrong SBKRI. > +++++++ > > Agar permasalahan SBKRI bisa dilihat dengan jernih, mau tidak mau kita > harus melihat beberapa faktor. > > Sejak jaman Belanda tatacara ketatanegaraan sudah terbagi dalam beberapa > kelompok ( rasialis dan diskriminasi ), hal ini tidak terjadi di Indonesia > saja, sampai tahun 66 an seorang Bruce Lee merasakan diskriminasi di > Amerika, sampai di tendang kiri kanan ( di kelompok imigran Tionghoa > ditendang karena dianggap membuka rahasia ilmu bela diri RRT, di bule kena > depak karena mata sipit ). > Di Indonesia bisa dibilang sedikit berbeda, dimana pada awalnya > Indonesia menjadi salah satu tempat pelarian imigran dari RRT sehingga tidak > sedikit WNA masuk ke Indonesia. > Dan untuk mengatasi ini, sistim pendataan warganegara mau tidak mau > diciptakan, dengan salah satunya SBKRI. > Hal ini masih terus berlangsung sampai setelah keluarnya PP10, dimana > imigran dari RRT masih terus berdatangan ke seantero negara karena kondisi > di RRT yang masih tidak stabil. > Dan bertambah parah ketika gang 4 menguasai pemerintahan RRT, sehingga > imigran Tionghoa masih terus keluar mencari kehidupan yang lebih baik, salah > satu negara yang masih menarik adalah Indonesia, dimana imigran gelap masih > terus berdatangan ( beda dengan manusia perahu Vietnam yang masih mampu > diatasi dengan disediakan fasilitas di pulau Galang, maka imigran Tionghoa > masuk kebanyak wilayah Indonesia dan sulit di data keberadaannya, karena ada > nya dukungan dari Tionghoa Indonesia yang sudah menjadi warga negara > Indonesia. ) > Sampai tahun 80-an bisa dibilang imigran RRT masih terus menyebar ke > banyak wilayah di dunia, dan begitu terjadi perubahan drastis di RRT > ditambah kondisi Indonesia yang masih merangkak ber reformasi, maka imigran > dari RRT bisa dibilang sudah berkurang banyak ( yang datang malah imigran > perempuan untuk menjadi......). > Jadi SBKRI bukan saja salah satu solusi untuk menahan pendatang gelap > dari RRT, juga untuk menangkal masuknya Komunis melalui imigran ( dalam hal > ini mau tidak mau SBKRI menjadi salah satu faktor yang harus dilakukan > pemerintah untuk menahan Komunisme ala Tiongkok ). > > Bagi etnis Tionghoa Indonesia baik yang sudah memiliki SBKRI maupun yang > tidak punya, umumnya tidak mau tahu dan tidak mau sadar melihat sudut > pandang pemerintah pada saat itu. > > Saat ini karena Indonesia masih merangkak, maka SBKRI dalam kurun waktu > 10 tahun mengalami perubahan mendasar, dimana hasilnya adalah 'pemerintah' > mengalah dengan merubah tatacara mendapatkan SBKRI. > Apakah dengan yang sudah dilakukan oleh pemerintah saat ini ( 1999 sd > 2008 ), masih juga dianggap melakukan diskrimasi ?, lalu solusi apa yang > harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk para pendatang haram ? > Bagaimana dengan pendatang haram dari Afrika ( umumnya mangkal di daerah > Tanah Abang ), apakah SBKRI dianggap hanya alat diskrimasi pemerintah > terhadap etnis Tionghoa Indonesia ? > > Bagaimana nanti begitu Indonesia sudah stabil dan pendatang haram masuk > lagi ke Indonesia, apa Tionghoa Indonesia yang sudah lama rela untuk di > 'diskriminasi' lagi ? > Siapa yang peduli dengan Cina Peranakan semodel aku ?, di Indonesia > dianggap cina, sedang bagi RRT di sebut fankwie, siapa yang mau membela aku > ? > > Mohon di ingat kasus SBKRI disebabkan pendatang haram dari RRT setelah > tahun 1900 an, dan bagi cina peranakan yang sudah lebih dahulu datang dan > ber baur akibatnya mengalami diskriminasi 2 kali, alias dimata pemerintahan > dianggap cina, sedang bagi Tionghoa dianggap fankwie, siapa yang benar benar > dirugikan oleh ada nya SBKRI ? > > Mohon jangan menulis bahwa Tionghoa totok tidak melakukan diskrimasi > kepada cina peranakan, saat ini di Binus ( Universitas cukup populer ) saja > masih ada rasialisme yang dilakukan oleh mahasiswa Tionghoa, putriku masih > mengalaminya belum lama ini, dimana karena masuk sastra Jepang sedang > Tionghoa Indonesia masuk sastra Mandarin dan mengejek fankwie ke pada teman > putriku. ( aku sampai menyuruh gaplok semua mahasisa Tionghoa yang seenaknya > mengatai teman putriku ), dan bila sampai naik kepermukaan aku tinggal minta > tolong pak JS yang punya banyak balad/hopeng :op > > Sekali sebuah negara berdaulat tidak memiliki tameng untuk menahan > imigran gelap, maka pada akhirnya akan hilanglah kedaulatan negara tersebut. > > Dan bagi Tionghoa Indonesia yang tidak memiliki SBKRI ( jujur saja > jumlahnya bisa juta an jiwa ), apakah mereka di tindas ?, bila memang di > tindas mengapa tidak ada berita semodel falun gong ?, FG saja yang di tekan > RRT dan di tuduh sudah melanggar hak asasi manusia sampai 300 ribuan sudah > mendunia, mengapa Indonesia yang men diskriminasi kan juta an Tionghoa > Indonesia tidak banyak yang peduli ? ( malah yang peduli lebih fokus ke > kasus perkosaan Mei yang akibatnya kasus Mei menjadi tertutup untuk di > proses hukum ). > > Indonesia yang memiliki masyarakat heterogen, masih menapak maju, sedang > Amerika saja yang sudah mapan masih dipusingkan oleh imigran Meksiko, > demikian juga dengan Malaysia yang sudah mapan dipusingkan oleh imigran > melayu Indonesia yang jumlahnya jutaan, apakah Malaysia tidak boleh membuat > peraturan yang berbau diskrimasi terhadap pendatang haram dari Indonesia > ?.... > > Haiyyaaaaaaa........................kasihan si SBKRI, sejak dulu selalu > jadi kerikil, sepertinya harus ada ruwatan nasional untuk di baptis ulang > dan ganti nama menjadi SKBPH ( Surat Keterangan Bukan Pendatang Haram ) > > sur. > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > ------------------------------------ > > # Mohon selalu berbahasa santun dan sopan, kunjungi rumah kita di > http://tionghoa-net.blogspot.com # > > Subscribe : [EMAIL PROTECTED], Unsubscribe : > [EMAIL PROTECTED] > > Motto : Persahabatan, Perdamaian dan Harmoni Yahoo! Groups Links > > > > > > -------------------------------------------------------------------- ---------- > > > > No virus found in this incoming message. > Checked by AVG. > Version: 8.0.169 / Virus Database: 270.7.2/1689 - Release Date: 2008/9/24 > ¤U¤È 06:51 > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > ------------------------------------ > > # Mohon selalu berbahasa santun dan sopan, kunjungi rumah kita di > http://tionghoa-net.blogspot.com # > > Subscribe : [EMAIL PROTECTED], Unsubscribe : > [EMAIL PROTECTED] > > Motto : Persahabatan, Perdamaian dan Harmoni Yahoo! Groups Links >